Mengantarkan Undangan

1054 Words
Kantor Hirawan Grup Hari Senin adalah momok menakutkan bagi sebagian besar karyawan kantoran, tidak terkecuali aku. Hari ini pekerjaanku sangat padat merayap. Setelah makan siang, Hirawan memanggilku ke ruangannya. "Zea, sehabis kerja antarkan undangan untuk tuan Alexander" perintah Hirawan. "Apa tidak sebaiknya Bos mengundangnya secara langsung?" tawarkan. "Aku terlalu malu menghadap tuan Alexander, beliau sudah mengetahui kau adalah tangan kanan ku, jadi tidak ada bedanya aku atau kau yang pergi" ucap Hirawan. "Oke Bos!" ucapku. Sekitar jam tujuh malam, aku berkunjung ke mansion keluarga Alexander, aku hanya berdoa dalam hati, semoga tidak bertemu dengan Dave. Aku terlalu malas untuk berdebat dengannya. "Selamat malam Nona, apa Anda sudah membuat janji?" tanya kepala pelayan. "Sudah, saya Zea dari Hirawan Grup" jawabku. "Mari silahkan!" kepala pelayan mengantarkanku ke ruang makan, disana ada tuan Alexander, nyonya Dirzela ibunya Dave, dan juga Dave. Aku susah payah menelan salivaku saat melihat Dave, bibirnya yang seksi mengalihkan fokusku, belum lagi tubuhnya yang atletis, walaupun dia memakai kemeja berwarna abu tua malam ini, tapi aku seperti bisa melihat otot otot sempurna milik Dave di balik kemejanya. “Zea! fokus!” batinku. “Selamat malam, mohon maaf, sepertinya kedatangan saya mengganggu makan malam Anda” ucapku sopan. “Tidak apa apa Zea, justru saya sengaja membuat janji saat jam makan malam karena saya ingin mengajakmu makan malam bersama” ucap tuan Alexander ramah. Aku sudah beberapa kali bertemu dengan tuan Alexander, beliau sangat ramah dan baik hati, namun jika menyangkut pekerjaan beliau sangat perfeksionis. “Terima kasih” ucapku sopan. “Siapa gadis cantik ini?” tanya nyonya Dirzela. “Perkenalkan Nyonya, saya Zea, salah satu pegawai Hirawan Grup” ucapku sopan. “Saya Dirzela, putri semata wayangnya Alexander, dan Ibunya Dave, panggil saja Tante” ucap nyonya Dirzela ramah. Dave mentapaku dengan pandangan tidak suka, aku hanya memberinya sebuah senyuman kaku. “Dave, jangan menatapnya seperti itu, dia pasti ketakutan” tegur nyonya Dirzela. “Jangan hiraukan dia” kekeh tuan Alexander. Setelah makan malam, aku diajak ke sebuah ruangan, sepertinya ini adalah ruangan santai, pelayan memberikan kami teh dan makanan penutup. “Tuan Alexander, saya kesini untuk mengantarkan undangan pernikahan Tamara” ucapku sambil menyerahkan sebuah undangan berwarna biru muda pada tuan Alexander. “Terima kasih, aku pikir Hirawan ingin menjadi besanku” kekeh tuan Alexander. “Siapa juga yang ingin menikahi putrinya Hirawan” sinis Dave. “Kakek lihat Tamara selalu mengejarmu, apa dia sudah lelah untuk mendapatkan hatimu?” tanya tuan Alexander. “Siapa juga yang tahan menghadapi gunung es sepertimu?” cibir nyonya Dirzela. Aku mengulum senyumanku, Dave sang penguasa tak tersentuh itu hanya seorang anak laki laki tak berdaya jika berhadapan dengan keluarganya. “Betul kan Zea? mana ada wanita yang tahan dengan sikapnya? menurutmu kenapa Tamara menyerah mengejar Dave?” tanya nyonya Dirzela. “Mungkin Tamara sudah terbuka mata dan hatinya” ceplosku. Buru buru aku menutup mulutku yang bicara sembarangan. “Ah tidak maksudku–” aku meralat perkataanku. Tuan Alexander dan nyonya Dirzela terbahak mendengar jawaban dariku. “Kau jujur sekali Zea” ucap nyonya Dirzela masih dengan tawanya. “Kami sangat menghargai jika tuan Alexander dan keluarga bisa hadir di pesta pernikahan Tamara” aku mengalihkan topik pembicaraan. “Akan aku usahakan datang” ucap tuan Alexander. “Zea, aku sedang mempersiapkan bingkisan kue untuk anak anak panti asuhan, bisa kau membantuku?” tanya nyonya Dirzela. “Tentu saja Nyonya” ucapku. “Mom, dia bukan pegawai Alexander Grup, mengapa kau memintanya bekerja?” tanya Dave. “Apa aku harus bekerja di Alexander Grup dulu hanya untuk membantu mengemas bingkisan kue?” tanyaku. “Ayo Zea, kita ke dapur” ajak nyonya Dirzela. Aku mendorong kursi roda yang digunakan oleh nyonya Dirzela ke dapur, disana sudah banyak bingkisan kue yang berjejer rapi. “Zea, coba kuenya” perintah nyonya Dirzela. “Enak banget Nyonya!” aku mengunyah kue jahe dengan semangat. “Panggil Tante saja” perintah nyonya Dirzela. “Hehe, enak Tante! ini Tante yang bikin?” tanyaku. “Iya dong!” sombongnya. “Wah! bikin toko kue bisa laris manis nih!” kekehku. “Kamu bisa bikin kue?’ tanya nyonya Dirzela. “Dikit dikit Tante, kalo lebaran, biasanya Ibu suka maksa Zea bantuin bikin kue!” selorohku. “Jadi kepaksa nih ceritanya?” kekeh nyonya Dirzela. “Ala bisa karena dipaksa” ucapku mantap. Sekitar hampir 2 jam aku membantu nyonya Dirzela mengemas bingkisan, beliau sangat baik dan menyenangkan, berbeda sekali dengan anaknya yang dingin dan arogan. Tuan Alexander dan nyonya Dirzela sangat baik dan penuh kasih sayang, Pantas saja Dave sangat takut dengan ancamanku, ibu dan kakeknya pasti sangat kecewa jika mengetahui putra semata wayangnya melakukan tindakan asusila. “Akhirnya selesai juga! Zea, makasih ya udah bantuin Tante” ucap nyonya Dirzela. “Sama sama Tante, aku seneng kok bisa bantu” ucapku sopan. “Dave, antar Zea pulang!” teriak nyonya Dirzela. “Tidak usah Tante, saya bawa mobil sendiri kok!” tolakku dengan halus. “Berbahaya wanita pulang sendiri malam malam” ucap nyonya Dirzela. “Malam apanya, baru jam 10” batinku. “Dave!” nyonya Dirzela berteriak lagi. “Iya Mom” Dave menghampiri kami. “Antar Zea pulang ya, Mom khawatir dia pulang malam malam” ucap Nyonya Dirzela. “Oke Mom” ucap Dave. “Sungguh anak berbakti” ucapku takjub. Dave melirikku dengan pandangan tidak suka. “Mobil kamu besok pagi supir yang anterin ke kantor kamu ya” ucap nyonya Dirzela. “Makasih Tante, jadi ngerepotin” ucapku. “Tante yang repotin kamu” kekeh nyonya Dirzela. “Ayo cepat siap siap” ucap Dave. “Ingat ya, antar sampe depan rumahnya” perintah nyonya Dirzela. "Iya Mom," ucap Dave patuh. “Aku peringatkan kau, jangan macam macam dengan Ibu dan kakekku” desis Dave saat menyalakan mesin mobil. “Memangnya aku melakukan apa?” sinisku. “Tidak aku sangka, kau pintar sekali berpura pura” ucap Dave dengan nada menghina. Aku diam saja, malas sekali mendebat Dave. Dia sangat tampan, tapi menyebalkan. “Jauhi keluargaku, aku muak kau bersikap sok baik pada mereka” desis Dave. “Tadi aku hanya menjaga sopan santun, masa iya aku menolak Ibumu yang meminta bantuanku” telingaku panas mendengar ocehan Dave. “Untuk apa kau sok pura pura baik di depan Ibu? ingin merebut perhatiannya? apa kau masih berambisi menjadi Nyonya Alexander?” tanya Dave.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD