7. Malam Pertama yang Menegangkan

1121 Words
Semua orang berpamitan pada Yusuf dan juga Larissa setelah lewat pukul sebelas malam. Sehabis membuka kado dan menghitung isi amplop undangan para tamu, mereka bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Hanya Tara dan Zaka yang diminta Yusuf untuk tetap menginap di rumahnya. Lelaki itu masih sedikit canggung dengan Larissa sehingga jika ada kedua orang tuanya di rumah, ia tidak kebingungan sendiri. "Kami pulang! Bye Larissa, Bye Yusuf!" seru Fia beserta suami dan anak-anaknya. Begitu juga Arle dan Laras beserta anak mereka, serta saudara yang lainnya. Larissa tersenyum senang sambil menggendong Hikaru dengan tangan kiri, serta tangan kanannya ia gunakan untuk melambai pada saudara yang berpamitan. "Yusuf, ikut Papa sebentar!" titah Zaka pada putranya. Yusuf mengangguk, lalu mengekori langkah Zaka masuk ke dalam ruang kerjanya. Larissa tersenyum pada Tara, lalu mengangguk pamit masuk ke dalam rumah. Wanita desa itu juga masih canggung dengan orang tua dari suami dadakannya. "Larissa, kalau belum ngantuk, ikut Mama sebentar yuk, kita bicara di kamar," ajak Tara pada menantunya. Larissa pun menurut dan mengikuti langkah ibu mertuanya masuk ke dalam kamar tamu. "Itu ada boneka bola, berikan pada Hikaru, biar kamu fokus saat Mama bicara." Larissa kembali mengangguk. Ia meletakkan Hikaru di atas karpet tebal dan memberikan buah hatinya itu dua boneka bola berwarna merah dan kuning. Jika diangkat, maka bola itu berbunyi karena di dalamnya ada kerincing bunyi. "Mama mau bicara apa, Ma? Apa saya punya salah?" tanya Larissa sedikit khawatir. "Begini, seharusnya yang menjadi istri Yusuf itu Mutia. Jadi, Mama harap kamu mengerti jika Yusuf bersikap sedikit kaku atau mengabaikan kamu. Dia masih kecewa pada keluargamu dan juga Mutia. Mama harap kamu mengerti dan tidak memaksa Yusuf untuk memahami kamu dan menganggap pernikahan ini sebagaimana pernikahan semestinya. Mama harap kamu bersabar terhadap sikap Yusuf. Suami kamu itu memang terlihat kaku, tapi dia tipe lelaki penyayang dan ia juga jarang sekali marah. Yusuf anak yang baik. Mama memujinya bukan karena anak Mama, tetapi kenyataannya memang seperti itu. Bagaimana Larissa? Kamu paham apa yang Mama bicarakan?" panjang kali lebar Tara berceramah, ditanggapi oleh menantunya dengan anggukan penuh semangat. "Jalani saja takdir Tuhan saat ini. Mungkin memang kalian jodoh, tetapi harus melewati Mutia terlebih dahulu. Oh, iya, Mama mau sampaikan satu hal lagi, jika Yusuf belum bisa menyentuhmu, jangan tersinggung ya? Pelan-pelan nanti juga dia luluh. Mama tahu kamu pasti paham ilmu perjandaan yang mampu menggaet bujangan, he he he ...." Larissa pun ikut tertawa mendengar ucapan mertua perempuannya. "Iya, Ma, saya paham. Saya menurut saja. Terima kasih sudah mengingatkan saya, Ma. Terima kasih juga sudah menerima saya dan Hikaru dengan sangat baik. Mm ... semoga pernikahan yang diawali dengan adegan suami saya yang pingsan, berakhir langgeng sampai kami tua. Aamiin." Tara memeluk Larissa dengan hangat. Aroma tubuh Larissa persis Mutia. Tara paham, pasti menantunya itu kosmetik dan perawatan tubuh lainnya yang seharusnya milik Mutia. Ke mana anak itu? Batin Tara bertanya-tanya. "Ya sudah, istirahat deh. Ini sudah malam, pasti kamu capek." Sekali lagi Tara memeluk Larissa, lalu mengusap pundak wanita desa itu dengan penuh kelembutan. Ada setitik air mata di sudut mata Larissa. "Sejak saya kecil, saya jarang sekali bertemu ibu saya, karena saya di kampung tinggal bersama kakek dan nenek. Saya senang punya mertua seperti Mama yang sangat baik pada saya. Semoga saya bisa berbakti sebagai menantu," ucapan Larissa membuat mata Tara berkaca-kaca. Jauh di dalam hatinya pun sudah dapat berdamai dengan takdir putranya. Kini, di depannya ada seorang wanita sederhana yang ia yakin Tuhan kirimkan tepat untuk putra terbaiknya. Sementara itu, Yusuf yang tengah mendapat wejangan dari Zaka hanya mengangguk-ngangguk paham saja, tanpa bisa berkomentar banyak. Ia sendiri masih sangat canggung pada Larissa, bagaimana ia bisa melewati malam pertamanya bersama wanita itu? Bagaimana ia bisa melepas keperjakaannya pada wanita desa yang seharusnya menjadi kakak iparnya? "Larissa halal bagimu. Maka sudah tentu apa yang kamu lakukan padanya mendapat pahala dari Allah. Justru jika kamu abaikan, malah kamu berdosa. Istrimu adalah ladang pahala bagimu. Begitu pun sebaliknya. Mungkin awal-awal Larissa akan canggung, sama seperti Mama kamu dulu, tapi jika sudah jinak, maka kita yang kewalahan menghadapinya. Pokoknya menikahi janda itu memang luar biasa. Apalagi kamu menikahi janda yang ditinggal meninggal suaminya, insyaAllah pahala kamu sangat besar mengurusi Larissa dan Hikaru. Jadi, jangan biarkan pedang kamu menganggur terlalu lama, nanti lumutan, ha ha ha ...." Zaka terbahak begitu juga Yusuf. Pemuda itu mengangguk paham sambil menera-nerka harus apa dan bagaimana nanti dia di kamar bersama Larissa? Semua lampu ruangan sudah dipadamkan oleh bibik. Hening dan sepi mulai terasa saat jam di dinding mulai merambat pada pukul 23.30. Yusuf keluar dari ruang kerjanya untuk kembali ke kamar, disusul Zaka yang juga masuk ke dalam kamarnya. Bismillah Rapal Yusuf dalam hati sebelum ia menekan kenop pintu kamar. Cklek Lampu kamar sudah padam, digantikan oleh lampu tidur yang menambah suasana sahdu malam pengantinnya. Malam yang seharusnya ia lewati dengan penuh gelora bersama sang Pujaan hati, kini dengan sangat terpaksa ia jalani bersama seorang janda beranak satu. Ia harus ingat pesan papanya. Karena posisi Larissa, seperti Mamanya dahulu, sehingga ia tidak boleh menjadi bajin*an seperti Papanya di masa lampau. Tunggu! Di mana Larissa? Mata lelaki itu terbelalak saat menyadari tak ada Larissa di tempat tidur. Hanya Hikaru yang ada di sana. Ia berjalan cepat untuk melihat ke kamar mandi, namun langkahnya berhenti saat menyadari ada sosok di bawah tempat tidur, persis di samping ranjang yang tengah tertidur sangat pulas sambil. Tanpa bantal dan tanpa guling. Ya ampun, kenapa Larissa tidur di bawah? "Larissa, bangun!" bisik Yusuf sambil menepuk tangan istrinya. Wanita itu tersentak kaget, lalu bangun duduk sambil menggosok matanya. "Eh, Mas, ada apa?" tanya Larissa dengan suara serak. "Kenapa kamu tidur di bawah? Kenapa tidak tidur di atas bersama Hikaru? Apa kasurnya tidak nyaman?" tanya Yusuf penasaran. "Saya tidak bisa tidur di tempat tidur karena memang tidak pernah tidur di sana." "Apa? Maksud kamu, kamu selama ini tidur di lantai?" Yusuf melotot kaget mendengar penuturan Larissa. Kedua kakinya mendadak lemas dan ia memilih ikut duduk di samping istrinya. "Iya, Mas, saya tidak biasa tidur di ranjang, karena di kampung itu ranjang dengan alas kasur kapuk hanya untuk kakek, nenek, dan Hikaru. Saya sudah terbiasa tidur di lantai, paling beralaskan tikar. Ini malah sudah sangat nyaman karena di atas karpet. Sudah sana, Mas tidur di atas saja! Saya memang tidurnya di sini!" Larissa kembali berbaring di atas karpet dengan santainya. Yusuf yang tipe lelaki tidak tega, langsung bangun dari duduknya, lalu ia membungkukkan badannya untuk menggendong Larissa. "Eh, Mas, mau apa?" tanya Larissa kaget saat badannya sudah melayang di udara. "Karena sekarang kamu adalah istriku, maka mulai malam ini, kamu tidur di atas ya." Larissa mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. Dengan sangat pelan dan hati-hati, Yusuf meletakkannya persis di samping Hikaru. "Mas, saya buka bajunya sekarang boleh?" bisik Larissa sambil tersipu. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD