Yusuf tersadar saat hidungnya mencium aroma minyak kayu putih. Pelan ia membuka mata dan samar-samar ia dapat melihat sudah ramai orang di sekelilingnya.
"Alhamdulillah, Mas Yusuf sadar juga," ujar Larissa sambil bernapas lega. Wanita itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi. Hanya saja kedua tangan Larissa sibuk menahan bagian depan baju agatlr tidak terlepas.
"Kamu sakit, Suf?" tanya Tara sambil duduk di dekat putranya.
"Mungkin lelah aja, Ma," jawab Yusuf berbohong. Tidak mungkin ia bilang pingsan karena melihat bra istrinya yang terlihat bukan seperti bra, tetapi seperti coklat koin yang diberi tali. (Pembaca seketika membayangkan, ha ha ha ..)
"Iya, Ma, Mas Yusuf lelah karena bukain kancing kebaya saya. Sepuluh menit gak bisa dibuka, sampai keringetan. Udah gitu, karena keburu kesal, kebayanya dibuka paksa dan kancingnya pada putus. Nih, lihat!"
"Larissa!" pekik semua orang di dalam sana dengan histeris saat Larisa memperlihatkan kebayanya yang tidak berkancing. Wanita itu menyeringai, lalu merapatkan kembali dua sisi bagian depan bajunya dengan tangannya.
"Saya sudah gak apa-apa. Tolong semua yang ada di kamar ini, keluar, karena saya lelah, mau istirahat, oke!" Tara menunduk menyembunyikan tawanya, begitu juga Zaka, Arle, Laras, kedua adiknya dan Bibik yang baru saja tiba dengan membawa nampan berisi secangkir teh.
Semua orang keluar dari kamar pengantin. Fia yang paling terakhir keluar dari kamar adiknya, sempat berbalik sebelum menutup pintu.
"Sepertinya kita perlu menyewa ambulan untuk berjaga-jaga, ha ha ha ..." Sofia menertawakan adiknya. Pintu ditutup, lalu dengan inisiatif sendiri Larissa mengunci pintu kamar pengantinnya. Yusuf semakin kesal, ia meraih meraba cangkir di atas meja, tetapi tidak ada. Ketika ia menoleh, cangkir itu sedang berada di bibir istrinya.
"Ini, Mas, saya hanya memastikan saja rasa manisnya, tidak lebih manis dari saya." Yusuf menggigit bibirnya agar tidak terbahak. Sungguh Larissa adalah ujian hidup yang paling berat untuknya.
"Mas, saya mandi dulu ya." Larissa masuk ke dalam kamar mandi dan terheran dengan ruangan yang ia masuki.
"Orang kaya kok gak punya bak," gumam Larissa sambil berkacak pinggang. Ia bingung mau mandi bagaimana jika tidak ada air. Larissa membuka kain batiknya, lalu menggantungnya di balik pintu. Baju kebaya juga sudah ia tanggalkan. Kini hanya tersisa celana dalam yang seperti seutas tali dan bra yang seperti coklat koin.
"Orang kota ini pada males bikin baju, masa celana dalam kayak tali gini. Makenya juga sakit, keanginan ke mana-mana," omel Larissa lagi. Ia naik ke atas kloset, lalu menuntaskan rasa ingin buang air kecil yang sudah ia tahan sedari tadi.
Nah, sekarang saya bingung ceboknya gimana?
"Mas, tolong ini saya mau cebok gayungnya mana?!" teriak Larissa dari kamar mandi.
"Gak ada gayung, pakai selang semprot yang ada di samping kloset," jawab Yusuf tak kalah berteriak sampai-sampai Hikaru merengek. Mau tidak mau, Yusuf turun dari tempat tidur, dan melangkah dengan lemas menuju kamar mandi.
"Ya ampun, kenapa jongkok? Gak boleh, harus duduk! Ini kloset duduk, bukan kloset jongkok," terang Yusuf dengan gemas sambil menutup matanya. Ia meraba-raba tembok untuk menemukan selang semprot, laku ia berikan pada Larissa. Matanya masih tertutup karena pemandangan Larissa membuat jantungnya benar-benar tidak sehat.
"Ini, diarahkan pada bagian tubuh yang mau dibersihkan, lalu disemprot pelan. Nih, agak ditekan ya!" dengan penuh kesabaran, Yusuf mengajarkan Larissa dengan mata tertutup. Larissa pun mengangguk paham dan melakukan seperti yang diarahkan suaminya.
"Mas, mau mandi baknya gak ada ya? Saya mandi pakai apa?" tanya Larissa lagi dan kali ini Yusuf tidak tahu bahwa istrinya itu sudah menanggalkan semua pakaian minimalis itu dari tempat tubuhnya.
"Pakai shower, sebentar saya ajarkan untuk menggunakannya. Sini, tangan kamu!" Yusuf masih menutup mata sambil meraba pegangan keran air dingin untuk Larissa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya meraba-raba hendak mengambil tangan istrinya.
"Eh, apa ini?" napas lelaki itu tertahan saat tangannya malah meraba benda sedikit kenyal dan padat.
"Tangan kamu kok bulat?" Yusuf mendadak amnesia. Ia sudah melupakan ijazah S2-nya karena tidak bisa membedakan mana d**a mana tangan.
"Tunggu, ini pasti bukan tangan!" Yusuf kembali meraba dengan malu-malu d**a istrinya yang polos dan kencang. Larissa menggigit bibirnya agar tidak tertawa. Lama menjanda tentu saja membuatnya senang dengan sensasi sentuhan yang diberikan oleh lelaki yang sudah halal baginya.
"Mas, ijazah S2-nya disimpan di mana? Saya bakar aja mau?"
"Hah? Enak saja! Apa hak kamu mau membakar ijazah saya?" tanya Yusuf tiba-tiba tidak terima dengan pertanyaan istrinya.
"Makanya buka dulu matanya, lihat dengan benar, apakah ada tangan yang bulat?" Yusuf memberanikan diri membuka sedikit matanya yang sebelah kiri dan ia terkejut, hingga mata sebelah kanan ikut terbuka.
"Hah?" dengan cepat ia menarik tangannya, lalu berbalik badan dengan canggung.
"Lihat ini, sebelah sini untuk mengeluarkan air shower ini. Lalu sedikit digeser ke kanan, maka akan keluar air hangat. Dah, begitu caranya mandi. Saya keluar dulu!" Yusuf tidak berani menoleh pada Larissa, ia berjalan cepat dan hampir saja tersungkur di depan pintu kamar mandi karena tersandung keset. Larissa hanya bisa menggelengkan kepalanya, lalu menutup pintu dan mulai menyalakan air seperti arahan dari suaminya.
Selesai mandi cukup lama, Larissa pun keluar dengan memakai handuk yang ia lilit hingga d**a. Handuk itu terlalu pendek hingga panjangnya sampai paha paling atas. Tidak ada yang berukuran benar di dalam rumah orang kota. Batin Larissa.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan suaminya, tetapi tidak ada. Larissa dengan cepat berjalan ke arah lemari dan memakai pakaian yang ada di dalam sana. Tubuhnya yang cukup padat berisi, walau tidak gemuk, sepertinya tidak akan muat memakai baju yang ada di dalam lemari, karena apa? Karena lemari iniberisi pakaian seukuran tubuh Mutia yang tinggi dan langsing.
Hanya pakaian dalam saja yang bisa ia pakai, walau sedikit sempit, tetapi tidak apa-apa. Larissa tidak punya pilihan lain selain mengambil baju kaus besar milik suaminya. Ia memakainya dan hasilnya baju kaus itu berukuran sepanjang empat ruas jari saja dari dengkulnya.
Rambutnya yang basah ia biarkan tergerai. Ia juga mencoba lotion yang ada di meja rias. Wanginya persis seperti wangi Mutia. Ada sedikit rasa sedih, karena semua barang yang ada di sekitarnya seharusnya menjadi barang adiknya. Ia hanya sebagai istri pengganti yang mungkin tidak akan lama dijadikan istri oleh lelaki pintar dan berkelas seperti Yusuf.
****