"Makanan sudah siap!"
Fergus membawa hidangan itu dalam nampan. Ia sengaja membawanya ke ruang tamu agar bisa lebih santai ketika makan. Meskipun Vincent merengek agar mereka makan saja di ruang makan, Fergus tidak menggubris. Ia terus menuruni anak tangga satu persatu. Sesekali mulutnya bersenandung.
Semerbak nikmat mengepul di udara. Tak ada yang bisa menolak aroma daging sapi panggang yang telah dimasak Fergus. Bumbunya sangat meresap hingga menimbulkan efek euforia. Versa yang duduk terdiam selama menunggu sampai langsung berdiri ketika melihat Fergus menyajikan sepiring daging di hadapannya.
Vincent membawa sebotol anggur dan tiga gelas kosong. "Fergus, sudah kubilang kita di ruang makan saja! Lebih dekat dari dapur. Kenapa bersusah payah sampai turun?!"
"Hehehe, habis.. Versa ada di sini," papar Fergus dengan wajah polos. Menepis semua seruan gerutu Vincent yang sudah-sudah.
Gadis itu menegakkan punggung. "Ini.. kau yang membuatnya, Fergus?"
"Seharusnya.. aku tadi menyusulmu di dapur."
"Tidak perlu," tutur Fergus halus. Ia bahkan memotongkan daging milik Versa. "Nah, cobalah!"
Daging sapi setengah matang. Versa menatapnya dengan penuh arti. Tampilan makanan itu tak jauh berbeda dari yang disajikan di kediamannya. Fergus sudah sangat seahli itu, pasti ada seseorang yang profesional mengajarinya sedemikian rupa.
Teringat Fergus pernah bercerita mengenai ibunya, Versa mulai mengerti sekarang.
[Sarah berarti seorang pelayan yang sangat handal ketika melayani Keluarga de Rasel,] pikir gadis itu. Sebuah senyum mengembang di wajahnya. [Fergus, sungguh beruntung.]
"Selamat makan.." ujar Versa lembut.
"Selamat makan!" seru Fergus dan Vincent bersemangat.
Mereka menyuapkan potongan daging dalam mulut. Seketika, bagaikan kembang api yang meledak, rasa itu meletup di lidah.
Sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Ketika rasa lezat daging tumpah dalam mulut, bumbu asin dan sedikit pedas tercampur rata. Luar biasa. Fergus memang hebat ketika menyangkut makanan.
"Ini.. enak," kata Vincent terharu. Nyaris saja air matanya keluar. Ia terus-menerus memasukkan daging ke dalam mulutnya. Sensasi itu tak cukup hanya dirasakan sekali. "Fergus, kau nomor satu!" pujinya bersungguh-sungguh.
"Terima kasih," sahut Fergus puas. Ia beralih melihat Versa lalu bertanya, "bagaimana, rasanya sudah sesuai dengan lidahmu?"
Versa mengangguk cepat. "Ini sangat nikmat! Kau juaranya, Fergus! Bagaimana kau memasaknya?"
"Apa kau mau mengajariku?" pinta Versa di akhir.
Fergus menguyah dengan cepat. Ia menelan makanan itu sampai nyaris tersedak. Terbatuk pelan, Fergus kembali membuka suara. "Eh? Versa mau memasak?"
Gadis itu mengangguk cepat. Ia menggebu. Suasana hatinya sudah membaik setelah mencicipi masakan Fergus. "Benar! Aku ingin membantumu jika harus memasak lagi!"
"Aku penasaran!"
Fergus membalas, "Tentu saja."
"Tapi aku sedikit keras lho kalau sudah menyangkut dapur, tidak apa-apa?" tawar Fergus serius. Sifat Sarah masih terbawa dalam dirinya. Ketika memasak di dapur, Sarah tak pernah membiarkan Fergus merusak ataupun membuang percuma bahan makanan yang ada. Semua harus berhasil diolah dengan baik.
Versa meletakkan pisau dan garpu. "Tidak apa-apa! Akan kulakukan!"
"Kalau begitu, kita sepakat," Fergus mengulurkan tangan. Diiringi dengan senyum penuh arti, ia menjangkau tangan Versa. "Kau akan menjadi asistenku di dapur."
Dapur itu tempat yang tak jauh berbeda dari susunan kerajaan. Ada hierarki di sana. Sebuah restoran akan memiliki seorang koki kepala dan beberapa koki khusus hingga asisten koki.
Karena Versa sama sekali tak mengerti apapun tentang memasak, bahkan hingga yang paling khusus, maka ia adalah asisten bagi laki-laki itu.
Versa menjabat tangan Fergus dengan keberanian bulat. "Aku takkan menyerah untuk belajar."
"Bahkan aku bisa menjadi yang terbaik!" serunya yakin.
"Semangat yang bagus," puji Fergus. "Akan kutunggu semangat itu besok pagi.
"Kalian sangat serius untuk menjadi nomor satu, baik di dapur maupun kerajaan ini," celetuk Vincent cekikikan. Botol kemerahan yang ia pegang telah dituang dalam tiga gelas dengan isi sama rata. Semerbak anggur kini bercampur dengan sensasi nikmat dari aroma daging. Makanan sempurna yang disajikan Fergus kini menjadi semakin sempurna setelah anggur selesai dituang.
"Ini persediaan pribadiku," papar Vincent dengan penuh kemenangan, "setelah menabung cukup lama biasanya aku membeli beberapa anggur untuk kesenanganku sendiri."
"Hari ini aku membukanya bersama kalian, bintang harapan Meronia," imbuhnya bahagia.
Fergus dan Versa tertawa. Berikutnya Fergus menepuk bahu Vincent, "kami sangat berterima kasih karena bertemu orang yang sebaik dirimu, Vincent!"
"Kau juga bintang harapan Meronia!"
Mata Vincent membulat. Apa yang baru saja didengarnya adalah hal yang sangat dalam. Baginya, seseorang yang akan menjadi bintang adalah orang yang memiliki kepribadian seperti Versa yang pemberani, atau seperti Fergus yang mampu membaur dengan siapa saja. Vincent merasa, ia belum sampai sejauh mereka berdua.
Itu sebuah pujian yang sangat dalam.
Vincent kemudian mengangkat gelas ke atas. "Mari bersulang! Untuk perubahan Meronia!"
"Untuk perubahan Meronia!" sahut Fergus dan Versa serentak. Gelas mereka terangkat.
Bunyi 'ting' terdengar ketika gelas mereka saling bersentuhan.
Pengharapan yang indah.
Sampai suara pintu diketuk terdengar keras.
"Siapa?" bisik Fergus bingung. Ia menurunkan gelasnya. "Apa kau memiliki janji tamu dengan orang lain, Vincent? Dengan pelanggan mungkin?"
Vincent menggeleng. Tatapannya mencoba mengingat. "Tidak. Seingatku tak ada. Kalaupun ada, Yuos sudah membereskannya."
Pria berambut pirang itu lalu meletkakan gelas sebelum sempat meminum isinya. Ia berdiri dan melangkah perlahan menuju pintu depan.
Ia melirik ke dalam lubang pintu. Itu keputusan bijak sebelum membukanya. Berhati-hati kepada orang yang berdiri di luar rumah adalah hal yang penting. Terlebih lagi jika mereka tak mengenal siapa yang datang di malam hari seperti sekarang.
"Aku tak bisa melihatnya dengan jelas."
Vincent mundur beberapa langkah dari pintu. Ia ragu untuk membukanya.
"Dia pria atau wanita?" tanya Fergus sama pelannya.
"Pria."
"Pakaiannya?" sambung Versa ikut bertanya. "Dia mengenakan jubah atau rompi besi?"
"Rompi.. besi."
Versa menahan napas.
Tiba-tiba pintu dibuka dengan paksa.
Nampak seseorang pria tinggi tegap lengkap dengan tombak di tangannya melangkah.
"Nona Versa. Saya mencari Anda kemana-mana."
Suara bariton yang sangat maskulin terdengar penuh harap. Matanya tertuju pada Versa seorang.
Namun, gadis itu bersembunyi di balik punggung Fergus.
"Aku tak mau ikut bersamamu, Leo. Aku menolak untuk pulang."
"Karena aku sudah memilih untuk bersama keturunan terakhir de Rasel!"
Pria itu terkejut. Fergus pun tak menyangka dengan seruan Versa yang begitu lantang menyertakan identitasnya. Vincent ikut was-was. Ia melirik ke dinding ruang tamu kapanpun membutuhkan senjata untuk melawan.
Gadis itu mempertaruhkan semua. Ia.. membutuhkan pertolongan.
Fergus mengerti. Karena itu ia mengeluarkan pedang yang selalu tergantung di pinggangnya. Pedang pemberian Reid Charles.
"Aku akan menjaga Versa."
"Takkan kubiarkan dia kembali merasa terkurung di kediamannya!"
***
[Beberapa jam sebelum sampai di kediaman Vincent]
[Mansion de Fritz]
Suara langkah kaki menggema dalam lorong gelap. Hentakannya tak biasa. Seolah seluruh emosi terpusat di ujung kakinya.
Seorang pria dengan rompi besi melintas dengan wajah masam. Lagi-lagi ini hari yang sial.
Ia sudah mencari wanita dari keluarga ternama Hacres yang saat ini ia layani. Wanita berambut merah layaknya api berkobar. Wanita yang mampu membuat napasnya tercekat, bahkan ketika wanita itu hanya melangkah melewati dirinya.
Pedang yang wanita itu genggam takkan pernah bisa ia lupakan. Permainan wanita itu sungguhlah luar biasa.
Seseorang yang mampu menari dengan sebuah senjata mematikan bukan orang sederhana. Ia adalah sosok terhormat. Itu kebanggaan de Fritz. Seolah seluruh harta Meronia ada di dalam tubuh wanita itu.
Ia sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk melayani wanita itu. Menjaganya.
Akan tetapi, ia telah gagal.
Pria itu mengacak rambut. Kemana lagi ia harus mencari, tak ada satupun petunjuk.
[Pengawal macam apa aku ini!]
[Menjadi mata bagi Tuan Alex de Fritz saja tak mampu!]
Setelah sebuah surat ia terima dari kantor administrasi pusat kota, ia terus mengumpulkan pasukan untuk membantu pencarian. Mata-mata ia sebar ke seluruh kota.
"Nona Versa harus kembali."
"Itu harus."
[Sekalipun ia menolak dengan perangainya, aku takkan termakan lagi!]
"Tuan Leo!" Seorang prajurit datang menghadapnya. Prajurit itu menunduk hormat sampai Leo mengangkat satu tangan, membiarkan prajurit itu cepat mengatakan apa yang ia ingin sampaikan.
"Seorang pedagang di kawasan pasar raya mengatakan bahwa ia melihat wanita asing dengan seorang pria memasuki toko kain!" lapor pria itu.
"Lalu? Turis memang banyak di Hacres," gertak Leo mulai lelah. Berita seperti ini tak ada habisnya. "Apa kau tak memiliki ciri spesifik?"
"Rambutnya merah. Mungkin saja itu Nona Versa!"
"Kami tak mendapat informasi lain selain ini. Pedagang itu juga ingin jaminan agar identitasnya tidak terbongkar karena melaporkan."
Bagi Leo, wanita berambut merah di Meronia hanya Versa. Itu sebuah fakta umum pula untuk seluruh orang yang ada di Hacres.
Warna rambut yang suci. Warna yang penuh keberanian.
Warna merah yang dalam sejarahnya menumpahkan darah banyak orang.
"Dimana sekarang?" tanya Leo langsung pada intinya. Ia menambahkan, "aku akan merahasiakan pelapor itu. Aku tak perlu bertanya namanya. Identitas anonim itu cukup."
[Asalkan Nona Versa kembali, semua sudah cukup.]
"Ia berkata wanita dan pria itu akan berada di rumah Vincent, pemilik toko kain!" jawab prajurit itu.
"Vincent?"
Ia tentu mengenal Vincent. Seorang pemilik toko kain yang selalu laris. Beberapa kali Leo sudah menghampiri tokonya untuk bertanya tentang Versa, tapi selalu berakhir dengan gelengan.
Leo mencium sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi. "Aku selalu menanyainya. Beginikah ia di belakangku?"
"Keluarga mantan kesatria rendahan, beraninya terhadap Nona Versa!" serunya menggelegar hingga merambat ke ujung lorong.
Leo menggertakkan gigi. Kekesalannya telah memuncak. Ia tak bisa menunggu lagi. Segera kakinya kembali terhentak.
"Apa Anda akan mengirim pasukan, Tuan?" tanya prajurit itu.
"Tidak. Biar aku yang datang sendiri."
[Mereka perlu berhadapan denganku.]
[Siapapun yang berani menyentuh Nona Versa harus melangkahi mayatku terlebih dahulu!]
Pandangan Leo menajam. "Mereka akan selesai di tanganku."
***