Bab XIX

1225 Words
"Selamat datang kembali, Tuan." Seorang pria dengan pakaian serba putih berjalan tanpa menoleh. Pria itu memiliki rambut perak. Satu matanya tertutup oleh penutup mata. Tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi dengan mata pria itu. Ia terus berjalan menuju ruangan yang besar. Ruangan pribadi miliknya. "Tuan Alex de Fritz! Saya menantikan—" "Aku akan menunda pertemuanku denganmu besok pagi," potong Alex de Fritz. Ia melewati begitu saja pria paruh baya yang sudah menunggu dengan beragam gulungan di tangannya. Seorang pelayan membukakan pintu untuk ruangan itu. Di dalamnya, terdapat beragam buku, senjata, beserta sebuah meja dan kursi di bagian paling tengah ruangan. Ada sebuah lukisan besar tergantung pada dindingnya. Lukisan itu lukisan dirinya dan seorang anak perempuan berambut semerah api. Alex de Fritz menghela napas. Ia duduk dan menutup matanya. Hari ini sungguh melelahkan. Ia membunyikan bel, seorang pelayan wanita masuk ke dalam. "Panggilkan Heisen," perintah Alex malas. Sebenarnya ia ingin mengakhiri saja malam ini dan tidur bersama selir-selirnya. Tapi tugas tetaplah tugas. Apa yang bisa diakhiri malam ini akan jauh lebih baik daripada ditunda untuk hari esok yang jelas akan semakin menambah agenda lain. "Baik, Tuan." Pelayan wanita itu menunduk, lalu pergi, menjalankan kehendak Alex de Fritz. Sekarang seorang pria masuk ke dalam ruangan Alex. Dia berparas cukup rupawan. Wajah aristokratnya sungguh kental. Jika dikira-kira, Heisen mungkin saja masih menginjak usia awal tiga puluhan. Namun sejauh ini tak ada yang tahu berapa umur pria itu. Ia hanya bekerja untuk Alex de Fritz dengan seluruh identitas dirahasiakan sepenuhnya melalui kontrak. Karena Heisen adalah seorang asisten bangsawan handal yang diperebutkan oleh banyak bangsawan ternama, termasuk Raja Mero I sendiri. Akan tetapi, Heisen justru memilih untuk ditempatkan bersama dengan Alex ketika mendapat tawaran untuk memilih kepada siapa ia harus melayani. Tak ada yang tahu dan mempertanyakan. Jika Heisen yang memutuskan, semua bangsawan percaya dan menerima. Pria itu kemudian membungkuk di hadapan Alex dengan patuh. Suaranya yang selembut sutra terdengar, "Saya datang menghadap, Tuan." "Bagaimana Leo? Apa dia sudah menemukan Versa?" Heisen menggeleng. "Mansion tak menerima kabar apapun mengenai Nona Versa. Lalu sejauh yang kami tahu, Tuan Leo sedang meninggalkan mansion untuk mencari Nona Versa." "Anakku harus ditemukan, aku tidak mau sampai menanggung malu di hadapan tamu undanganku." Alex bersandar di kursi. Ia melempar semua kertas dan gulungan di atas meja. Membiarkannya berantakan tak tertata. "Kenapa tak ada satupun orang yang berguna di saat seperti ini." Pria itu menggeram saking kesalnya. Kepalanya nyaris pecah dengan banyaknya masalah yang harus ia tanggung sebagai kepala pemerintahan Kota Hacres. Belum lagi mengenai putrinya sendiri. Versa de Fritz. Sejak kecil, Versa selalu memberontak dari Alex. Sampai remaja pun gadis itu terus berusaha melawan kehendak ayahnya. "Ada laporan lain untukku selagi aku pergi?" tanya Alex. Heisen menyerahkan sebuah surat berstempel merah. Surat yang masih tersegel sempurna. "Ini dari Simia, Tuan." "Hah!" ejek Alex nyaris saja tertawa. Satu sudut bibirnya terangkat, keheranan. "Simia, untuk apa aku mendapat laporan dari Kota Simia? Sudah lama aku tak mendengar nama kota yang hina itu. Mereka berhenti mengirim pesan padaku sekitar dua tahun lalu! Pasti tak ada apa-apa lagi, bahkan untuk dilaporkan dari tempat kotor itu." "Mungkinkah Reid yang mengirimnya? Mentang-mentang dia pernah menjadi tangan kanan raja Hacres terdahulu, ia seenaknya denganku!" gelak tawa Alex membahana. Ia sungguh selesai dengan semua masalah hari ini. "Saya tidak yakin mengenai hal itu, tapi benar, Tuan," kata Heisen menanggapi. "Surat ini, Tuan Reid Charles yang mengirimnya." "Jangan panggil ia tuan! Reid tak akan menjadi tuan untukmu, Heisen," tegur Alex. "Sampai kapanpun." "Baik, Tuan." Heisen menenggelamkan diri dalN kehormatan yang mendalam terhadap Alex de Fritz. "Saya akan mengingat hal itu." "Bagus. Kontrakmu cukup denganku." Alex terkekeh bangga. Asisten hebat seperti Heisen tak boleh disia-siakan di Kota Simia yang penuh sampah. Alex mengambil sebuah pisau kecil. Ia merobek ujung surat itu dengan cepat. Setelah mengeluarkan isinya, Alex membuka lipatan kertas berlapis perak tipis itu dengan setengah hati. Menebak bahwa isinya bukan hal penting. Untuk sesaat, Alex diam. Ia membaca kalimat demi kalimat yang tertuang dalam surat itu. Awalnya ia masih bisa tertawa, tapi setelah beberapa detik berlalu senyum lebar di wajah Alex sirna. Semua tergantikan oleh kerutan. Reid Charles berhasil menarik perhatian Alex de Fritz. "De Rasel," gumam Alex tak percaya. "Mana mungkin bintang yang sudah jatuh kembali muncul di angkasa?!" Bahkan Heisen sempat membelalakkan matanya, tak kalah terkejut mendengar nama itu. Ia berusaha untuk tetap diam dan tak mengomentari ucapan tuannya. Heisen terus terperangah. Nama itu tak bisa ia keluarkan dari benaknya. [Apa ini sudah saatnya berdiri dan melawan?] [Ramalan itu, ada benarnya.] *** Mero kembali menekuni dokumen kerajaan. Seperti yang sudah-sudah, semua malam selalu ia habiskan untuk mengecek dan menandatangani. Berbagai macam kontrak dan tawaran. Apa yang bisa diselesaikan harus diselesaikan. Ia juga masih memiliki tanggungan tawaran pernikahan dari banyak lapisan bangsawan di Meronia, hingga lintas kerajaan. Namun, semuanya ditolak oleh Mero, tanpa terkecuali. "Tak ada wanita yang cukup untukku." "Tidak, aku masih belum ingin menikah." "Aku menunggu datangnya wanita itu ke hadapanku sendiri." Beribu alasan yang Mero paparkan. Akan tetapi, sentimen rakyat hingga bangsawan selalu melihat bahwa Mero memang tidak menginginkan siapapun. Lebih tepatnya, ia tak menginginkan kelemahan. Membuat seorang wanita berada di sisinya sebagai ratu akan menjadi kelemahan bagi mereka yang bersedia menentang Mero. Apalagi jika Mero mencintai wanita itu. Karenanya, ia selalu membuang semua hal yang berkaitan dengan cinta. Semua karena saran dari satu orang. "Benar, Yang Mulia. Anda tak perlu memiliki seorang wanita." Seorang pria dengan rambut sehitam arang dan mata semerah delima melangkah dengan lembut sekaligus penuh ketegasan. Tiap langkahnya tak terdengar. Perangainya yang lembut mampu meredam semua kebisingan, termasuk kebisingan dari langkah kaki. Ia menunduk hormat kepada raja dari Meronia. "Emel, darimana saja kau?" tanya Mero mendengus. Tangannya menyangga pipi. "Aku sudah kewalahan." "Maaf, Yang Mulia. Saya pergi terlalu lama." Emel mengangkat kepala. Sepasang mata semerah delima yang mampu membius ratusan hingga ribuan umat manusia itu nampak tak berdosa. Senyumnya terukir sempurna. Bahkan pria saja bisa jatuh dalam pesonanya. "Sudahlah," kata Mero tak peduli. Ia menutup semua gulungan tawaran pernikahan itu. "Aku tak ingin melihat proposal lagi." "Bagaimana menurutmu, Emel? Apa ada yang sesuai untukku? Mungkin saja, aku memang harus memiliki kekuatan lagi melalui pernikahan." Emel memasang senyum kecil. Bibirnya yang mungil bergumam. "Tidak perlu. Anda sudah memiliki pengaruh yang kuat, Yang Mulia. Merkea hanya mengambil kesempatan untuk mengenalkan putri mereka kepada Anda." "Tapi jika Anda tertarik, saya tak memiliki hak untuk berkata-kata mengenai kehendak Yang Mulia." Emel sekali lagi menunduk hormat. "Yang Mulia bebas melakukan apa saja." Mero tertawa. "Aku sudah memilikimu. Untuk apa aku memilih menikah? Ketika sudah ada satu orang pria hebat di sisiku, aku tak perlu lagi mencari alasan untuk lari dari tanggung jawab. Menikah hanya akan menjadi opsi yang tidak penting." "Apalagi, semua di masa lalu adalah idemu. Aku hanya perlu mengikuti semua saranmu." Mero bersantai sejenak di kursinya. Kedua kaki Mero terangkat dan diletakkan di atas meja. Ia sungguh sangat santai hingga menepis segala tugasnya. "Apa yang perlu aku ketahui hari ini, Emel?" tanya Mero langsung. Ia memainkan pena bulu yang ada di tangannya. "Kalau kau sampai menghampiriku langsung setelah pertemuan diadakan, pasti ada masalah." "Benar," angguk Emel setuju pada ucapan raja. Ia maju selangkah demi selangkah. Ini adalah hal biasa bagi Emel yang seorang penyihir. Ia harus terus memberikan laporan, baik itu ramalan maupun pembacaan astronomi belaka. Emel lagi-lagi tersenyum kecil. "Bintangnya menunjukkan sesuatu yang menarik." "Apa Yang Mulia tidak ingin mengetahuinya?" ***

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD