Meronia.
Impian dan sejarahnya yang masih baru. Tidak tahu angin apa yang akan mengarahkan negeri itu kelak, tapi yang pasti sang raja yang berkuasa tengah mengawasi banyak perkembangan di tiap kota yang ada.
Raja Mero I bersedekap di atas meja. Sebuah rutinitas malam yang menjemukan harus tetap ia lalui jika tak ingin menyambut pagi hari dengan dokumen kerajaan yang terus bertambah.
"Yang Mulia, saya membawakan beberapa dokumen lagi." Suara pintu diketuk terdengar. Mero menghela napas, pekerjaannya tak ada habisnya.
"Masuklah."
Pelayan istana itu masuk dengan menundukkan wajah. Ia membungkuk hormat di depan Mero kemudian ia meletakkan beberapa dokumen berupa gulungan keemasan.
"Menyebalkan sekali," decak Mero malas. "Kali ini darimana?"
"Kerajaan Sol, Yang Mulia," jawab pelayannya itu dengan lembut. "Tanggapan atas pengajuan hubungan diplomatis tempo hari."
"Jika Jodam tidak menyetujuinya aku juga tidak masalah. Negeri itu sampah. Banyak rumor tak mengenakkan. Aku hanya berusaha terlihat baik agar Kerajaan Meronia disegani," Mero hanya melirik sebelah mata pada dokumen terakhir. Melihatnya saja ia sudah enggan. "Bacakan semuanya untukku. Malam ini harus selesai."
"Baik, Yang Mulia." Pelayan itu mengambil sebilah pisau tumpul. Pertama-tama ia membacakan surat pengantar berstempel merah.
"Teruntuk Yang Mulia Raja Mero I dari Kerajaan Meronia."
"Dengan ini Kerajaan Sol menyatakan akan membuka jalur perdagangan untuk Meronia. Kami akan menukar besi atas emas dan wewangian. Kapal Meronia akan disambut dengan baik."
"Tertanda, Raja Jodam Sol."
Surat pengantar itu sangatlah pendek. Berikutnya pelayan membuka gulungan keemasan. Isinya menyangkut kontrak kerjasama dan kemitraan kerajaan.
Mero terbahak begitu keras. "Ia sengaja mempermudahnya dengan maksud lain. Aku tahu itu, Jodam. Jangan kau pikir aku sangatlah bodoh sampai tak paham maksud 'undangan' kecilmu itu!"
"Bakar saja," Mero lalu berdiri meninggalkan ruangannya.
"Eh? Dibakar, Yang Mulia?" Ragu-ragu pelayan itu bertanya. Di sisi lain ia merasa bahwa surat diplomasi yang baru saja ia bacakan tidak memiliki maksud lain. Atau mungkin, hanya seorang raja yang bisa 'mencium' maksud lain yang tertulis dalam surat dan gulungan itu. Tidak tahu juga, orang normal takkan mengerti.
Penguasa dan kerajaan itu sungguhlah berbelit dan berlapis. Ibarat sebuah kue yang bagian luarnya penuh krim, tapi bagian dalamnya sangat kering. Begitulah hubungan kerajaan dan hubungan kerjasama dijalankan.
Semua berusaha untuk saling menjatuhkan. Baik secara halus maupun secara kasar. Apapun jalan yang ditempuh, tak ada yang benar. Sama saja.
Memang itulah resiko dari menjalankan pemerintahan.
"Kau ingin aku menyimpannya?" tanya Mero seraya menyeringai. Tentu saja melihat sang raja yang menyeringai seram membuat pelayan itu langsung mundur dan berlutut. Takut.
"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia! Saya pantas mati karena mempertanyakan keputusan Yang Mulia!"
"Sudahlah, letakkan saja di meja, aku yang akan melenyapkannya sendiri," kata Mero menghela napas. "Aku mau beristirahat. Pekerjaanku masih banyak dan malam ini akan menjadi malam yang panjang lainnya."
"Baik, Yang Mulia!" ujar pelayan itu patuh.
"Aku penasaran, apakah ini juga yang dirasakan Tarius?"
Untuk satu kalimat terakhir, Mero hanya menggumamkannya.
Begitu ia berbalik, pelayan itu sudah meninggalkan ruangan. Menyisakan keheningan sekali lagi.
Raja Mero I memang dingin. Dia tak peduli bagaimana orang lain melihatnya. Asalkan satu negeri yang ia bangun bisa dijalankan dengan baik tanpa pertikaian, ia sudah puas. Setidaknya ia sadar bahwa memenuhi keinginan rakyatnya adalah tugas utama raja dan bukan sebaliknya.
Langit malam itu masih menyisakan semburat kemerahan tipis di antara kelabu hitam. Tanda bahwa malam belum terlalu larut.
Mero mengibaskan rambut keperakan miliknya. Rambut sepanjang leher itu terlihat bercahaya terkena pantulan api. Menimbulkan sebuah warna baru, yaitu warna kebiruan yang tak terlalu kentara.
Ia tersenyum seorang diri. "Ah, jadi merindukan masa lalu."
"Masa dimana aku masih melayani Tarius bodoh itu."
Mero berpangku tangan di balkon istana. Ia memandangi langit sunyi dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
Tatapan sedalam Bulan itu sudah menumpahkan banyak manusia di masa lalu. Tak terhitung berapa jiwa yang melayang karena keahliannya dalam menggunakan pedang takdir, satu-satunya di seluruh penjuru sembilan kerajaan kala itu. Hingga mendapat gelar kesatria hitam Lydei, dia memang ditakdirkan untuk seperti itu.
Hingga tiba saat Mero menggulingkan raja sebelumnya.
Dan warna langit waktu itu tak berbeda dari saat ini.
***
"Fergus, jangan terlalu cepat! Aku tertinggal, bodoh! Kau mau pergi sendirian atau bagaimana, hah? Katamu mau menemaniku?! Fergus!"
Versa baru kali ini ngos-ngosan ketika berjalan. Fergus terlalu cepat, pria itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Terlepas ia baru di tempat itu atau tidak, nampaknya Fergus bukan tipikal orang yang mudah takut tersesat. Ia sungguh tertarik melihat-lihat dan pergerakannya yang gesit membuat Versa berdecih pelan.
Ketika mendengar teriakan Versa barulah Fergus berhenti berjalan. Ia berbalik dengan wajah tanpa rasa bersalah ketika menyadari bahwa Versa tertinggal jauh di belakang punggungnya. Mungkin sekitar tiga sampai lima meter.
"Sudah malam, aku jadi ingin mencari pemukiman, atau mungkin bukit kecil untuk beristirahat," ujar Fergus tersenyum lebar.
"Tapi kau meninggalkanku di belakang!"
"Yah," Fergus terkekeh, "maaf ya." Sekarang pria itu berusaha menyamai kecepatan langkah kaki Versa.
"Aku jadi penasaran sebenarnya kau ini benar-benar tidak tahu tempat ini atau sebenarnya kau tahu? Caramu berjalan selalu tanpa keraguan," celetuk Versa sedikit marah. Tangannya terlipat sempurna di depan d**a. "Ya ampun. Aku menghabiskan pelarianku dengan orang aneh."
Fergus lagi-lagi hanya tertawa. "Yang benar? Padahal aku hanya berjalan. Aku tidak memikirkan apapun selain mencari tempat beristirahat."
"Versa, menurutmu kita menginap di penginapan atau tidak malam ini?"
Versa menggembungkan pipi. "Aku tidak bawa uang."
Fergus sekarang menatap Versa dengan tatapan tak percaya. "Sungguh? Sama sekali? Satu koin pun?"
Versa mengangguk ragu. "Satu koin pun.."
"Apa yang kau pikirkan saat kabur ke kapal?" Giliran Fergus yang menghela napas kesal. "Ya ampun, padahal kau wanita. Pergi ke kapal seorang diri, tanpa uang.. apa kau tak memikirkan resikonya?"
"Kan sudah kubilang!" Suara Versa meninggi. Ia lalu menekankan suaranya. "Aku kabur. Ka-bur! Aku bukannya pergi melancong atau apa, bodoh! Yang namanya kabur selalu kurang persiapan!"
"Kau sendiri! Apa kau punya uang?" tanya Versa balik pada Fergus.
Fergus mengecek isi tas pinggangnya. Di dalam ada sebuah kantong kulit kecil berisikan beberapa koin perunggu. Semua hasil kerja keras Fergus, uang hasil keringatnya yang ia kumpulkan perlahan hari demi hari.
"Hanya seratus keping perunggu," guman Fergus. "Dan satu perak."
"Hah?!" Versa terkejut bukan main. "Uang segitu mana bisa untuk menginap?! Dapat semalam saja tidak! Untuk menginap butuh tiga keping perak! Makan pun cuma dapat sepuluh lapis roti! Itu hanya cukup untuk tiga hari!"
Akan tetapi, jumlah uang yang dikumpulkan Fergus saat ini apabila ia masih ada di Simia sudah merupakan jumlah uang besar, bahkan cukup untuk makan selama tiga bulan.
Ia pun terkejut mengapa perbedaan jumlah uang yang dibutuhkan di Simia dan Hacres sungguh berbeda. Sekarang Fergus bingung bukan main.
"Kalau begini, aku butuh uang.." decak Fergus seraya mengerutkan alis. "Aku harus bekerja di sini untuk mendapatkan uang.."
"Lalu.. kita tak bisa menginap malam ini."
Versa terus-menerus menghela napas berat. Kini ia melepas tudung di kepalanya. "Ya sudah, tidur beralaskan tanah dan beratap langit juga tak masalah. Kita harus mencari tempat yang tidak dekat laut dan tidak terkena angin ombak malam."
"Dimana tempatnya?" tanya Fergus.
"Ada. Ikuti saja aku, aku malas menjelaskan." Versa memimpin langkah di depan tanpa memedulikan Fergus. Kini posisi mereka terbalik dari sebelumnya. Dimana Fergus yang mendahului Versa, sekarang Versa-lah yang mendahului Fergus dan lelah menunggunya.
"Hei, tunggu! Katamu aku harus di sisimu?!" protes Fergus setengah berlari.
Versa mengeringai. "Aku harus kau kawal. Jadi, terserah padaku mau seberapa cepat langkah kakiku. Samakan saja denganku, bodoh!"
Interaksi mereka benar-benar parah. Versa tak pernah sedetikpun menunjukkan sikap lembit di hadapan Fergus.
[Padahal dia terlihat lemah seperti seorang putri, menyebalkan,] Fergus hanya bisa memprotes dalam hati.
Langit sudah menghilangkan semburat kemerahannya. Menampakkan kegelapan kelam dengan bertaburkan pendar cahaya bintang. Setidaknya warna warni langit yang sedikit biru keunguan dapat mereka lihat dengan jelas, memberikan sedikit penghiburan untuk hari mereka yang panjang.
Suara ombak perlahan tak lagi terdengar seiring mereka berjalan menjauhi tepian pantai. Mereka terus mendaki ke tempat yang lebih tinggi hingga lama-kelamaan pasir putih tergantikan oleh tanah. Dan tanah lama-kelamaan tergantikan oleh rumput-rumput pendek yang cukup menyejukkan mata.
Terlihat di depan, sebuah gubuk kecil yang sedikit rusak. Sepertinya gubuk itu telah ditinggalkan.
Tak disangka Versa menunjuk gubuk itu. "Beruntung aku tidak salah ingat. Nah, sekarang kita bisa menggunakan gubuk reyot itu."
"Bagaimana? Lebih baik dari tidur di atas rumput kan? Berterima kasihlah pada ingatanku!" seru Versa bangga.
Fergus menepuk bahu wanita muda itu dua kali. "Mhm! Bagus! Terima kasih banyak karena sudah berusaha mengingatnya. Apa kau pernah ke sini? Kapan?"
"Dulu sekali waktu masih lima belas tahun," kata Versa mencoba mengingat kembali, menarik semua memori yang ia simpan di benak. "Itu sudah lama.. dan gubuk itu masih belum dibenarkan."
"Oh benarkah?" Fergus pun menyusul Versa yang sudah melangkah ke depan. "Kalau begitu, itu sudah dua tahun lalu? Mengingat umurmu sekarang tujuh belas sepertiku. Hebat juga bisa mengingatnya."
"Nah, aku selalu mudah mengingat kenangan masa lalu sampai-sampai aku bingung sendiri," gelak tawa Versa terdengar.
"Oh ya, terkadang aku juga merasa memiliki ingatan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Perasaan yang aneh itu selalu muncul sewajtu memegang pedang. Apa ya.. seperti nostalgia." Pandangan Versa menerawang. "Makanya aku suka sekali memegang pedang, mengayunkannya.. semua terasa hangat."
"Seolah memang aku ditakdirkan menggunakan benda indah ini sejak lahir."
Mata Fergus langsung berkilat-kilat. "Ah, aku juga! Aku selalu merasa puas ketika memegang pedang! Rasanya lega sekali! Kau juga sama?"
Versa pun mengangguk cepat. "Benar! Kelegaan yang aneh! Berulangkali begitu! Kau juga? Apa ini memang perasaan dari para pengguna pedang? Kukira hanya keturunan kesatria yang bisa merasakannya."
"Kau keturunan kesatria?"
"Ya begitulah."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Versa lalu panik setelah menyadari apa yang ia baru saja ucapkan."Astaga, aku kelepasan! Kenapa aku terus mengatakan siapa aku di depanmu! Menyebalkan!"
"Hahaha, tidak apa!" kata Fergus berusaha menenangkan Versa. "Aku selalu mudah membuat orang membicarakan dirinya sendiri. Ini sudah kebiasaan. Bisa dibilang, ini kemampuan unik agar orang lain mudah mempercayaiku."
"Kau bisa melakukan yang seaneh itu? Bagaimana melakukannya?"
"Keluar begitu saja," Fergus mengedikkan bahu. "Aku bahkan juga tak mengerti bagaimana. Tahu-tahu semuanya bercerita padaku lalu memberikan semua yang kuinginkan."
"Mungkin ini bagian dari berkat ibuku yang sudah meninggal. Ia berpesan agar aku selalu hidup memperjuangkan keinginanku, apapun itu."
Versa melihat ke dalam mata Fergus yang kelam. Ia langsung mendapati perasaan yang dirasakan Fergus. Sorot mata itu, pandangan sendu nan dalam yang laki-laki itu pasang, bukanlah kepalsuan.
Fergus, sejak awal, Versa tahu ia adalah orang yang sangat jujur. Dia tak mudah menutupi sesuatu dan selalu transparan. Mungkin itulah penyebab utama mengapa banyak orang mudah membuka diri pada Fergus. Setidaknya itu yang bisa Versa tangkap saat ini.
Dunia memang tak selalu masuk akal. Terkadang seseorang hanya perlu mengangguk dan terus menjalani apa yang sudah digariskan. Meskipun itu penuh misteri, meskipun itu banyak tantangan dan kegelapan, semua orang harus terus berjuang. Semuanya, hanya perlu berjalan sesuai kata hati. Ya, kata hati tak pernah murni, pasti bercampur dengan hasrat keinginan. Tapi setidaknya, begitulah manusia menjalani hidup. Dengan berpegang pada keinginan mereka di hidup ini. Bahkan dengan satu keinginan sederhana bisa menyelamatkan nyawa mereka. Aneh bukan?
Misteri kehidupan siapa yang tahu.
Versa hanya tersenyum getir melihat Fergus yang terlihat sedikit sedih. Atau lebih tepatnya, terbebani.
"Aku turut menyesal mendengar ibumu.." sahut Versa bersimpati.
"Tidak, tidak perlu," guman Fergus menggelengkan kepala. Ia mendorong kenop pintu gubuk tersebut seiring melanjutkan percakapan. "Ibuku meninggal jauh sebelum aku bisa mengingat peristiwa. Saat aku bayi. Aku dirawat oleh orang yang tak memiliki hubungan darah."
"Aku bahkan mengira ibuku yang membesarkanku sekarang adalah ibu kandungku yang sesungguhnya. Sampai para tetangga mulai membicarakannya, barulah aku sadar, kami berbeda."
"Kapan kau menyadari perbedaan itu? Kau langsung tahu lalu bertanya?"
Fergus menjawab, "Kurang lebih ketika umurku empat, atau lima tahun. Aku mempertanyakannya ketika berusia tujuh. Dan jawabannya adalah ya."
"Saat itu, aku sangat sedih," kata Fergus meneruskan. "Tapi aku mengerti kenapa ia membesarkanku dengan menyembunyikan fakta."
"Kenapa?" tanya Versa terus penasaran.
"Karena aku harus diselamatkan," ujar Fergus lirih. Ia lalu dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. Fergus kini tersenyum kecil. "Nah, pintunya terbuka. Tidak terkunci. Sepertinya ini memang gubuk yang ditinggalkan. Atapnya sedikit berlubang, tapi tak apa."
Versa mengamati bagian dalam gubuk itu. Seiring mereka terus bicara, perhatian Versa selalu tertuju pada wajah Fergus sampai ia sendiri tak sadar bahwa kakinya telah masuk ke dalam gubuk.
Bagian bawahnya terdapat sedikit jerami. Atau mungkin rumput laut kering. Versa tak tahu, tapi itu tidak terlalu jelas terlihat. Ada beberapa tong berdebu di sudut-sudut ruangan gubuk. Dinding gubuk yang terbuat dari kayu juga sudah sedikit lapuk.
Benar-benar tak layak. Akan tetapi seperti yang sudah Versa katakan, ia tak memiliki pilihan lain.
"Ya sudah, kita berdua tidur di sini."
"Eh?!"
Tak disangka Fergus terkejut.
Versa mengangkat satu alis ke atas. "Kenapa?"
"Tidak, itu, maksudku, ehm.."
"Bicara yang jelas!" seru Versa.
Fergus menggaruk pelipisnya. "Yah.. kau saja yang.. di dalam. Aku di luar, berjaga."
"Tidak perlu. Di sekitar pantai tak ada hewan buas," kata Versa memberitahu.
"Tidak, bukan! Tentu aku tahu tak ada hewan buas, tapi aku harus tetap berjaga!" ujar Fergus sedikit memekik. Pipinya berubah kemerahan. Bahkan telinganya juga.
"Kau.. perempuan.. dan aku laki-laki.. jadi, tak boleh," gumam Fergus penuh nada berbelit. "Ibuku yang mengatakannya.. tak boleh."
"Tak boleh apa?" tanya Versa terus mendesak Fergus.
"Tidur.. berdua," ujar Fergus memalingkan wajah.
Versa menepuk dahi. Sekali lagi ia menghela napas.
Sekarang Versa berusaha melepas jubah.
"T-tunggu, Versa? Apa yang kau lakukan di depanku!" pekik Fergus menutup wajah.
"Apa? Aku mau tidur," kata Versa mendecih. Ia menggelar jubahnya yang cukup besar itu sebagai alas sekaligus selimut. "Kalau kau tidak mau tidur di sini ya terserah. Aku tidak masalah."
"Begitukah? Kalau begitu, aku.. keluar." Fergus yang salah tingkah langsung keluar meninggalkan gubuk. "Aku akan duduk di depan pintu."
"Fergus," panggil Versa.
Laki-laki itu berbalik.
"Di luar dingin. Kalau kau sudah lelah, masuk saja lalu langsung tidur. Kalau tidak kau akan kelaparan semalaman. Aku sudah makan di kapal dengan mencuri di dapurnya, tidak tahu kalau kau. Jadi, masuklah saja begitu kau sangat mengantuk atau kedinginan."
"Selamat malam." Itulah kata terakhir yang diucapkan Versa sebelum menutupi separuh wajahnya dengan jubah dan memejamkan mata.
Mendengar itu, Fergus tersenyum kecil. Dalam hati ia sangat berterima kasih mendengarnya. Meskipun Versa tak keberatan, ia tetap harus menjaga sikap sebagai seorang pria di hadapan wanita.
Ia menutup pintu perlahan.
"Selamat malam, Versa."
***