16. Pindah Tiba Tiba

2609 Words
Iwan POV. “Loh kok kamu?” tanyaku saat menemukan teman Neneng yang datang menemuiku di jam makan siang saat hari senin datang dan semua harus kembali bekerja. “Neneng izin tidak masuk pak hari ini. Jadi saya yang gantikan Neneng. Bapak mau makan siang apa?. Neneng soalnya ada kasih uang bapak yang di titipkan ke Neneng untuk beli makan siang bapak” jawab dan jelasnya. Aku lupa siapa namanya. Pokoknya aku kenali sebagai teman Neneng, yang yang bantu Neneng pulang dari Dufan juga. Rasanya OB divisi sebelah deh, yang posisinya satu lantai dengan divisiku. “Nama kamu siapa?” tanyaku memastikan dan mencari tau. Gak enak juga kalo tidak tau namanya, masa aku panggil hei. “Saya Nia pak” jawabnya. “Okey, kamu kasih aja uang yang di berikan Neneng dan dia bilang uang untuk beli makan siang saya. Saya gak tau sih ada berapa, semoga cukup untuk biaya Neneng ke dokter” kataku. Dia baru mengangkat wajahnya untuk menatapku. Kenapa takut sama aku sih?, perasaan aku tidak galak jadi atasan. “Lalu makan siang bapak gimana?” tanyanya padaku. Aku berdecak. “Gampang say amah. Saya bisa keluar sendiri. Cukup kamu berikan uang itu ke Neneng lagi. Kamu dekat gak rumahnya dengan Neneng?” tanyaku lagi memastikan. Dia mengangguk dan bertahan menatapku. “Ya udah antar deh Neneng ke dokter supaya cepat sembuh” kataku sambil bangkit. Sudah waktunya aku makan di luar atau di kantin juga bisa. Aneh aja rasanya kalo menyuruh Nia, atau Ob teman si Neneng. Kalo Nenengkan sudah ngerti sekali selera makananku, dan aku malas untuk mengulang penjelasan pada OB pengganti ini. “Sudah ya,” kataku sebelum keluar ruanganku. “Makasih pak” jawabnya tepat aku membuka pintu ruang kerjaku di kantor. Beneran Neneng oneng. Padahal kemarin aku sampai datang ke kos kosannya, karena khawatir sakitnya berlanjut sementara sementara dia tidak punya siapa siapa di Jakarta. Tapi Neneng tidak mau aku ajak ke dokter. Aku paksa pun tidak mungkin. Dia hanya mau menerima makanan yang aku belikan. Lagi lagi aku khawatir dia tidak bisa membeli makanan kalo dia hidup sendiri di Jakarta. Jadi berlanjutkan sakitnya. Dan beneran tidak enak tidak ada Neneng tuh. Biasanya aku cukup sholat zuhur, lalu naik lagi ke ruanganku tanpa perlu sibuk mencari makan siang, karena pasti makan siangku sudah tersedia dan tinggal aku makan saja. Neneng bahkan selalu menuang makan siangku yang selalu dengan lauk berkuah dan nasi di piring dan terpisah. Beneran tinggal makan, lalu kalo selesai makan, aku tinggal ke tangga darurat untuk merokok sampai Neneng selesai dengan pekerjaannya karena begitu aku kembali ke ruanganku, pasti bekas makanku sudah tidak ada lagi, jadi aku tinggal lanjut kerja. Nah sekarang Neneng tidak ada. Aku jadi mesti turun ke lantai bawah, untuk mencapai kantin di luar kantor, kalo aku selalu bosan dengan menu makanan di kantin, dan bukan karena kupon makan gratisku di kantin sudah aku berikan pada Neneng. Sudah mah jauh kantin di luar kantor tuh, masih juga aku perlu antri untuk dapat makan siangku. Jadi seperti buang waktuku percuma. Kondisi tidak menyenangkan ini, sampai buat aku berdoa semoga Neneng cepat sembuh lalu kembali bekerja. Eh malah besoknya dia masuk kerja, tapi tidak lagi bekerja bersih bersih atau mengurus makananku dan staff karyawan di divisiku, malah dia pindah divisi. Jelas aku ngamuk karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya padaku. “Neneng belum masuk kerja juga?” tegurku pada Nia yang lagi lagi masuk ruang kerjaku di jam makan siang dan untuk menanyakan pesanan makan siangku. “Udah pak” jawabnya dengan menunduk. “Trus?” tanyaku tidak sabar. “Eng….dia pindah divisi pak, rolling sama saya. Jadi saya yang akan seterusnya ada untuk divisi bapak” jawabnya. “HAH!!!!. Memang ada aturan begitu?” tanyaku kaget. Dia mengangguk dengan mode takut, dan aku tidak perduli kali ini. Kok yang gak ada yang beritahu aku soal ini?. “Ada pak…” jawabnya lalu semakin menunduk. Mungkin melihat raut wajahku yang tidak bersahabat saat dia mencuri tatapku. “Siapa yang buat?, kok ya saya gak tau ada aturan macam itu” protesku mendadak kesal. Makin mengkeret dong Nia, OB pengganti Neneng. Dan aku tetap tidak perduli. “Saya gak tau soal itu, silahkan bapak tanya bagian HRD, mungkin bisa jelaskan soal aturan rolling OB antara divisi” jawabnya. Tanpa menunggu jawaban lain dari Nia, aku langsung bergegas bangkit dari dudukku, dan divisi HRD yang jadi tujuanku. Dan aku semakin kesal saat aku menemukan Neneng ada di divisi HRD dan bukan sedang sibuk menanyai karyawan staff HRD soal makan siang mereka. Aku abaikan dulu Neneng sekalipun dia tau soal kehadiranku di ruang Divisi HRD, dan kepala bagiannya yang jadi tujuanku. “Pak Iwan!!” sambut pak Zaenal yang jadi kepala divisi HRD. Orangnya agak tua, dan sudah berkeluarga, iya kira kira umur umur 40 tahunan ke atas. Tampangnya juga tidak menyenangkan atau malah cupu. Gak ada enak enaknya deh penampilannya, kalo dia selalu jadi musuh hampir seluruh karyawan kantor ini. Yakan pekerjaanya tukang pecat karyawan atau memberikan karyawan surat peringatan, selain dia juga yang bertugas menerima orang yang melamar jadi karyawan di kantor ini. “Maaf pak, saya mau tanya, memang ada aturan untuk OB di rolling antar divisi?” tanyaku tanpa basa basi lagi. “Silahkan duduk dulu pak Iwan, biar saya jelaskan” katanya. Aku menurut duduk walaupun sebenarnya aku enggan melakukannya. “Ada apa?, sampai pak Iwan tertarik mengurusi soal OB?” tanyanya sambil tertawa pelan. Aku berdecak. “Hanya heran, tiba tiba OB yang bertugas di divisi saya berganti orang tanpa ada pemberitahuan sebelumnya pada saya” jawabku. “Memangnya sepenting itu sampai harus ada pemberitahuan?” jawabnya lagi. Kok ya aneh?. “Pak!!, apa karena posisi OB tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan saya, lalu menurut bapak posisinya tidak penting sebagai bagian tiap divisi?” tanyaku lebih ke arah protes sih. Pak Zaenal tertawa pelan sampai aku mengerutkan dahiku. “Ada apa sih pak dengan OB saja?. Saya tau memang bagian dari satu divisi tapikan tidak sepenting itu sampai pergantiannya atau rollingan harus sampai di beritahukan pada kepala bagian. Lagi pula selama ini memang tidak pernah ada kepala divisi mana pun yang mengurusi urusan OB. Sepanjang ada OB di divisinya yang bertugas, ya sudah” jawab pak Zaenal. Aku diam kali ini. Benar juga sih. Abangku dulu dulu hampir tidak tau siapa OB di divisinya atau di posisinya sekarang, karena sebenarnya tidak ada hubungan kerja berarti selain bantu buatkan minum, bersih bersih dan melakukan perintah receh lain saat di perlukan. “Persis posisi satpam atau supir yang di posisikan untuk keperluan setiap divisi. Seingat saya selama saya menjabat jadi kepala HRD, sepanjang satpam, supir atau OB di butuhkan di setiap divisi tersedia, ya sudah, tidak ada yang merasa perlu di beritahu kalo ada yang di rolling, berhenti kerja atau ada OB, supir, atau satpam baru. Yakan tidak punya hubungan langsung dengan pekerjaan selain membantu untuk urusan operasional kantor saja” katanya lagi. Aku bertahan diam. “Ya tetap sih, saya menangani komplenan dari kepala divisi terhadap kinerja supir, satpam atau OB di divisi yang dia pimpin, untuk itu ada aturan rolling supir, Ob atau satpam untuk tiap divisi. Terkadangkan karena tidak merasa cocok secara personal dengan OB, supir atau satpam yang di tugaskan, ya tidak bisa di paksakan juga. Dan karena supir, Ob atau satpam itu tidak melakukan kesalahan, dan tidak mungkin di pecat, jadilah di rolling atau pindah posisi” jelasnya lagi. “Jadi kalo saya merasa tidak cocok dengan OB yang bertugas saat ini di divisi saya, apa saya bisa minta ganti dengan OB saya sebelumnya?” tanyaku mencari tau. Pak Zaenal mengangguk. “Bisa saja, tapi untuk perpindahan Neneng dan Nia itu justru permintaan mereka berdua, dan saya merasa tidak masalah untuk itu, yang penting ada kesepakatan bersama antara Neneng dan Nia untuk berpindah tempat. Kembali lagi pak, saya hanya mau semua karyawan yang bekerja di sini merasa nyaman saat bekerja supaya tidak ada drama mengundurkan diri. Apalagi untuk OB bernama Neneng dan Nia, mereka selalu bekerja dengan baik, absennya pun selalu rapi dan tidak pernah absen kecuali mengambil jatah cuti. Seperti Neneng yang kemarin sakit pun malah mengambil jatah cutinya selama satu hari” jelas pak Zaenal. “Alasan mereka bertukar?” tanyaku lagi. “Tidak ada alasan khusus sih, saya pikir hanya mau bertukar dan sebelumnya juga ada OB yang tukar posisi divisi tempat mereka bekerja. Sekali lagi, sepanjang di setiap divisi tetap tersedia tenaga OB, satpam dan supir, ya sudah. Lalu kalo di tambah mereka tetap bekerja sesuai job desk yang di perintahkan perusahaan saya tidak mau ambil pusing” jawab pak Zaenal. Aku menghela nafas. “Hanya saja, saya sempat heran karena Neneng bersikeras minta di setujui perpindahannya ke divisi HRD sampai berniat mengundurkan diri kalo saya tidak setujui” kata pak Zaenal lagi. “Masa sih pak?” tanyaku kaget juga. Pak Zaenal mengangguk. “Saya serius. Lalu saya jadi tambah bingung dengan protes pak Iwan. Ada apa sebenarnya di divisi bapak sampai Neneng minta di rolling dengan Nia temannya?” tanya pak Zaenal. Aku jadi diam lagi, bingung juga menjelaskan. “Saya aja bingung. Sepanjang yang saya tau, tidak ada masalah, makanya saya kaget Neneng tiba tiba tidak jadi OB di divisi saya lagi” keluhku. Pak Zaenal menghela nafas. “Mungkinkah masalah klasik terkait Neneng yang masih lajang dan cantik?” tanya pak Zaenal sambil tertawa pelan. Aku berdecak. “Bapak kenapa arahnya ke sana?” protesku. “Loh, pak Iwan, kita gak mungkin tutup mata, kalo di divisi pak Iwan banyak anak anak muda yang jadi drafter dan anak buah pak Iwan. Bisa ajakan Neneng merasa tidak nyaman karena sering di ledek atau di ganggu?. Walaupun bukan masalah yang berat sih, bisa jadi hanya bermaksud bercanda. Kalo pak Iwan tidak mungkin macam macam bukan?, pak Iwan sudah punya calon istrikan?, cantik juga. Jadi sepertinya aman kalo pun pak Iwan sering lembur dan Neneng jadi mesti ikutan lembur” jawabnya. Aku diam kali ini. “Sudahlah pak, untuk apa mesti repot urusi masalah ini, pak Iwankan punya banyak pekerjaan yang mesti pak Iwan urus di banding urus masalah rollingan OB. Toh yang gantikan Neneng, sama bagusnya kok dari cara kerjanya. Kasihan jugakan Neneng kalo ternyata merasa tidak nyaman saat dia bekerja. Dia jauh jauh loh dari kampung, kerja keras untuk bantu keluarganya. Biar dia tetap kerja dengan giat dan dapat upah yang sesuai dengan apa yang dia usahakan” kata pak Zaenal lagi. Bisa apa aku, sekalipun aku tidak puas dengan jawaban dan penjelasan pak Zaenal. Untuk itu, sebelum aku pulang kantor, aku panggil Neneng lewat Nia untuk menemuiku di ruanganku. “Neneng gak kena masalahkan pak?” tanya Nia sebelum memanggil Neneng. Aku menggeleng. “Gak, saya pastikan itu. Saya hanya mau bicara dengan Neneng, jadi panggil sekarang. Saya juga sudah mau pulang” jawabku. “Baik pak” jawabnya lalu memanggil Neneng. Sudah aku rasakan gelagat tidak menyenangkan saat Neneng datang menemuiku karena dia trus menerus menunduk menghindari tatapanku. “Tutup pintunya” perintahku sebelum aku mengajaknya bicara. Dia menurut lalu menutup pintu ruanganku. Aku perhatikan dulu kondisi orang orang di luar ruanganku. Sudah cukup sepi, karena aku memang menunggu kondisi di luar kantor sepi. “Kenapa kamu minta di pindah posisikan seperti ini?” tanyaku malas basa basi. Bukan jawab malah semakin menunduk. “Ada yang ganggu kamu di divisi saya?” tanyaku lagi. Kali ini dia menggeleng, sekali pun butuh waktu untuk itu. “Lalu kenapa?, sampai kamu bersikeras pindah sampai berniat mengundurkan diri?” tanyaku jadi tidak sabar karena dia banyak diam. Sampai aku bangkit lalu mendekat padanya yang terus menunduk. “Neng, ngomong dong, biar saya ngerti. Gimana pun saya atasan kamu, sebelum kamu pindah di posisi kamu sekarang” kataku lagi. Dia bertahan diam. Ampun dah nih orang, kok ya sudah sekali buka suara. Jadi buat aku semakin nething. “Jujur saya merasa bertanggung jawab kalo ternyata ada anak buah saya yang ganggu kamu kerja, trus buat kamu gak nyaman. Jadi bilang sama saya, ada masalah apa sampai kamu minta di pindahkan” kejarku. “Gak ada masalah apa apa pak. Saya mau pindah aja” jawabnya masih menunduk. Aku menghela nafas. “Jangan kamu pikir saya anak kecil atau bodoh yang langsung akan percaya dengan alasanmu. Dan tidak mungkin juga tanpa alasan kalo kamu minta pindah tiba tiba, sampai saya kaget bukan kamu lagi yang jadi OB di divisi saya” jelasku. Masih diam. “Lihat saya Neng, saya serem banget ya sampai kamu gak sanggup lihat muka saya?” perintahku. Pelan banget juga dia mengangkat wajahnya untuk menatapku. Saat tatapan kami bertemu, kenapa aku lihat matanya yang berkaca kaca seperti menahan tangis. “Saya ya yang bikin salah sama kamu?” tanyaku jadi mendadak takut sendiri. Dia menggeleng lalu melengos ke arah lain. “Neng….” desisku berharap dia menatapku lagi. Bertemu lagi tatapan kami. “Saya lebih baik di divisi lain pak” jawabnya pada tatapanku. Sampai aku mengerutkan dahiku. “Kenapa?, saya kurang baik ya sama kamu?” tanyaku lagi. “Bapak baik banget sama saya, sampai saya bingung gimana menerima kebaikan bapak” jawabnya. Loh….kok?. “Trus kenapa malah kamu minta pindah?” kejarku. Dia melengos lagi menghindari tatapanku. “Neng…tolong buat saya ngerti” pintaku sampai seperti memohon. Dia menghela nafas berat dulu sebelum akhirnya menatapku lagi. “Saya ngerasa yang saya jalanin selama ini dengan dekat dan nerima kebaikan bapak, rasanya salah pak” jawabnya. Kesel dong aku dengarnya. “Kok kamu begitu ngomongnya?. Kamu pikir saya gak tulus baik sama kamu?. Atau malah kamu mikir saya punya maksud macam macam sama kamu?” cecarku. Dia menunduk lagi. Kok ya oneng kebangetan. “Ngomong yang jelas Neng!!” perintahku agak keras sih rasanya kalo sampai dia tersentak kaget. Dia meringis menatapku. “Kamu mikir apa sih?, saya mau keuntungan dari kamu, dengan saya baikin kamu?. Gak ada Neng, saya beneran tulus bantu kamu, karena saya kasihan sama kamu” jelasku supaya dia mengerti. Dia bertahan menatapku dengan wajah meringis. Takut kali ya?, terlanjuran daripada dia salah faham dengan kebaikanku selama ini. Namanya cewek oneng. “Atau jangan jangan kamu mikir saya suka sama kamu?” cecarku lagi. Dia menunduk lagi. “Kamu taukan saya punya pacar?, kamu juga udah lihat dan ketemu. Saya udah lama juga pacaran dengan pacar saya, jadi gak mungkin sekali saya tiba tiba tinggalin dia karena saya suka kamu. Kamu mikir apa sih?, yang benar aja” cecarku lagi. Neneng ya Neneng, di banding dia jawab, pasti dia memilih diam. Jadi buat aku semakin kesal. “Ya udah deh terserah kamu mau apa. Saya baikin juga kamu gak terima dan malah mikir macam macam sama kebaikan saya. Jadi mulai sekarang saya gak akan perduli kamu mau ngapain kek, kamu gimana kek. Toh kamu bukan lagi bagian dari anak buah saya, kalo kamu sekarang gak lagi kerja bantu divisi saya” kataku menyerah juga menunggu Neneng bicara. Percuma, oneng itu jadi cewek dan pemalu mungkin ya, jadi dia terus diam dan nunduk trus. Bukan jawab apa ngomong apa kek pada apa yang aku bahas. Jadi mulai sekarang terserahlah dia mau gimana, toh gak akan komunikasi sebanyak sebelumnya denganku, kalo di hari hari selanjutnya kami jarang bertemu. Bertemu secara tidak sengaja pun aku malas lagi bicara. Nanti malah salah faham lagi sama aku. Tapi lalu aku tidak bisa diam saja saat melihat Neneng tiba tiba mendadak seperti kecentilan dengan bergaul akrab sekali dengan seorang lelaki yang jadi teman kerjanya di divisinya sampai pulang kerja bareng juga, dan aku melihat mereka bercanda terus di parkiran motor. Kenapa aku abaikan malah berubah jadi kecentilan ya?. Rasanya gak ada lagi Neneng yang malu malu apalagi oneng. Bahaya gak sih??. Kalo dia kenapa kenapa gara gara tuh lelaki, gimana?. Diakan oneng banget. Hadeh….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD