Neneng POV.
Kenapa sudah aku hindari supaya aku tidak mengganggu kebersamaan pak Iwan dengan pacarnya, entah kenapa rasanya pak Iwan tetap berusaha mencari keberadaanku?. Aku sudah minta pindah duduk dengan teh Nia yang bersedia ikut bus rombongan divisi yang pak Iwan pimpin dan bukan dengan rombongan divisi tempat dia selama ini kerja. Masih bersyukur aku dengan adanya teh Nia, entah apa jadinya kalo tidak ada teh Nia di bus yang ada pak Iwan dan pacarnya. Pastinya aku akan bingung gimana bersikap, kalo aku tidak mungkin mengakrabkan diri dengan karyawan staff lelaki yang sebenarnya aku kenal cukup akrab. Apalagi dengan karyawan staff wanita yang berpenampilan cantik dan hits, mana mungkin mau bergabung dengan karyawan OB macam aku. Beneran deh bagus ada teh Nia di bus yang aku naiki.
“Heran juga teteh sama pak Iwan, kok masih aja usaha cari kamu ya Neng?” bisik teh Nia yang mungkin menyadari kalo pak Iwan terus menerus menoleh ke belakang sekalipun dia duduk di bangku paling depan berdua dengan pacarnya.
“Udah biarin aja teh, belum tentu cari aku. Bisa jadi ngawasin karyawan lain yang jadi anak buahnyakan?” kataku lalu buru buru menoleh ke arah jendela mobil lagi.
Habisnya tanpa perlu aku menoleh ke arah depan, aku tau pak Iwan sempat menoleh ke arah belakang lagi.
“Teteh jadi gak bisa salahin kamu Neng, kalo kamu jadi baper. Pak Iwan juga sih, maunya apa coba. Udah punya pacar tapi masih perhatiin kamu juga” keluh teh Nia yang aku abaikan.
Sudah tidak mau mikir macam macam akunya. Terserah pak Iwan mau gimana, pokoknya sebisa mungkin aku tidak berinteraksi berlebihan. Toh yang jadi bawahannya bukan cuma aku. Tapi satu bus ini, jadi tidak perlu keGRan kalo dia hanya seperti memperhatikan aku. Lalu yang membuat aku semakin harus menjaga jarak aman, saat aku dengar pacarnya mengenali aku sebagai OB di kantor. Gak tau ya mendadak aku takut pacarnya salah faham, karena aku tidak tau apa yang sudah pak Iwan ceritakan soal aku pada pacarnya.
“Kenapa sih Neng?” tanya teh Nia lagi setelah aku berhasil masuk Dufan dan menghindari pak Iwan dan juga pacarnya yang cantik.
“Teh, masa pacarnya pak Iwan tau kalo aku OB sih?” aduku.
Di luar dugaan teh Nia terbelalak menatapku sampai aku meringis membalas tatapannya.
“Waduh, jangan jangan karena tau kalo kamu sering di antar pak Iwan pulang Neng?” jawab teh Nia setelah menarik tanganku menjauhi pak Iwan dan pacarnya yang akhirnya mengekor rombongan masuk Dufan.
“Terus gimana dong teh?” tanyaku jadi panik.
“Makanya gak usah dekat dekat pak Iwan lagi setelah ini ya. Kecuali kamu mau di jambak pacarnya pak Iwan. Kan bisa aja dia mikir kamu pelakor pacarnya” kata teh Nia.
Semakin buat aku takut dong. Jadi buru buru mengangguk pada perkataan teh Nia. Pasti malu sekali kalo sampai kejadian begitu. Apalagi aku tidak berniat jadi pelakor walaupun pak Iwan baik dan perhatian sekali padaku.
“Ya udah atuh, nanti aja di pikirinnya Neng, mumpung lagi jalan jalan ya, mending kita healing” ajak the Nia.
Aku tertawa juga akhirnya, dan berusaha menikmati wahana permainan di Dufan walaupun antriannya cukup panjang. Aku toh tidak lagi melihat sosok pak Iwan dengan pacarnya. Kalo pun bertemu dengan rombongan dari perusahaan kami, karena pakai kaos seragam yang sama, ya paling para staff karyawan yang akhirnya mengajakku antri naik permainan atau mengajakku jajan minuman atau makanan.
Aku sebenarnya tidak berani naik wahana wahana yang menyeramkan atau ekstrem. Aku hanya naik wahana komedi putar dengan teh Nia lalu foto foto. Lalu lanjut naik gajah gajahan, karena nama wahananya juga lucu, gajah beledug, kalo tidak salah. Itu pun aku sudah tutup mata trus karena ternyata cukup tinggi saat gajahnya di naikan oleh bantuan mesin. Sampai teh Nia tertawa terus melihatku ketakutan.
“Naik permainan anak kecil aja takut Neng” ejek teh Nia.
“Atuh saya mah orang kampung teh, wajar takut” jawabku.
Teh Nia tertawa. Lalu aku tidak bisa menolak saat teh Nia mengajakku naik roller coster untuk anak anak setelah aku menolak naik roller coster untuk orang dewasa. Entah sekuat apa aku menjerit dan teh Nia malah tertawa.
“Ya udah ayo kita ke istana boneka aja yang cuma duduk naik perahu terus tempatnya adem” ajak teh Nia yang sudah dua kali ke Dufan jadi lebih banyak tau.
Di istana bonekalah aku lebih menikmati, karena tidak menyeramkan. Persis saat aku naik komedi putar. Tapi lalu kami harus berkumpul untuk istirahat makan siang di tempat yang di tentukan panitia acara. Baru deh aku melihat pak Iwan lagi dengan pacarnya dan kepala bagian divisi lain yang datang bersama anak istrinya. Ya namanya bos, pasti kumpul dengan bos juga. Kami sholat dulu sebelum akhirnya makan siang bersama lalu di adakan sejumlah permainan untuk memperebutkan hadiah yang di sediakan.
Aku memilih tidak ikutan apa pun, sekalipun namaku beberapa kali di panggil dan pak Iwan terasa terus mengawasiku dari posisinya berdiri di dampingi pacarnya. Gak deh, mending cari aman dengan aku hindari dan memilih jadi tim hora hore. Sampai acara kemudian selesai lalu pengumanan door prise. Dan aku belum beruntung begitu juga teh Nia. Baru setelah itu acara bebas lagi. Tapi aku mengajak teh Nia sholat asar dulu sebelum setuju di ajak naik wahana arum jeram.
Andai aku tau naik wahana arum jeram buat bajuku basah kuyub, pasti aku menolak. Sampai aku menggigil tapi lalu merasa sayang kalo harus membeli baju ganti.
“Tar juga kering teh, ayo ah kita naik wahana yang lain” ajakku.
Sampai teh Nia batal juga beli baju ganti. Sayang uangnya sebenarnya, dan teh Nia setuju. Kaos aja hampir ratusan ribu, belum celana. Padahal untuk jajan beli minum aja udah cukup mahal. Nah saat jalan jalan mencari wahana yang akan kami naiki itu, akhirnya kami di ajak naik wahana perahu ayun atau kora kora. Memang dasar aku oneng, benar pak Iwan bilang. Aku iyakan saja, tanpa pernah tau efek setelah menaiki wahana itu. Aku pikir persis wahana perahu ayun yang suka aku naiki saat aku kecil di sebuah pasar malam yang suka ada di dekat rumahku dulu, ternyata beda, kalo aku abaikan ukuran perahu ayun yang ada di Dufan dengan perahu ayun yang ada di pasar malam.
Muntah muntahlah aku setelah turun dari wahana. The Nia masih tertawa dengan karyawan yang tadi mengajak kami naik perahu ayun, karena melihat aku muntah muntah.
“Payah si Neneng, masa nembak” ejek karyawan wanita yang masih perawan dan suka aku bantu foto kopi berkas kerjanya.
Aku abaikan karena sibuk dengan perutku yang rasanya di aduk aduk, belum kepalaku yang terasa pening karena aku takut sekali sepanjang naik wahana perahu ayun tadi.
“Neng!!!” jeritan teh Nia yang masih aku dengar saat aku akhirnya ambruk tak sadarkan diri.
Entah gimana caranya, pokoknya setelah aku sadar, aku sudah tiduran di bangku taman dan di pangkuan teh Nia, lalu wajah pak Iwan yang terlihat cemas menatapku.
“Alhamdulilah, sadar juga kamu. Masih pusing gak?” tanyanya menyentuh dahiku.
Aku mendadak risih, karena di awasi banyak orang yang juga peserta jalan jalan dari kantor. Jadi aku buru buru menggeleng walaupun kepalaku masih terasa pusing.
“Saya izin pulang pak” kataku menjawab pertanyaannya.
Gak enak aja lihatnya, kalo pak Iwan sampai jongkok di samping aku terbaring dan aku buru buru duduk supaya dia berhenti khwatir. Eh malah terniat sekali membantuku bangkit untuk mencari taksi saat dia akhirnya bangkit dari jongkoknya. Udah gitu pacarnya juga datang mendekat lagi. Panik dong aku dengan buru buru menatap teh Nia. Bagus teh Nia cepat tanggap dengan mengambil alih aku dari cekalan tangan pak Iwan.
“Tunggu Mil, ada yang sakit” katanya pada pacarnya sebelum melepasku beranjak dengan teh Nia dan dua staff kantor perempuan yang tadi naik perahu ayun denganku dan teh Nia.
“Yakan udah izin pulang, kamu gak niat antarkan?, yang lain masih di sini” jawab pacarnya dengan tatapan tidak bersahabat.
Hadeh makin aku tidak enak melihatnya.
“Permisi pak, kalo bapak udah izinkan, saya pulang dulu” jedaku setelah menatap teh Nia supaya mengerti maksudku.
Akhirnya pak Iwan hanya mengangguk lalu membiarkan aku beranjak dengan teh Nia dan memerintahkan dua karyawan staff menemaniku dan teh Nia menjegat taksi.
“Perasaan dulu pacar pak Iwan gak jutek begitu deh. Sekarang kelihatan gak ramah ya?” komen salah satu karyawan staff.
Aku dan teh Nia hanya saling tatap dan bertahan diam.
“Iya, kalo gak suka ikut ke Dufan, mestinya jangan ikut ya?. Jadi gak enak deh. Pak Iwankan janji jajanin kita kita kalo berani naik wahana ekstrem, trus jadi gak jadi deh, karena ceweknya mepet mulu kaya takut di tinggal apa di tikung orang. Yaw ajar sih, pak Iwan keceh badai. Tapi kalo udah pacaran lama trus tinggal nunggu nikah dong mah, kenapa mesti takut di tikung ya?. Lama loh mereka pacaran, dari pak Iwan masih karyawan staff juga sampai jadi kepala bagian” komen yang satunya.
Buat kepalaku semakin pening mendengar obrolan mereka. Bagusnya cepat sampai tempat pemberhentian taksi, jadi aku terbebas dari gibahan soal pak Iwan dan pacarnya.
“Maaf ya teh, jadi terpaksa pulang gara gara aku” kataku setelah masuk taksi dengan teh Nia.
Malah tertawa.
“Teteh malah suka Neng, jadi gak perlu lama lama di Dufan. Suami teteh pasti juga senang teteh cepat pulang” jawabnya.
Ya sudah aku lebih tenang mendengarnya. Takutnya teh Nia kesal karena harus pulang cepat sebelum acaranya selesai.
Lalu aku di buat kaget saat besok siangnya pak Iwan datang ke kos kosanku. Sampai aku terbelalak menatapnya yang datang bawa tentengan segala.
“Maaf saya datang gak bilang dulu. Saya khawatir kamu sakit kepanjangan Neng. Nih buat kamu makan, apa mau ke dokter sekalian?” katanya menjawab tatapanku.
Aku menghela nafas lalu terpaksa menerima bungkusan yang dia berikan. Makanan macam ayam kentcuky gitu sih, kalo logo bungkusannya huruf M besar warna hijau.
“Makasih pak” jawabku.
“Saya boleh masuk gak?” tanyanya setelah mengangguk.
Serba salah aku. Kenapa di hindari malah datang ke kos kosan aku sih pak?. Mana mungkin juga aku menolak, sudah jauh jauh datang. Aku persilahkan masuk juga, dan aku bersyukur pakai baju piama panjang walaupun lengannya pendek. Kalo pakai daster bingung juga duduk berhadapan dengan pak Iwan yang duduk sila di depanku setelah aku buatkan kopi.
“Kamu kenapa bisa pingsan kemarin?” tanyanya setelah sekian lama diam mengawasiku.
“Hmm…saya orang kampung pak, gak biasa naik wahana perahu ayun kali, jadi muntah muntah terus pusing” jawabku.
Dia diam dan bertahan menatapku sampai aku risih sekali.
“Trus kayanya masuk angina deh, gara gara naik wahana arum jeram trus baju saya basah trus kering di badan” tambahku sudah dia mengerti.
“Kenapa kamu gak beli baju ganti?” tanyanya lagi.
Aku tertawa pelan menanggapi.
“Sayang pak, mahal pisan, masa kaos aja bisa sampai ratusan ribu, belum celana” jawabku jujur.
Dia gantian tertawa.
“Dasar oneng” ejeknya.
Aku tertawa lagi dan tidak berani menatap matanya.
“Bilang saya harusnya, saya bisa traktir kamu, di banding kamu malah masuk angin” jawabnya dan membuatku mengangkat wajahku menatapnya.
“Kenapa Neng?” tanyanya pada tatapanku.
“Bapak baik banget sama saya. Harusnya gak gitu. Saya gak enak pak, sama pacar bapak terutama” kataku jujur.
Pak Iwan menghela nafas lalu gantian menunduk.
“Saya boleh tanya gak?” jedaku pada diamnya.
Baru dia mengangkat wajahnya menatapku lagi.
“Tanya apa Neng?” jawabnya bertanya balik.
“Bapak ada cerita apa sama pacar bapak?, kok dia tau saya OB?” tanyaku.
Pak Iwan terbelalak dulu sebelum akhirnya menghela nafas.
“Apa bapak cerita juga kalo suka antar saya pulang?” tanyaku lagi.
Bukan jawab malah diam dan menggeleng.
“Kok bisa tau saya OB di kantor pak?” tanyaku lagi.
Pak Iwan bertahan diam dan seperti sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Pasti bapak ceritakan?. Dan bukan saya tersinggung kalo pacar bapak tau saya OB di kantor. Gak harus juga saya malu kerja jadi OB, gak pak saya gak malu. Cuma saya heran, kok pacar bapak bisa tau saya OB. Apa ada staff kantor yang cerita sama pacar bapak, soalnya mereka semua kenal pacar bapak, saya cuma takut pacar bapak mikir macam macam sama kedekatan kita. Namanya mulut orang pak, bisa aja cerita berlebihan terus buat pacar bapak….” aku lalu diam bingung melanjutkan kemungkinan pacar pak Iwan cemburu kalo ada yang mengadu soal kedekatanku dengan pak Iwan.
“Buat pacar saya kenapa Neng?” tanyanya bersuara dan menatapku.
“Cemburu sama saya, walaupun kemungkinannya kecil. Saya siapa sih pak, kalo di bandingin pacar bapak, tentu gak sebanding” jawabku lalu tertawa pelan menertawakan asumsiku yang terkesan keGRan sekali.
Dan aku sesali, karena mungkin saja pak Iwan mikir aku kelewatan berasumsi. Yakan memangnya sinetron yang memungkinkan bos suka sama anak buahnya, sekalipun anak buahnya OB macam aku. Di kehidupan nyata mana mungkin bukan?. Tapi pak Iwan lalu menghela nafas pelan sebelum menatapku lagi.
“Gak ada yang sedekat itu dengan pacar saya di kantor Neng, sampai ngadu soal kamu dan saya” jawabnya.
“Trus artinya bapak yang bilang kalo saya OB di kantor?” cecarku mencari tau.
Dia mengangguk.
“Terpaksa, karena ada orang lain yang mengadu melihat saya, kamu dan Ben jalan jalan di kebun binatang waktu itu” jawabnya.
Astaga…sampai aku meringis mendengarnya. Pantas pacarnya terlihat tidak suka saat menatapku.
“Udah gak usah kamu pikirin, itu urusan saya. Kamu istirahat aja, apa ke dokter yuk, saya antar deh. Nanti malah kamu gak kerja karena sakit berkepanjangan” jawabnya dan tidak membuatku tenang.
Sampai akhirnya pak Iwan pamit pulang karena azan Asar terdengar dan karena aku terus menolak di ajak ke dokter.
“Istirahat ya Neng, kalo ada apa apa bilang saya” pesannya sebelum pergi dari kos kosanku.
Kalo ada apa apa bilang pak Iwan?, yang benar aja. Kenyataan pacarnya tau kalo aku pernah pergi dengan pak Iwan malah justru membuatku semakin takut dekat pak Iwan. Walaupun kami tidak pergi berduaan. Sampai kepalaku pusing lagi memikirkan gimana caranya menghindari pak Iwan di kantor. Panas lagi juga tubuhku saat teh Nia menengokku ke kos kosan dan akhirnya aku ceritakan semua termasuk kedatangan pak Iwan ke kos kosanku.
“Sayang kalo berhenti kerja Neng, gak gampang soalnya cari kerja di kota. Udah besok teteh coba ajukan rolling deh, kita pindah tempat. Teteh biar isi posisi kamu di divisi pak Iwan, trus kamu di tempat teteh sekarang” kata teh Nia yang khawatir juga soal aku.
“Memang bisa teh?” tanyaku tidak tau soal ini.
“Bisa aja. Nanti teteh usahakan. Teteh soalnya gak mungkin biarin kamu kena masalah dengan pacar pak Iwan. Ngeri juga Neng kalo orang di kantor tau, kamu pernah pergi sama pak Iwan di luar kantor, nanti tau juga kalo kamu sering di antar pak Iwan pulang kerja. Kalo pak Iwan jomblo sih gak masalah, lah pak Iwan punya pacar atau calon istri, nanti kamu di cap cewek gak baik kalo mau sama punya orang, apa rayu pak Iwan, apalagi dia bos, walaupun cuma kepala bagian” jawab teh Nia.
Aku mengangguk mengiyakan. Benar soalnya yang teh Nia bilang. Gak jelas juga sih perhatian dan kebaikan pak Iwan untukku. Terlalu berlebihan juga kalo di sebut perhatian bos pada anak buah. Dan jangan lupakan juga bagian kalo aku sejak awal suka pada sosok pak Iwan, walaupun aku juga tidak mengerti alasan sukaku pada pak Iwan itu suka sekedar suka apa jatuh cinta.
Dan pada akhirnya aku harus menghadapi amukan pak Iwan sampai kami berdebat hebat tidak jelas, lalu sejak itu pak Iwan bergerak menjauh dariku. Tapi mungkin lebih baik begitu, lebih baik kami terlihat tidak saling kenal sebelumnya, daripada aku buat masalah untuk diriku sendiri dan juga pak Iwan. Aku niatnya kerja dan bukan macam macam, kasihan keluargaku di kampung yang sudah mulai merasa jauh lebih baik karena kiriman uang bulanan dariku.