1987
Sameeta Yusuf, gadis yang membuat iri teman-temannya. Cantik, pintar, dan lahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya salah seorang pebisnis besar di tanah air. Berbagai macam bisnis dikuasai keluarga Yusuf dibawah kepemimpinan seorang Sandoro Yusuf. Bersama istrinya, Kamelia Yusuf mereka memiliki tiga orang anak. Anak tertua mereka Samuel Yusuf, 30 tahun yang juga sudah terjun membantu bisnis sang ayah, Rafael Yusuf 24 tahun yang baru saja menyelesaikan kuliah masternya dan akan segera bergabung dengan sang ayah dan kakaknya, serta si bungsu Sameeta Yusuf, 21 tahun yang baru saja menyelesaikan kuliah S1 nya dan kembali ke tanah air. Sameeta Yusuf yang akrab disapa Meeta itu bahkan tidak menyangka, kembalinya ia ke tanah air setelah menyelesaikan kuliah S1 nya di Cambridge akan berakhir selamanya. Ia harus memupus mimpinya untuk melanjutkan S2 nya setelah sang ayah menitahkannya untuk menikah dengan putra salah satu partner bisnisnya. Shabaga Husein, pria berumur 27 tahun yang belum pernah di temuinya. Akan tetapi, atas nama bakti seorang anak kepada orang tuanya, Meeta tidak bisa menolak. Ia menerima perjodohan yang akan menguatkan posisi sang ayah di dunia bisnis.
Meeta turun dari kamarnya yang berada di lantai dua bersama sang mama, Kamelia yusuf. Ia mengenakan dres floral tanpa lengan berwana putih sebatas lutut. Mamanya yang memilihkan, dan mamanya pula yang mendandaninya. Rambut sepunggung berwarna hitam kelam itu diikat dengan pita, menyisakan beberapa anak rambut dikanan dan kirinya. Matanya menumbuk sosok pria tampan dengan jambang tipis disekitar dagunya, duduk tegap di ruang tamu bersama sang papa, dan dua orang asing yang ia yakini adalah orang tua pemuda tampan tersebut. Kamelia menggiring putrinya untuk duduk bersebrangan dengan si pemuda.
“ Wah … cantik banget. Ini Meeta ya ?” Sosok wanita paruh baya seumuran mamanya beranjak, dan berjalan mendekati Meeta. Gadis itu segera berdiri untuk menyambut pelukan hangat seseorang yang masih asing untuknya.
“ Kamu beruntung Shaba.” Wanita paruh baya itu menoleh kearah pria yang dipanggil Shaba. Pria itu mengangguk sambil tersenyum. Meeta kembali duduk saat wanita tersebut kembali ke kursinya.
“ Jadi kapan bisa dilaksanakan pernikahannya ?” tanya pria paruh baya yang duduk disamping Shaba.
“ Paling cepat tiga bulan dari sekarang” Sandoro Yusuf menjawab. Pria itu duduk tenang dengan sebelah kaki berada di atas kaki lainnya.
“ Tapi kami perlu dana cair paling lambat satu bulan dari sekarang.” Sandoro mengambil cangkir teh di meja, lalu meneguknya pelan sebelum menjawab.
“ Aku akan cairkan dana itu 50% dulu, sisanya setelah pernikahan terlaksana. Apa itu bisa membantu ?” Pria paruh baya yang ternyata bernama Adnan Husein itu mendesah.
“ Tidak bisa.” Ia menggeleng.
“ Kalau begitu bagaimana kalau kami saja yang mengurus acara pernikahannya. Saya sendiri yang akan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya kurang dari 1 bulan.” Amira, istri Adnan berucap. Sandoro berdecak.
“ Meeta anak perempuan kami satu-satunya. Kami ingin membuatkannya pesta yang tidak akan ia lupakan seumur hidupnya.”
“ Paa … “ Meeta menjeda. Ia menatap satu persatu tamunya yang terlihat tegang. Ia bukan gadis bodoh. Ia bisa membaca situasi dengan cepat. Mereka membutuhkan bantuan orang tuanya.
“ Meeta tidak perlu pesta mewah.” Adnan dan Amira bernafas lega. Calon menantunya gadis yang pengertian.
“ Tapi sayang … “ Kamelia menyentuh lengan putri satu-satunya. Meeta menengok lalu menggeleng dengan senyum.
“ Bukankah yang penting kesakralannya ?” ia meraih dan menggenggam tangan sang mama.
“ Jika memang pernikahan ini yang harus dilakukan untuk kebaikan kedua keluarga, maka Meeta ikhlas.” Sang mama memeluk putri semata wayangnya. Gadis yang begitu baik hati. Maka, malam itu, setelah acara makan malam, mereka memutuskan untuk menggelar pesta pernikahan dalam waktu satu bulan ke depan. Amira, ibu Shaba berulang kali mengucap terima kasih pada Meeta karena mau mengerti keadaan mereka.
Pesta Pernikahan Meeta – Shaba
Meeta sadar ia sudah jatuh hati pada calon suaminya dari saat pertama bertemu. Meskipun setelah itu ia hanya bertemu kembali dengan Shaba saat fitting baju pengantin. Pesta pernikahan yang diatur kurang dari satu bulan itu tetap saja terlihat mewah. Pesta yang digelar di sebuah ball room hotel bintang 5 milik keluarga Husein dengan tema fairy tail tersebut menghiasi semua media, baik cetak maupun elektronik. Meeta terlihat seperti putri kerajaan denga gaun pengantin putih berekor Panjang berhias batu swaroski lengkap dengan mahkota berhias berlian. Sementara Shaba tampil tak kalah memukau dengan tuxedo putihnya. Badannya yang tinggi tegap, juga wajah rupawan membuatnya terlihat seperti pangeran dalam buku-buku dongeng. Senyum mereka mengembang selama acara yang berlangsung tak kurang dari 4 jam tersebut. Meeta merasakan puncak bahagia dalam hidupnya. Ia menoleh, menatap wajah tampan suaminya. Ia yakin sudah berada ditangan yang tepat. Shabaga Husein suami sempurna untuknya. Sayangnya, senyum sempurnya Meeta perlahan runtuh begitu kakinya memasuki rumah mewah milik pria 27 tahun itu.
“ Mulai malam ini, kamu akan tidur dikamar itu.” Shaba menunjuk sebuah kamar di lantai satu rumahnya, yang Meeta yakini adalah kamar tamu. Ia mendongak menatap suaminya. Senyum sudah tak lagi tampak menghiasi wajah pria tampan itu.
“ Maksudnya ?” Shaba tertawa.
“ Kamu belum mengerti juga ? “ ia menatap tajam Metta.” Pernikahan kita hanya formalitas. Tidak akan pernah ada pernikahan diantara kamu dan aku.” Ia menunjuk Meeta, lalu dirinya sendiri. Meeta tertegun ditempatnya. Apa yang sebenarnya sedang ia hadapi sekarang ?
“ Bibi … “ Seorang wanita 40 tahun tergopoh mendekati mereka.
“ Ya tuan. “
“ Bawa koper-koper itu ke ruang tidur tamu. Biar dia sendiri yang mengurusnya.” Si bibi terlihat bingung.
“ Tapi tuan … bukannya – “
“ Jangan membantah !!. Wanita ini akan tidur di kamar tamu. Dan kamar utama terlarang untuknya. Ingat itu !!“ titahnya, sebelum pergi menjauh, meninggalkan Meeta dalam keterkejutannya. Dengan gontai, Meeta yang masih mengenakan baju pengantinnya itu melangkah mengikuti sang bibi yang sudah berjalan terlebih dulu sambil membawa dua koper besar miliknya. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang baru saja dia alami. Kebahagian yang baru saja dirasakannya sirna begitu saja. Pria yang dianggapnya sempurna sebagai suami, menempatkannya di kamar tamu. Ia masih tidak mengerti, kalau memang pria yang sudah sah menjadi suaminya beberapa jam lalu itu tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa ia tidak menolak ? Ah iya … Meeta ingat. Dana … keluarga pria itu membutuhkan kucuran dana dari keluarnya. Tapi bukankah mereka bisa mencari bantuan orang lain jika putra mereka tidak menginkan pernikahan dengannya ?
“ Nyonya … “ Lamunan Meeta terputus saat mendengar suara wanita yang diikutinya.
“ Iya Bi … “
“ Itu … koper biar saya bantu bereskan besok saat tuan tidak di rumah.” Meeta mengerti. Si bibi ingin membantunya tapi dia juga tidak ingin bermasalah dengan sang tuan.
“ Tidak apa-apa Bi. Saya bisa melakukannya sendiri.” Meeta tersenyum. “ Sekarang bibi istirahat saja. Sudah malam.” Si bibi mengangguk. Merasa kasihan pada nyonya barunya, wanita cantik dan terlihat ramah yang sayangnya diperlakukan tidak baik oleh majikannya.
***
Sejak hari pertama Meeta menginjakkan kakinya di rumah Shaba, selama 6 bulan pernikahan mereka tidak sekalipun Meeta bicara pada Shaba. Suaminya berangkat pagi dan pulang malam. Meeta hanya bisa melihatnya saat berangkat bekerja atau pulang hanya beberapa kali. Ingin rasanya dia menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya, tapi batinnya melarang. Tidak seharusnya aib rumah tangganya diceritakan kepada orang lain, tak terkecuali keluarganya sendiri. Akan tetapi, jika ia hanya tetap diam, maka rumah tangganya sudah pasti akan segera berakhir. Entah ia, atau Shaba yang akan segera mengajukan gugatan cerai. Meeta menarik nafas panjang. Malam ini dia sudah membulatkan tekadnya untuk bicara dengan Shaba. Maka, ia masih duduk di ruang tamu meskipun jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia masih menunggu Shaba pulang. Satu jam berlalu, dan Shaba masih belum terlihat. Hingga setengah jam selanjutnya, ia bisa mendengar suara deru halus mobil mendekat. Ia menyiapkan diri dan hatinya.
“ Bisa kita bicara ?” Shaba yang baru saja memasuki rumah tersentak, tidak menyadari kehadiran seseorang yang teramat dibencinya berada di ruang tamu.
“ Tidak ada yang perlu dibicarakan” Jawabnya tanpa menoleh. Meeta meraih lengan Shaba begitu melihat pria itu hendak melanjutkan langkahnya. Shaba menoleh, memandang sinis Meeta. Ia menarik kasar lengannya.
“ Apa yang kamu inginkan ?”
“ Bicara.” Shaba tertawa.
“ Katakan saja apa yang kamu inginkan. Perhiasan ? Mobil ? katakan saja.” Meeta menggeleng.
“ Aku ingin kita bicara. Pernikahan macam apa ini sebenarnya. Apa salahku hingga kamu tidak memandangku sebelah matapun.” Meeta berteriak frustasi. Shaba tersenyum miring.
“ Pernihakan ? sudah pernah ku katakan tidak akan ada pernikahan diantara kita.”
“ Kamu mempermainkan akad ?” tanya Meeta tidak percaya.
“ Itu hanya formalitas.”
“ Kamu berjanji atas nama tuhan. Itu bukan formalitas. Dan yang sekarang kamu lakukan adalah mempermainkan akad.”
“ b******k. Kalau bukan karena orang tuaku … aku tidak akan pernah sudi menyebut namamu dalam akad itu.” Shaba mununjuk wajah Meeta dengan marah “ Gara-gara kamu, aku tidak bisa menikahi kekasihku secara hukum.” Meeta tersentak mendengar pengakuan Shaba.
“ Apa maksudmu ?” wajah Meeta berubah pias.
“ Kamu masih tidak mengerti ? dasar bodoh. Gara-gara wanita bodoh sepertimu, impianku menikah dengan kekasihku kandas. Kamu menghancurkan hidupku.” Shaba mendorong bahu Meeta. Meeta yang tidak siap, oleng dan terjatuh. Dengan nafas yang mulai memburu, mata yang terasa memanas, Meeta kembali berdiri. Ia membalas tatapan tajam suaminya.
“ Bagaimana bisa kamu menyalahkanku ? siapa di sini yang bodoh ? kalau kamu memang tidak menginginkan pernikahan ini, harusnya kamu menolak.”
“ Kamu pikir aku bisa menolak saat posisi keluargaku bergantung pada orang tuamu ?”
“ Kalau begitu kenapa kamu tidak meminta bantuan keluarga kekasihmu saja ?” Meeta tersenyum mengejek. “ Oh .. aku tahu” ia menatap remeh suaminya “ Keluarga kekasihmu itu pasti tidak bisa membantumu bukan ?” Meeta menggelengkan kepalanya, sementara kedua tangan Shaba sudah terkepal kuat. “ Seharusnya kamu berterima kasih padaku. Karena aku … kamu masih bisa tinggal di rumah ini.”
“ PLAK .. !!” suara tamparan menggema di ruang tamu. Meeta meringis, tangannya mengusap pipi kirinya yang terasa sakit. Air mata sudah meleleh membasahi kedua pipinya. Seumur hidupnya tidak seorangpun pernah menamparnya, dan naasnya dia malah mendapatkan tamparan pertamanya dari sang suami. Orang yang seharusnya menjaganya.
“ Kalau kamu sebenci itu padaku, silahkan ceraikan aku.”
“ Kamu pikir aku tidak ingin melakukannya ?” Wajah Shaba memerah menahan amarah. “ Orang tua brengsekmu itu akan menarik semua dananya kalau aku menceraikanmu sebelum kita punya anak.” Shaba tertawa keras, lalu menggeleng, ia mengamati Meeta dari ujung kepala hingga kaki.
“ Sayangnya aku bahkan tidak bernafsu sedikitpun pada anaknya.” Ia memandang remeh perempuan dihadapannya. Hati Meeta serasa diremas-remas. Shaba tidak hanya menyakiti fisiknya, tapi juga hatinya.
“ Kalau begitu kenapa tidak segera kamu kembalikan dana dari orang tuaku ? Apa kamu sudah benar-benar jatuh miskin ?” Meeta tidak ingin kalah. Pria sombong itu seharusnya berterima kasih padanya bukan malah menghinanya. Ia berusaha menguatkan hatinya.
“ Kamu pikir untuk apa aku bekerja keras setiap hari ? aku ingin segera melemparmu kembali kepada orang tuamu.” Shaba melangkah meninggalkan Meeta. Meeta merasa tubuhnya melemah, ia jatuh terduduk. Isak tangis sudah tidak bisa ia tahan. Hatinya benar-benar sakit. Ia salah mengambil keputusan. Keputusan menerima pernikahan dengan Shabaga Husein. Dia bukan lelaki yang tepat untuknya.
Malam semakin larut, dan Meeta masih belum bisa memejamkan matanya. Setelah pertengkarannya dengan Shaba, cukup lama ia menangis di ruang tamu, sebelum akhirnya melangkah gontai ke kamarnya. Ia tidak bisa mengira-ira masa depan seperti apa yang akan dihadapinya.