Bel pulang sekolah berbunyi. Namun, langkah letih Tasya terhenti oleh 3 orang anak perempuan yang berwajah masam. Siapa lagi kalau bukan Yuan, Dewi, dan Ulfa yang tak terima dengan tindakan Tasya. Rupanya yang memanggil guru BK adalah Natasya. Natasya hanya membuang senyuman sinisnya ketika menghadapi ketiga anak perempuan itu.
“Kamu gak denger tadi kalau aku juga dapat hukuman?” ujar Tasya sinis.
“Iya kamu cuma diskors 3 hari. Kami 2 minggu! Kami harus ikut ujian kenaikan kelas secara menyusul. Kamu benar-benar pembuat onar!” ujar Yuan.
“Itu kan salah kalian sendiri kenapa aku yang jadi sasaran?” tanya sinis Tasya tanpa menatap ketiganya.
“Sadar gak sih, kita bully Bia juga demi kamu. Itu untuk membantumu, Tasya!” ujar Dewi melas.
“Aku gak pernah minta kalian lakuin itu. Aku gak butuh bantuan kalian,” ujar Tasya dingin.
“Dasar gak tahu terima kasih ya kamu. Udah dibantuin bukannya terima kasih malah laporin kami ke guru BK!” ujar Ulfa hampir menjambak rambut panjang Tasya. Namun, tangan mungil kuat itu menahan tangan Ulfa hingga memerah.
“Kamu belum kapok nyakitin orang ya? Kalian gak berhak menghukum Bia. Aku yang berhak melakukannya. Tapi aku gak mau karena aku tak mau mengotori tanganku. Kalian gak usah sok baik. Aku gak percaya lagi sama yang namanya kebaikan antar teman. Mulai sekarang, jangan bawa namaku untuk kebodohan kalian,” celoteh judes Tasya yang diakhiri dengan menghempaskan tangan Ulfa ke tembok sekolah.
“Ish, dasar t***l!” umpat Ulfa. Natasya tak menoleh lagi. Pikirannya sudah lelah dengan ulangan barusan, belum lagi BK memanggil orang tua Natasya. Rupanya guru BK sekolah itu tak tahan lagi dengan permasalahan Tasya. Percuma cerdas kalau hanya memancing masalah, mungkin itu pikiran guru BK.
---
“Pasukan, push-up 50 kali. Danru, kamu hitung! Lalu kamu gantian 60 kali. Danton, 80 kali. Sekarang!” seru Danki Ibrahim sambil membentak wajah datar Arga. Seperti yang dikatakannya, dia memang dihukum sang danki karena perbuatan romantisnya.
“Siap!” jawab pasukan.
“Siap, Danki!” jawab Arga lantang lalu mengambil sikap tengkurap. Dengan sigap dia menghitung jumlah push-up-nya. Keringat sebesar jagung membasahi dahi Arga. Dirinya tetap bersikap ksatria dengan menerima hukuman atas tindakan memanfaatkan jabatannya.
“Awas kalau sampai kamu ulangi perbuatanmu, Arga!” ancam Danki Ibrahim setelah Arga selesai melakukan hukumannya.
“Siap!” balas Arga lantang. Dia menata napas tersengalnya dengan duduk meluruskan kaki. Dia sempat membalas hormat pada peletonnya yang terlihat kelelahan setelah dihukum. Rasa bersalah menyerap di hatinya karena mengorbankan prajurit-prajurit muda itu demi keinginannya. Dia merasa tak pantas menjadi pemimpin mereka.
“Nih!” ujar Danki Ibrahim sambil menyodorkan air mineral pada juniornya itu.
“Siap! Terima kasih, Danki,” balas Arga tegas. Danki Ibrahim duduk di sebelahnya. Lelaki yang 2 tahun lebih tua dari Arga itu memandanginya lekat seolah meminta penjelasan dari junior kesayangannya itu.
“Kita bicara santai aja ya, Dik. Kita ini satu keluarga asuh, aku kenal kamu sejak dari lembah tidar dulu. Sikapmu itu sangat terjaga, tertata, terencana, dan teratur. Abang kenal sekali denganmu. Tapi, kenapa baru kali ini kamu mencoreng namamu sendiri dengan tindakan sepele itu?” ujar Danki Ibrahim pelan.
“Siap, izin Bang. Saya benar-benar menyukai anak ini,” ujar Arga pelan. Danki Ibrahim menggeleng kepala heran.
“Ckck, Arga Arga. Kudengar dia anak yang jatuh dari jembatan tali waktu outbound kemarin, kan?”
“Siap Bang!” ujar Arga tegas.
“Dik, gimana kalau danyon sampai tahu. Kamu kayak lupa saja, kamu itu kesayangan Danyon. Semua asrama tahu kalau kamu itu calon menantunya,” ujar Danki Ibrahim yang membuat raut wajah Arga berubah.
“Izin Bang. Itu kan belum pasti.” Arga meminum air mineral untuk meredakan gemuruh hatinya.
“Ga, sudah jadi rahasia umum kalau kamu itu selalu jadi idaman sejak zaman taruna. Masih ingat dulu pejabat teras akademi yang suka kasih kamu makanan enak? Kamu itu idola para ibu pejabat teras TNI. Gak mau ngaku ya kalau kamu sering dijodoh-jodohkan sama anak perempuan mereka,” ujar Danki Ibrahim yang sejenak membuat Arga bernostalgia.
“Ah Abang ini. Berhenti membuat saya geer lah. Mereka cuma bercanda kok,” kilah Arga sambil mesem memperlihatkan barisan gigi rapinya.
“Ah kau ini! Lupa apa sama anak gubernur Akmil yang nyamperin kamu waktu kita lari di Saptamarga?” tukas Danki Ibrahim sambil menepuk pundak junior kesayangannya itu. Arga tergelak karena teringat dengan ulah Mona, nama anak gubernur Akmil itu.
“Malah ketawa kamu nih. Maksud Abang itu, carilah calon istri yang sepadan sama kamu. Kamu harus berpikir ulang dengan anak SMA itu. Jangan sampai kamu yang rugi, perjuanganmu tak sepadan dengan hasilnya. Arga, dengan wajahmu itu, kamu bisa memilih wanita mana saja hanya dengan melentikkan jari. Buat apa sih kamu korbankan kariermu demi seorang anak SMA?” Perkataan Danki Ibrahim menusuk perasaan Arga.
“Siap Bang!” ujar Arga pendek. Dia tak ingin berdebat dengan abang asuhnya itu. percuma juga karena Bang Ibrahim tak pernah merasakan cinta yang beda. Maklum Bang Ibrahim adalah korban perjodohan demi karier di militer. Mungkin itu kira-kira pikiran Arga.
“Lalu gimana hubunganmu sama anaknya danrem? Baik, kan?” tanya Danki Ibrahim sambil menyenggol lengan Arga.
“Siap, ya gitulah Bang!” ujar Arga ragu. Danki Ibrahim menepuk pundak Arga.
“Kamu nih! Sudah ketemu yang cocok kok gak dideketin. Kurang apa anaknya danrem? Putih, cantik, calon dokter, seumuranmu, bapaknya bentar lagi promosi menjadi jenderal bintang 1. Kujamin kariermu semulus jalan tol, Ga,” cerocos Danki Ibrahim yang membuat Arga pusing.
Untung saja suara terompet istirahat siang penyelamatArga berbunyi. Dengan sopan dia berpamitan pada Danki Ibrahim. Seniornya itu hanya mengangguk lemah karena merasa terlalu banyak bicara. Dengan cepat, Arga mengambil sepeda angin yang selalu dipakainya di dalam asrama. Dia memacu lajunya menuju barak Tontaikam. Ingin rasanya dia menyiram kepalanya yang berambut tipis dengan air dingin kamar mandi. Kepalanya terasa panas dan lelah apalagi dengan wejangan yang diterimanya dari seniornya itu. Bunga-bunga cinta di hatinya sedikit layu.
“Saya minta maaf ya atas keegoisan saya. Saya membuat kalian semua dihukum, Danki.” Kata-kata Arga terdengar tulus ketika mengumpulkan pletonnya di ruang TV barak setelah salat dhuhur.
“Siap, tidak, Danton!” jawab suara itu kompak.
“Siap, kami sudah menerima resiko, Danton!” Arga manggut-manggut puas. Dia sangat senang karena anggotanya tak menyesal membantunya.
“Izin, Danton mau makan siang? Biar saya sekalian ambilkan dari kantin,” ujar Pratu Juli.
“Menunya apa?” tanya Arga pelan.
“Siap, nasi, sayur bayam, dadar jagung, ayam goreng, dan sambal. Izin petunjuk?” tanya Pratu Juli lagi.
“Oke, nasinya sedikit banyakin sayurnya ya, Bro!” ujar Arga senang.
“Siap!” jawab Pratu Julian.
Arga duduk di kursi busa barak sambil memandangi layar ponselnya. Dia tersenyum sendiri melihat foto Natasya yang melongo tanpa ekspresi dengan membawa bunga mawar. Dia sadar banyak rintangan yang pasti menghadang hubungan mereka. Hatinya bagai bertabrakan. Di suatu sisi dia sedang bahagia karena Natasya menjadi miliknya. Di sisi yang lain, dia bimbang dengan posisinya saat ini.
Menjadi kesayangan danyon adalah beban yang berat baginya. Dirinya memang sudah terbiasa menjaga perilaku. Namun, semenjak Letkol Inf. Harun Satya Prasojo itu mendeklarasikan Arga sebagai kesayangannya, hidup Arga sering mendapat sorotan sana dan sini. Dia mulai mendapatkan sindiran halus maupun kasar dari senior-senior yang kurang suka dengan perlakuan istimewa itu. Belum lagi Danrem, ayah perempuan yang disebut-sebut dijodohkan dengannya, terang-terangan menitipkan Arga pada Letkol Harun. Makin seganlah hidup Arga. Dia tak suka dengan perlakuan istimewa seperti itu. Dalam benaknya, semua prajurit sama, tergantung amal perbuatan dan pengabdiannya pada negara.
---
“Papa, ini surat dari kantor BK sekolah Natasya. Tolong dibaca dan datang ya,” Begitu ucap Natasya di secarik kertas yang dia tinggal di atas meja makan. Itu memang caranya berkomunikasi dengan papanya yang sibuk berat. Saking sibuknya, dalam seminggu mungkin hanya 1 atau 2 jam Tasya bisa melihat wajah papanya. Si papa berangkat kerja saat Tasya belum membuka mata dan pulang saat Natasya sudah tidur. Bahkan, kadang papanya tak pulang ke rumah. Tasya tak tahu dan tak mau tahu dengan hidup papanya, seperti si papa juga begitu pada Tasya. Tasya tak peduli apa papanya sudah makan atau belum. Dimana papanya tidur, entah di kamarnya atau di rumah orang lain atau mungkin di pelukan wanita lain.
Lewat meja makan jugalah si papa sering menulis pesan untuk Tasya. Di situlah juga lelaki berusia 40 tahun itu meletakkan uang bulanan Tasya. Uang bulanan Tasya diberikan lebih banyak dari anak seusianya. Papanya pikir dengan uang itu Tasya bisa bahagia. Padahal untuk anak kesepian itu, bukan uang yang dia inginkan, tapi belaian dan kasih sayang papanya. Setidaknya si papa masih mau seatap dengannya. Beda dengan si mama yang entah ke mana. Punya anak Tasya saja mungkin si mama sudah lupa.
“Jadi pacar mungilku di-skors selama 3 hari?” simpul Arga di telepon saat malam harinya. Tasya hanya menyimpulkan mulut merahnya.
“Iya gitulah. Trus papa dipanggil ke sekolah.” Jawaban Tasya yang santai membuat Arga terhenyak. Pacarnya itu memang berbeda dengan gadis kebanyakan.
“Kamu gak takut dimarahi Papamu?” tanya Arga.
“Enggak, ngapain aku takut Kak? Aku lebih takut kehilangan prestasi di sekolah. Makanya aku ingin menyelesaikan masalah ini, supaya prestasiku tidak tercemar lagi,” ujar Tasya yakin.
“Oh, jadi gitu. Ya semoga semua baik saja ya? Kamu sangat cinta belajar ya, Dek? Jangan-jangan kamu lebih cinta belajar daripada aku?” tuduh Arga yang membuat Tasya mesem.
“Kok diem?” desak Arga. Tasya menyusut senyum samarnya.
“Iya, aku lebih cinta belajar daripada kamu, Kak.” Jawaban Tasya lagi-lagi membuat Arga gemas. Anak satu ini benar-benar pelajar idaman. Dia malah kagum dengan sifat Tasya yang sangat cinta sekolahnya itu. Dia tak terpengaruh pergaulan bebas walau dia seorang korban perceraian.
“Trus tadi waktu diomeli gurumu, gimana ekspresimu, Dek?” desak Arga.
“Ya seperti biasanya. Datar kayak papan tulis. Sama waktu Kak Arga ganggu aku di dermaga itu,” ujar Tasya yang membuat Arga terbahak keras.
Keduanya larut dalam perbincangan ringan khas bunga-bunga pacaran. Jarak 27 km di antara mereka seolah bukan halangan yang berarti. Andaikan barak taikam Yonif Para Raider 330 di Cicalengka dan Kota Bandung bisa didekatkan, mungkin mereka sudah lengket seperti permen karet. Walau Natasya masih saja dingin dan tak banyak tertawa, namun Arga tetap menyukai sifat manis Tasya itu. Arga tahu tak mudah untuk menarik hati perempuan terluka seperti Tasya.
***