Bab 12 Better Than You

1518 Words
               Matahari menyembul dari awan tebal di bagian timur. Natasya sudah bersemangat menuju halte bis sekolahnya. Pagi ini dia berangkat lebih awal karena ada jam olahraga. Sekolah dimulai pukul 07.00, tapi di jam 06.00 dia sudah siap menuju sekolahnya. Kalau bis sekolah belum lewat, dia memutuskan untuk naik angkot saja. Entah hatinya sangat bersemangat pagi ini. Apa hanya karena mendengar kata ‘miss you’ dari Arga semalam? “Halo, Kak?” ujar Tasya pelan ketika mengangkat telepon dari Arga. Hatinya berdebar cukup keras. Tumben Arga meneleponnya di pagi hari. Biasanya dia hanya mengirim pesan ucapan saja. “Tasya, kamu dimana?” tanya Arga lembut. “Ini masih di ujung gang rumah. Mau ke halte depan untuk ke sekolah.” “Apa ini tak terlalu pagi?” tanya Arga pelan. “Gak kok Kak. Jam pertama olahraga, aku hanya ingin lebih siap saja,” ujar Tasya datar. “Oke, hentikan langkahmu sekarang juga! Aku ke situ dalam waktu 5 menit,” ujar Arga sambil menutup teleponnya.             Natasya tertegun. Apalagi yang akan dilakukan Arga di pagi ini? Memberi kejutan? Atau apa? Dia menyimpan rasa penasarannya dan memilih untuk menunggu kedatangan Arga. 5 menit? Memangnya waktu itu tak terlalu sebentar untuk datang ke sini. Memangnya Kak Arga naik karpet terbang apa? Begitulah tebakan Tasya di dalam benaknya. “Kak Arga…” gumam Tasya keheranan ketika melihat sebuah mobil dinas mendekat. Ada sebuah truk tentara yang penuh dengan tentara di belakang mobil itu. Sejenak kemudian, ada sosok Arga yang gagah dengan seragam dorengnya turun dari dalam mobil dinas. Di tangannya tergenggam sebuket besar bunga mawar merah muda yang semerbak wangi. “Hai Natasya Alleira. Ini yang kamu minta kan?” tanya Arga sambil menyodorkan bunga wangi itu. Tasya bertanya-tanya kebingungan. Kebingungan itu makin membuncah tatkala 21 orang tentara turun dari dalam truk sambil membawa buket bunga mawar merah muda yang serupa dengan yang dibawa Arga. “Kenalin Dek, Om-om ini peletonku. Mereka ini rela membantuku demi kamu. Mungkin setelah ini aku akan dihukum danki karena memanfaatkan jabatanku demi cewek. Tapi, demi kamu, aku rela kok. Aku sayang sama kamu, Dek. Lebih dari itu, aku mencintaimu, Natasya.” Ucapan Arga membuat hati Tasya runtuh. Dia bagaikan kutub utara yang runtuh.             Hatinya makin leleh saat Arga berlutut di hadapannya sambil menyodorkan buket bunga mawar. Hal itu menimbulkan sorakan heboh dari pasukan peleton. Pasukan peleton yang hendak upacara di balai kota Bandung itu pasti tak menyangka kalau komandan peletonnya jatuh cinta pada anak SMA. Beberapa dari mereka juga cuma melongo karena melihat kecantikan wajah Natasya. Apalagi saat pipi Tasya merona merah karena malu. “Kak Arga, jangan gitulah. Aku malu,” ujar Tasya gugup. Dia tak mungkin menyuruh para tentara itu diam dengan menampar wajah dantonnya. Yang dilakukan Tasya hanyalah menahan malunya yang sudah mencapai ubun-ubun. Apalagi setelah Arga melentikkan jarinya pada para pasukan. 21 orang tentara itu mendekati Tasya yang berada di tengah-tengah sambil menyodorkan buket mawar merah muda yang semerbak. “Aku ingin kamu terjatuh dalam cintaku, Tasya. Kalaupun kamu tak mau, jatuhlah dalam tumpukan bunga-bunga ini,” ujar Arga makin manis. Natasya tak kuasa lagi menahan air mata harunya. Dia menarik Arga untuk bangkit. Lelaki bertinggi 180 cm itu lantas merengkuh kekasih mungilnya. Mereka berpelukan untuk pertama kalinya diiringi tepuk tangan dan sorakan para pasukan. “Ini hari pertama kita, Dek,” ujar Arga yang ditanggapi senyum tanpa suara Tasya. Dirinya bagai terjatuh di tumpukan bunga mawar. Wangi dan damai. --- “Tadi kamu diantar siapa, Tasya? Kok turun dari mobil tentara?” telisik Risan sambil memantulkan bola basket di depan Tasya. Mereka sedang ada di pelajaran olahraga jam pertama. “Kepo!” sahut pendek Tasya. Wajahnya tetap dingin kendati hatinya sedang berbunga-bunga. Risan tak berani mendekatinya lagi. Dia tahu Tasya memang dekat dengan salah seorang tentara sejak mereka ikut kemah. Risan memang diam-diam mengikuti kehidupan Tasya. Cintanya sudah terpendam sejak mereka kelas 1 SMA.             Perhatian anak-anak teralih pada seorang gadis yang banyak menunduk ketika melewati lapangan basket. Dialah Bia yang sedang menuju laboratorium Kimia di seberang lapangan. Beberapa siswa perempuan berbisik-bisik sambil menatap sinis Bia. Bia juga tak enak hati melewati gerombolan anak-anak, terutama kelas XI IPA 1, kelas Natasya. Padahal Tasya cuek saja dengan kejadian itu. Dia memilih untuk memantulkan bola basket dan memasukkannya ke ring dengan semangat. “Eh ada cewek penghianat! Berani juga lewat di sini!” seloroh Dewi sambil menghadang Bia. “Iya nih, gak sadar ya kalau ini kelas sahabatnya, eh, mantan!” balas Yuan sambil menatap tajam Bia. “Hei, Tasya daripada lempar bola itu ke ring, lempar ke si Bianca Adriana aja!” cemooh Ulfa kasar. Tasya cuek dan tak menanggapi. “Yang punya pacar sembunyiin! Cowok loe sembunyiin rapet-rapet!” cemooh anak lainnya sambil tertawa mengejek. “Kalian mau apa sih? Aku gak mau cari masalah ya,” ujar Bia ketakutan. Suatu kesalahan dia lewat di sini. “Heh! Gak usah sok suci deh kamu. Semua orang di sini tuh benci sama kamu. Pindah sekolah sana! Kalau perlu ke planet lain!” ujar Dewi emosi. Entah emosinya karena tak suka dengan perbuatan Bia atau membela Natasya. Tapi, Natasya tak peduli dengan apa maksud mereka itu. “Hei Tasya, ini loh musuhmu sudah kami tahan. Mau kamu apakan nih? Ayo cepat sebelum guru datang! Lempar bola saja, Tasya!” ujar Ulfa memprovokasi. “Natasya, gak usah sok baik juga deh. Kami tahu kamu sangat ingin menghajar cewek sok kecantikan ini!” kata Yuan tak mau kalah.             Buk! Sebuah lemparan bola basket dengan keras mendarat di tembok tepat di atas kerumunan pasukan pem-bully Bianca itu. Keempat anak itu kaget bukan kepalang. Mereka menoleh ke arah Tasya yang sudah memandang sinis. Langkah kaki mungilnya mendekat. Dia sempat tersenyum sinis dengan mata tajam melirik. “Puas? Sekarang, hentikan tindakan kotor kalian. Jangan pernah bawa namaku untuk menyiksa orang tak penting. Kalian pikir, kalian gak jauh lebih baik dari dia? Kalian tuh sama aja. Munafik!” Kata-kata Natasya terdengar tajam dan sinis. Dewi memberi kode untuk bubar. “Ada guru!” ujar Yuan pelan. Kerumunan yang terhenyak itu membubarkan diri.             Natasya menghela napas beratnya. Dia sebenarnya enggan menanggapi Bia dan dunianya serta bully tak jelas yang ada dengan memakai namanya. Natasya tak perlu membalas Bia. Dia pikir semua perbuatan pasti ada balasannya. Dan Natasya tak perlu dikaitkan lagi. Natasya memilih untuk menggoyangkan kepalanya agar pikiran tak jelas itu bisa buyar dan menghilang. Saat ini dia hanya ingin mengingat Arga dan momen manisnya. ---             Natasya membasuh wajah cantiknya dengan air kran yang segar. Tubuhnya terasa lelah karena baru selesai olahraga basket. Namun, dia harus tetap semangat karena hari ini 3 ulangan menghadangnya. Matanya sempat membaca tulisan Arga lewat pesan WA. ‘Semangat ya Sayang untuk ulanganmu!’, begitu tulisnya dalam pesan itu. “Makasi ya Kak Arga,” gumam Tasya pelan sambil tersenyum samar. Namun, senyumnya hilang saat telinganya mendengar suara gaduh dari bagian kamar mandi yang lain. “Apa sih kesalahanku sampai kalian perlakukan aku kayak gini?” ujar suara lirih itu. Tasya mengintip dengan mata indahnya dan mendapati Bianca sedang terduduk di lantai kamar mandi. Baju seragamnya basah karena disiram air oleh Dewi, Yuan, dan Ulfa. “Kehadiranmu itu sudah salah. Masih punya muka juga ya kamu sekolah di sini! Kamu tahu gak sih, kita semua itu benci banget sama kamu!” ujar Ulfa keras sambil menjambak rambut Bia. Bia mengaduh kesakitan. “Kita semua jijik banget sama cewek perebut pacar orang seperti kamu! Kamu berhasil membuat Natasya dibenci sama orang satu sekolah. Sekarang gantian dong, kamu harus dibenci sama semua orang!” ujar Yuan tak mau kalah. “Emang kalian dibayar berapa sama Tasya sampai kalian menyiksaku seperti ini. Aku akan bayar 2 kali lipat!” ujar Bianca sedih. “Heh! Kamu kira kita ini pengemis? Kita itu benci kamu karena kamu bikin kita jadi kayak orang bodoh. Selama 1 tahun kami seperti orang bodoh karena membenci orang yang salah. Jelas!” ujar Dewi sambil menjundu Bia. Bully di sekolah memang menakutkan. Sampai ada sebuah suara memecah aksi mereka. “Dewi Anindia, Yuan Ariska, Ulfa Marisa, apa yang kalian lakukan?” teriak Bu Felisa, guru BK. Ketiga siswa perempuan itu seketika mematung. Rasa takut menelisip ketika mendengar guru BK terkejam di sekolah itu berteriak lantang. “Kalian berempat ikut saya ke ruang BK! Berlima dengan Natasya Alleira” ujar Bu Felisa lantang sambil melirik wajah cuek Tasya.             Bianca berusaha berdiri dengan kakinya yang lemah. Dia mengibaskan roknya yang basah. Matanya mulai menangis. Karma ini terasa sangat kejam mencambuknya. Langkahnya terhenti oleh wajah dingin Natasya yang menatapnya kaku. “Kamu menyeretku lagi dalam masalahmu, Bia,” ujar Tasya dingin. “Tasya, semua ini gara-gara kamu. Kak Egi udah ninggalin aku sekarang. Bahkan, dia gak mau kenal denganku lagi. Seluruh sekolah membenciku. Semua gara-gara kamu!” ujar Bia sedih. Tasya terperangah dingin. “Kamu gila ya? Kamu yang menanam masalah, aku yang disalahkan? Kamu memang selalu jadi perusak hidup orang lain. Kamu pasti tahu kan kalau hidup Egi hancur karenamu. Dia sering dihukum oleh seniornya juga karena kamu. Kamu adalah awal kehancuran hidupku dan Kak Egi. Camkan itu!” ujar Tasya judes yang terasa menusuk hati Bia. Gadis yang seragamnya basah itu hanya bisa menangis. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD