Aurora In Factory

1049 Words
Aleah menatap ke arah pria tinggi kekar di belakang Arthur dan mengingat-ingat apakah ia mengenal pria itu. Tetapi berkali-kali ia membolak-balik arsip dalam kepalanya tak ada wajah pria itu di sana. Itu artinya ia tak mengenal pria itu. “Siapa kau?” tanya Aleah. “Aku akan membelimu” kata Lucas dengan nada sombong. Aleah tersenyum sinis. Ia sudah terbiasa dengan hal ini “maaf, tapi aku tidak menjual apa pun selain tarianku” jawabnya sambil lalu meninggalkan Lucas. Arthur menarik lengan Aleah dan mencegahnya “apa kau tidak tahu, dia berasal dari keluarga Orlando, keluarga konglomerat itu” bisik Arthur. Aleah menatap sinis ke arah Lucas “dari keluarga mana pun kau berasal aku tidak peduli, cari saja penari yang mau melayanimu tapi bukan aku” tegas Aleah kemudian masuk ke dalam ruang rias dan membanting pintu. Arthur jadi merasa bingung harus bagaimana sementara aura orang di belakangnya sangat menakutkan. “Tu-tuan, maafkan aku, tapi...” Arthur terbata-bata. Ekspresi Lucas tak bisa ditebak “mungkin lain kali aku harus mampir lagi ke tempat ini” katanya kemudian melenggang pergi meninggalkan Arthur yang masih termangu di tempatnya. *** Lucas membuka matanya. Pagi ini cukup cerah. Aroma kopi menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Itu aroma kopi buatan ibunya yang sudah terbayangkan rasa nikmatnya. Lucas segera turun ke dapur untuk menjemput kopi yang enak itu. “Selamat pagi, Mama” ucap Lucas begitu sampai di dapur. “Selamat pagi, nak” ucap Nara, ibunya sambil meletakkan secangkir kopi di depannya. “Mm, kopi buatan Mama memang yang paling enak” puji Lucas. Nara tersenyum “hari ini kau ke pabrik ya?” pinta Nara. “Kenapa harus aku?” Lucas mengerutkan dahi. “Papa berangkat ke Denmark pagi-pagi tadi dan Rafael tidak bisa karena ia demam sejak semalam” keluh Nara. “Ck, kenapa anak itu selali sakit-sakitan? Menyusahkan saja” cibir Lucas. Nara tersenyum lembut “nak, kau tahu bagaimana keadaannya bukan, kau pergi ke pabrik ya? Mama mohon” Nara menyatukan telapak tangannya. Lucas selalu tidak bisa menolak permintaan Nara. Meski Nara bukan ibu kandungnya tetapi ialah yang merawat Lucas sejak bayi. Dia juga ibu yang sangat baik dan tidak pernah membedakan ia dengan Rafael meski Rafael adalah anak kandung Nara. Lucas menghela napas “baiklah, Ma, aku akan ke pabrik, memangnya apa tugasku di sana?” “Kata Papa ada beberapa dokumen yang harus kau tanda tangani sekaligus kau harus menghadiri rapat di kantor pusat juga” jelas Nara. Lucas mendelik “aku harus ke kantor pusat juga?” Nara menganggukkan kepala sambil menyiapkan roti bakal dengan selai kacang kesukaan Lucas. “Kenapa Papa menyerahkan tugas ini padaku, Ma, dia tahu bukan aku tidak suka pekerjaan kantor, aku bahkan tidak pernah berharap akan mewarisi salah satu perusahaannya” keluh Lucas. Nara meletakkan roti bakar buatannya di meja dan menatap Lucas “Nak, papa hanya punya dua orang anak dan kebetulan kalian berdua sama-sama lelaki, papa ingin kalian memimpin perusahaan itu bersama-sama, terlebih kondisi fisik Rafael yang lebih lemah darimu...” mata Nara meredup mengingat kondisi anak bungsunya yang lemah karena dulu ia lahir prematur dan hingga saat ini kondisi kesehatannya tak pernah bisa diandalkan. “Ma, berikan saja perusahaan Papa pada Rafael, dia pasti bisa memimpinnya sendiri, Mama tahu bukan aku sudah punya pekerjaanku sendiri, aku juga sudah punya rumah pribadi, aku senang dengan apa yang kulakukan, jadi jangan memaksaku terus.” “Nak, kau harus membantu adikmu, ya...kalau kau tidak suka setidaknya lakukan ini untuk mama.” Lucas memalingkan matanya menghindari wajah mengiba ibunya “mama tahu aku tidak bisa menolak permintaan mama bukan” katanya lirih. Nara tersenyum “kau memang anak yang baik, mama akan berikan dua roti bakar lagi untukmu.” Lucas menghela napas, mendengus kesal karena ia tak pernah mampu menolak ibunya. Lagi pula ia memang tidak berhak menolak permintaan Nara. Dia seorang ibu yang terlampau baik. Selalu menghujaninya dengan kasih sayang seorang ibu yang sebenarnya sehingga Lucas tak pernah merasa kehilangan sosok seorang ibu walau ibu kandungnya telah tiada sejak ia lahir. *** Lucas memakai kemeja yang masih terasa hangat setelah disetrika. Entah kapan terakhir kali ia berpenampilan rapi ala orang kantoran seperti itu. Ia sengaja hanya memakai kemeja karena gedung pabrik pasti terasa amat panas. Dengan rasa malas Lucas melangkahkan kaki memasuki area pabrik. Seorang anggota personalia menemaninya untuk berkeliling. Pabrik itu memproduksi pakaian olahraga dari salah satu brand ternama di dunia. Para pekerja tampak sibuk di bagiannya masing-masing. Pun di bagian produksi, para penjahit menginjak pedal mesin jahit dengan gerakan lihai seperti sudah terbiasa melakukan pekerjaannya. Semuanya sibuk mengejar target produksi yang tinggi. Saat itu Lucas mengedarkan pandangannya ke seluruh penjahit yang ada. Beberapa dari mereka terpukau melihat anak pemilik perusahaan yang tak kalah tampan dengan ayahnya. Mereka melemparkan tatapan memuja, kecuali satu orang. Lucas memicingkan matanya menatap seorang gadis yang sedang mengoperasikan mesin bartek di dekat meja QC. Sepertinya ia tahu wajah itu, tapi di mana ia melihatnya. Lucas pun melangkah mendekat. “Pak, Anda mau ke mana?” cegah personalia yang menemani Lucas. Lucas mengisyaratkan agar ia tidak diikuti “biarkan aku sendiri, aku ingin melihat lebih dekat ke proses produksi” katanya. Personalia itu pun tetap diam di tempatnya membiarkan Lucas berjalan sendiri di dalam gedung pabrik yang super panas.  Ah, dia kan anak bos, mungkin dia tertarik dengan salah satu karyawan, dari tampangnya saja terlihat jelas dia itu pria nakal, tak seperti ayahnya yang berwibawa, batin personalia itu. Lucas berhenti tepat di depan gadis itu pura-pura memperhatikan pekerjaannya. Gadis itu diam saja dengan gestur gugupnya. Sesekali ia melirik ke arah pria dengan kemeja rapi dan sepatu mengilat yang berdiri di sebelah mesin jahitnya. Astaga, bukankah pria itu... Lucas memandangi wajah gadis itu dengan teliti. Ia memang tak salah. Meski semalam gadis itu memakai topeng tapi ia tidak bisa menyembunyikan wajah aslinya. Lucas mendekatkan kepalanya “kau Aleah kan?” bisik Lucas. Wajah Aleah memucat dan keringat dingin bercucuran di dahinya. Astaga, apa pria itu adalah bosnya? Tapi bukankah bosnya sudah tua? Yang terpenting apa yang pria itu lakukan padanya mengingat semalam pria itu ingin membelinya. Lucas mengambil tanda pengenal yang disematkan di saku seragam Aleah. Ia tersenyum tipis memandangi kartu tanda pengenal itu “benar bukan, kau Aleah yang semalam?” bisiknya lagi kemudian berdiri tegap “pergi ke ruanganku sekarang juga!” serunya nyaris berteriak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD