Sebenarnya semua menyenangkan, menemani Ami makan, bermain, sampai menidurkan gadis itu selepas isya. Namun, aku tidak bisa melepasnya sama sekali. Tiap kali aku minta izin pulang, Ami merengek dan memintaku tetap tinggal. Hingga sekarang, hour pukul sembilan malam dan dia masih belum tidur juga. Empat buku cerita sudah kubacakan, tapi mata kecil itu masih memancarkan energi yang setara dengan lampu LED 50 WATT. Terang dan bersinar.
"... anak kelinci dan ibu kelinci, akhirnya hidup bersama kembali, dengan bahagia. Tamat," ujarku sembari menutup buku.
"Huwaaa, Ami suka. Lagi, lagi," katanya dengan antusias.
Aku melirik jam dinding, juga perempuan bernama Winda yang ternyata adalah baby sitter Ami. Namun orang itu sama sekali tidak menggubris ku dan asyik sendiri bermain ponsel.
"Ami, ini sudah malam. Hampir jam sembilan. Harusnya Ami bobok satu jam lalu, nggak boleh kemalaman. Biar, besok bisa bangun pagi dan bersngkat sekolah," kataku menasihati.
"Nggak mau, Ami gak mau bobok sendiwi. Mau sama Bu Pia," katanya polos.
"Loh, biasanya Ami bobok sama sapa? Mama?" tanyaku.
Dia menggeleng sedih. "Sama Papa. Mama keja, jauh ga bisa puwang," jawabnya.
"Oh, kalau begitu, Bu Pia temani Ami bobok, ya. Tapi janji, harus menutup mata. Besok, kita ketemu lagi di sekolah," ujarku.
Gadis kecil itu mengangguk. Kemudian melesakkan dirinya di antara selimut dan kasur empuk. "Bu Pia sini, masuk selimut sama Ami. Kayak Papa," pintanya.
Hah? Aku agak ragu meluluskan permintaannya. Namun, kulihat tidak ada respon apa pun dari Winda, yang jelas - jelas mendengar rengekan Ami. Dia tidak mencegah, berarti its fine to do that.
Aku pun segera naik ke kasur.empuk itu dan berbaring miring di sebelah Ami. Mendadak aku teringat pada ibu, yang kerap kali memelukku seperti ini ketika masih kecil. Beliau selalu bershalawat sambari menepuk-nepuk punggungku, saat mengantarku tidur. Rasanya jadi kangen Ibu.
"Ami bobok dulu ya. Ayo baca doa sama - sama," ajaku. "Masih ingat doanya?"
Dia mengangguk.
" Bismillahirrahmanirrahim. Bismika allahumma ahya wa bismika amuut. Aamiin." Kami membaca doa beeaama dengan Ami yang masih kurang sempurna pelafalan huruf 'r'nya. Namun aku senang, gadis kecil ini begitu cerdas dan mudah sekali menghafal apa yang diajarkan di sekolah.
Memang benar, ingatan anak kecil itu seperti spons, yang menyerap segala hal disekitarnya tanpa filter. Baik peengaruh baik maupun buruk. Karena itulah, memang harus berhati - hati jika bertindak di depan mereka. Salah - salah, mwreeka bisa menyerap dan meniru setiap tingkah laku yang orang besar contohkan.
Kulihat gadis kecil yang meringkuk di pelukanku ini telah terlelap. Sepertinya dia memang hanya butuh ditemani, tidak lebih. Entah kenapa Ami tidak bisa sedekat ini dengan Nanny-nya. Bukankah mereka telah mengenal lama? Lantas kenapa mereka masih seperti punya jarak seperti itu? Padahal Ami sebenarnya mudah sekali didekati, buktinya aku yang bagus ebulan menagenalnya saja bisa langsung akrab.
Ah, entahlah. Aku tidak tahu juga.
Kukecup dahi mungil itu, sebelum beringsut turun dari ranjang. Dia bergerak, kemudian cepat-cepat kugantikan posisiku dengan guling. Dia pun merangkulnya erat dan tidur kembali.
"Alhamdulillah," bisikku. Kemudian aku berjalan mengambil tas ransel yang kutaruh di sudut ruangan dekat sofa. Sembari duduk menjajari Winda, aku berkata, "Mbak, akinya sudah tidur. Saya pamit pulang, Ya."
"Oke. Langsung aja keluar lewat situ. Tahu kan jalannya?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
Aku mengangguk, dan langsung beranjak pergi dari sana. Sepertinya memang Winda enggan ngobrol denganku. Sudahlah, aku sudah lelah. Sebaiknya segera pulang dan istirahat.
Keluar dari pintu kamar Ami, aku menyusuri kembali balkon lantai dua dan menuju pintu samping tempat aku datang tadi. Rumah sebesar ini, benar - benar terasa kosong dan sunyi di malam hari. Setelah keluar dari pintu, aku menuruti tangga yang mengarah ke garasi.
Terlihat Pakde tengah merokok di halaman samping sambil ngobrol dengan satpam.
"Pak, bisa antar saya pulang sekarang?" tanyaku begitu jarak kami sudah dekat.
"Oh, bisa - bisa, Mbak, katanya padaku. Kemudian dia beralih pada satpam itu. "Jar, aku pergi dulu, nganterin ibu gurunya Ami," pamitnya.
"Iya, Pakde. Bu," sapanya sopan padaku.
Aku pun membalasnya dengan mengangguk sopan sebelum mengikuti Pakde ke mobil yang tadi.
*
Kami masih setengah perjalanan begitu aku menerima notifikasi panggilan tak terjawab dari Pak Hariz dua kali. Buru - buru kubuka dan kutelepon balik. Namun malah direject.
Memang ponsel kusilent sejak masuk rumah Ami. Soalnya aku takut nanti menggangu saat kami di sana.
Tidak berapa lama, terdengar suara panggilan dari Pak Hariz.
"Halo, assalamualaikum," sapaku sopan.
"Wa- waalaikum salam," jawabnya dari seberang. Kedengarannya sangat kaku. Sebenarnya aku tidak yakin apakah salamku tepat, tapi aku sudah telanjur terbiasa menggunakannya. Apalagi melihat Ami yang menurut biodata di rapornya beragama Islam, maka bisa kupastikan Papanya juga muslim.
"Em, kata Winda, Bu Fira baru pulang," katanya lagi, setelah terjeda beberapa saat tadi.
"Iya, Pak. Ami minta ditemani sampai tidur. Jadi saya baru pulang. Maaf kalau tidak berkenan," kataku hati - hati. Aku tidak ingin berbuat kesalahan, yang nanti akan berimbas pada karirku di sekolah. Apalagi masih masa percobaan.
"Bu Fira jangan khawatir, nanti ada kompensasi fee yang saya berikan. Tolong chat kan nomor rekening Anda. Selama Bu Fira melakukan tugas dengan baik, akan ada bonus tambahan," ujarnya seperti atasan pada bawahan.
"Ah, tidak perlu, Pak. Saya ikhlas membantu, yang penting Ami sudah baik - baik saja, saya sudah lega," kataku menolak dengan halus.
Ada jeda di antara kami, yang membuatku merasa sedikit khawatir. Jangan - jangan, Pak Hariz tersinggung.
"Pak? Maaf," panggilku.
"Baiklah," ujarnya singkat. "Selamat malam, Bu Fira."
"Selamat malam, Pak. Assalamualaikum," jawabku.
Dia tidak menjawab dan langsung menutup teleponnya.
Tanpa pikir panjang, langsung kukembalikan lagi telepon ke dalam tas. Lalu menghela napas dan menyandarkan kepala di kursi.
"Capek, Mbak? Non Ami rewel ya?" tanya Pakde.
"Namanya anak kecil, Pak. Ya begitulah, masih manja - manjanya," ucapku diplomatis.
"Bos Hariz memang jarang luar kota sampai menginap. Salah satu alasannya ya tidak mau ninggalin Non Ami. Untung saja beliau itu orang ya hebat, kaki tangannya banyak, jadi selalu bisa menemani non Ami kalau malam. Saya kan selalu.mengikuti beliau ke mana aja, jadi nggak pernah tuh, sampai rumah lebih dari jam delapan malam," jelasnya.
"Wah, hebat ya. Makanya, kok Ami nggak bisa tidur kalo nggak ditemenin. Tapi kan ada nenek dan Nanny-nya, harusnya mereka kan bisa menggantikan Pak Hariz," ujarku sedikit berani.
"Ah, Mbak Fira ini kayak gak tahu saja. Orang kaku macam mereka, mana mau Non Ami," kata Pakde.
"Mamanya kerja apa sih, Pak, kok gak pulang - pulang?" tanyaku lanjut penasaran.
"Nyonya Nirina itu kerjanya di luar negeri. Paling ke sini setahun sekali kalau Non Ami ulang tahun saja, itu pun cuma bentar, langsung balik lagi," lanjut Pakde.
"Oh, gitu." Hmm, ya, ya, sepertinya dia wanita karier.
Tidak terasa, mobil pun telah sampai di dekat jalan tembusan menuju kosan. Pakde meminggirkan mobilnya.
"Pakde gak usah turun, saya bisa turun sendiri, langsung saja balik," kataku.
"Waduh, jangan Mbak. Ini sudah malam, saya antar sampai kosan. Nanti ada apa - apa di jalan, saya yang disalahin sama Bos. Gini - gini, saya dipantau loh, beliau telepon buat ngecek. Mantis Aya kudu setor foto kalo Mbak Fira sudah sampai kosan," katanya.
Aku sedikit geli mendengar penjelasan Pakde. "Kayak kurir paket ya pak?" Selorohku.
"Ya, begitulah. Apalagi ini paketnya mahal banget, tidak ternilai. Bisa - bisa berabe saya, kalau tidak sampai tujuan dengan selamat," timpalnya yang membuatku semakin tergelak.
Ah, obrolan konyol macam ini, sungguh kangen. Biasanya aku suka bercanda seperti ini dengan almarhum Ayah. Alfatihah.
Akhirnya kululuskan permintaan Pak Sadewo yang mengantarku sampai kosan. Kemudian saat dia meminta fotoku di depan pintu, aku pun berpose peace. Pria tua itu pun tertawa.
"Saya balik dulu, Mbak," katanya.
"Makasih banyak, pakde. Hati -hati di jalan," kataku.
Pria itu pun melangkah pergi.
Setelah berbelok di tikungan, barulah aku memutar handle pintu. Namun, terkunci.
"Astaghfirullah, udah jam berapa ini?" tanyaku pada diri sendiri.
Kulihat ponsel yang menunjuk.pukul sepuluh kurang lima. Bukankah pintu depan dikunci pukul sepuluh? Kuingip lewat jendela, terlihat ada seseorang yang masih menonton tv di lantai bawah.
Langsung saja kupencel bel, agar dibukakan pintu.
Tak lama berselang, pintu terbuka. Muncul seorang gadis yang mengenakan baby doll, aku tidak kenal dia, mungkin penghuni kos lantai bawah.
"Makasih, Mbak. Udah dibukain," kataku.
"Hmm," jawabnya sambil berlalu dan kembali nonton tv. Setelah kulihat jam sudah menunjuk.pukul sepuluh tepat. Pintunya aku kunci kembali.
Aku segera naik ke lantai dua, dan akhirnya bisa kembali.memeluk kasur.
"Ah, iya, belum shalat isya." Otakku yang sudah tersetting otomatis, segera keluar lagi untuk mengambil wudu. Maklum, tidak ada kamar mandi dalam, jadi harus wudu di luar. Dari balkon, kucari mbak - mbak yang nonton TV di bawah tadi, kok udah gak ada? TV nya juga mati.
Ah, paling masuk kamar.
Aku pun bergegas ke.kamar.mandi dan membersihkan diri.
***