Hariz - The Meeting

1516 Words
"... sekarang, guru Ami itu sudah pulang, Tuan," lapor Winda via telepon. "Oke, thanks." Setelah itu langsung kututup telepon. Aku tidak perlu sebenarnya menunggu laporan Winda untuk mengetahui aktivitas Bu Fira dan Ami di rumah. Zaman serba canggih begini, tiap orang bisa dengan mudah mengakses cctv rumah dari mana saja. Jadi, sedari tadi, sambil berbaring kuamati kegiatan Ami dan Bu Fira secara online lewat MacBook. Ami terlihat senang sekali. Dia makan dengan lahap dan berkali - kali bergelayut manja pada gurunya itu. Hmm, mungkin seperti ini yang dilakukan Ami di sekolah bersama bu Safira. Helaan napas berat berembus kasar saat kututup MacBook dan meletakkannya di samping ranjang. Aku beranjak menuju minibar. Tanganku meraih gelas yang tengkurap dan meletakkannya di bawah pancuran dispenser electrik. Setelah menekan tombol hitam yang menunjukkan status cool water , kemudian mengalirlah air mineral dingin memenuhi gelas itu. Sembari berjalan menuju jendela besar di kamar, aku menenggak setengahnya. Aliran air menyejukkan tenggorokanku yang terasa kering. Pemandangan kota Kuala lumpur di malam hari, memang cukup menakjubkan. Lampu gemerlap di jalanan dan bangunan, membuat kota ini tidak pernah mati. Beberapa kolega menawarkan entertain setelah meeting tadi, tapi aku memilih balik ke kamar. Dunia malam tidak pernah cocok untukku. Terlalu bising dan penuh kemunafikan. Mereka bilang untuk keakraban, ketika alkohol mengambil alih dan kesenangan dimulai. Tapi, itu hanya sesaat. Esoknya sudah kembali formal dan menjunjung profesionalisme. Bullshit! Entertain itu mengandung lobi-lobi di balik layar, yang menukar kesepakatan kerjasama bisnis dengan kesenangan. Memuluskan jalan untuk meraup lebih banyak keuntungan sepihak, dan mengabaikan persaingan sehat. Ah, kenapa juga Martin harus sakit, sehingga mau tidak mau aku yang harus terjun sendiri ke pertemuan ini. Sebenarnya aku bisa menugaskan orang lain, tapi sebagai representasi perusahaan, mereka belum cukup qualified. Setelah besok, aku akan segera pulang. Tidak perlu menunggu acara gathering di hari ke tiga. Aku tidak butuh berakrab ria dengan siapa pun, terutama perusahaan pesaing. Buat apa? Kompetitor itu ada, fungsinya sebagai lawan tanding agar terpacu, bukan untuk diakrabi dan dijadikan teman. Kuhabiskan air mineral di gelas sebelum kembali ke ranjang. Televisi besar di depan masih menayangkan chanel CNN. Kumatikan saja, tidak ada yang menatik beritanya. Tidak lama kemudian ponsel pribadiku kembali berbunyi. Kali ini bukan panggilan telepon, melainkan pesan w******p dari Pakde. [Bu guru sudah sampai kosannya dengan selamat bos] [Foto] [laporan selesai] Aku tersenyum membaca pesan dari Pakde. Sungguh berdedikasi supirku itu. Selalu bisa kuandalkan untuk menjadi mata-mata. Setelah itu, segera kubalas pesannya. [Laporan diterima] [Good job!] Setelah mengirimkan itu, iseng kuperbesar foto Bu Safira kiriman Pakde. Hmmm, lucu juga guru Ami ini. Kalau berpakaian kasual, terlihat masih seperti anak mahasiswa. Tas ransel, jeans belel, kemeja gombrong dan jilbab pink. Ah, kenapa harus pink? Aku tidak terlalu suka warna itu. Mengingatkanku pada Nirina yang semua barangnya serba pink. Untunglah Ami tidak terlalu pemilih warna. Bisa pusing aku melihat kamarnya penuh warna pink. Tidak terasa aku tersenyum lagi, mengingat kegiatan Bu Safira dan Ami di rumah tadi. Mereka terlihat akrab, seperti seorang ibu dan anak sungguhan. Ah, seandainya saja Nirina bisa seperti itu, betapa bahagianya aku. Keluarga impian dalam versiku adalah, seorang istri yang diam di rumah, mengurus suami dan anak dengan sebaik-baiknya. Saat aku pulang kerja, ada istri cantik yang menyambutku. Masakan rumah tertata di meja, dan tiga anak eh, tiga tau empat anak sudah rapi dan wangi bermain di ruang tengah. Dengusan kembali keluar dari mulutku. Itu tidak akan terjadi sepertinya. Rumah tangga impian yang hendak kubangun bersama perempuan pilihan ayah itu, kandas bahkan sebelum dimulai. Semua kebutuhan kucukupi dengan bekerja mati-matian, tapi Nirina malah kabur ke luar negeri. Ah, sudahlah. Sekarang yang terpenting adalah merencanakan masa depan bersama putri kecilku itu. Tidak mengapa dia tidak didampingi mamanya, papanya akan memberikan apa pun yang dia butuhkan. Aku segera berbaring kembali, dan meletakkan MacBook di pangkuan. Segera kuselesaikan progress project yang tertunda, sama seperti malam-malam sebelumnya, setelah menemani Ami hingga dia tertidur. Ya, aku selalu lembur, tapi di rumah. Itulah satu - satunya cara menenggelamkan diri yang terbaik bagiku. Selain memeriksa neraca laba rugi dan meneliti laporan, dari HF Corp, aku juga mengerjakan project pribadi. Bikin konsep starting bussiness, lalu bikin program aplikasi, dan menjalankannya. Memang konsep awalnya mengimitasi sistem di HF Corp yang sudah matang. Namun, semuanya kukembangkan lagi, karena flow sistemnya ayahku yang buat. Sekarang, semuanya kumodifikasi dengan otomatic system', sehingga perusahaan baruku nanti akan memakai lebih sedikit 'operator manual' dan mengandalkan sistem. Semua ini kulakukan, karena aku tidak ingin selamanya bergantung pada HF Corp. Mungkin benar ayahku dan Tuan Handoko sama-sama owner. Tapi siapa yang tahu beberapa tahun ke depan? Apalagi, pernikahanku dan Nirina tidak berjalan baik. Aku tidak ingin nasib karirku selalu ditentukan oleh jajaran direksi. Mengingat saham gabungan milik ayah dan Tuan Handoko, dipertaruhkan dalam pernikahan ini. Jika suatu saat aku sudah bosan hidup seperti ini dan berniat melepas pernikahan bisnis ini, maka tidak ada bagian untukku, semua akan jatuh ke Ami. Oleh karena itu, sejak Nirina pergi, aku mulai merintis satu perusahaan baru, yang akan menjadi kompetitor HF Corp suatu saat nanti. Jadi, untuk itulah aku lembur setiap malam, di luar jam kerja. Ah, sudahlah itu tidak penting. Yang penting Ami sudah tenang selama kutinggal. Besok, kuusahakan sudah di rumah. * "Kamu sudah masuk?" tanyaku pada Martin. Aku segera menjawab teleponnya pada panggilan pertama begitu terlihat id-nya muncul di ponsel bisnis. "Iya, aku tidak terlalu sakit kok," katanya. "Thypus itu bukan sakit main-main. Pulanglah sekarang, istirahat. Biar nanti Rahma yang urus reschedulku," perintahku tegas. "Tapi, Riz. Banyak meeting yang sudah ketunda," elaknya. "Serah. Lu mau pulang atau gw pecat?" Aku berbisik dengan bahasa informal jika sedang kesal. "Eh, jangan gitu dong Riz," Martin mulai keder. Dia paling tahu saat harus bercanda atau serius denganku. "Hmmm." "Iya, iya, gue pulang sekarang. Dasar Bos kejam. Orang pengen kerja kok disuruh pulang," katanya ironis. Aku tersenyum. "Lu check up. Kalo udah negatif baru boleh masuk kantor. Selama lu belum kasih tuh surat dokter yang menyatakan lu sembuh, lu harus istirahat. Kalo maksa masuk, gue pecat lu saat itu juga," tegasku dengan logat yang hanya kugunakan saat hanya ada kami berdua. "Iye, iye. Galak amat. Pantesan cewek ga ada yang mau," cibirnya. "Haha, udah. Aku tutup teleponnya," kataku lagi. Setelah menerima telepon dari Martin, aku kembali ke ruang meeting. Jika kemarin penawaran program aplikasi oleh para Vendor, kali ini adalah giliran para wakil perusahaan untuk presentasi. Kami yang menawarkan investasi bisnis pada para investor. Sebenarnya, aku memang sengaja ikut event ini, bukan hanya untuk HF Corp. Tapi juga untuk menyasar partner baru yang siap menginvestasikan dananya di perusahaan yang aku rintis. Agak curang memang, mencuri calon klien potensial. Namun, jika tidak begini, mana bisa perusahan rintisanku mendapat investor besar? Giliranku sebentar lagi. Setelah satu presentasi ini. Semua sudah aku siapkan, mulai company profil dan sebagainya. Sekarang, aku hanya perlu menunggu dan membuat para tuan berduit itu, tertarik dan mempercayakan modal itu padaku. "Pak Hariz, sudah siap?" tanya Seseorang yang tiba - tiba muncul di belakangku. Seorang wanita dengan pakaian formal, yang menjadi moderator kali ini. "Siap," jawabku singkat. "Silakan ikut saya," katanya. Aku segera beranjak dari kursi, dan mengikuti wanita itu. Tidak lupa kubawa MacBook yang setia menemani ke mana - mana. Dia tidak menyuruhku menunggu di sebalah podium, tapi malah membawaku ke ruangan lain. "Ada beberapa investor khusus yang ingin melihat presentasi Anda secara langsung. Mereka tertarik pada company profil starting bussines yang baru. Bukan HF Corp. Karena itu, Anda tidak perlu maju ke podium. Anda tidak keberatan bukan?" tanyanya. "Oh, tentu saja tidak," jawabku cepat. "Silakan masuk," katanya begitu membukakan pintu. "Terima kasih." Namun begitu aku masuk, langsung saja aku berhenti berjalan. Ternyata, orang - orang itu adalah... "Heriz Sojan, Glad to see you," sapa Mr. Donovan. Dia adalah owner perusahaan kompetitor HF Corp. Lebih tepatnya bule ini adalah Presdir perusahaan multi nasional, yang salah satu anak perusahaannya menjadi kompetitor HF Corp. Dia berdiri dan menyalamiku. Dua bule lainnya, juga ikut melakukan hal yang sama. "Hariz," kataku. "Arthur McKenzie," ujar bule di sebelah Donovan. "Hariz Sofyan," kataku lagi "George Smith," sapa yang satunya. Jujur saja, aku tidak ingin mengkhianati HF Corp, seperti ini. Meski ingin punya perusahaan sendiri, tapi menggandeng owner perusahaan kompetitor akan membuat citra diriku tercoreng. Aku hanya ingin investor lepas yang belum pernah terlibat dalam politik persaingan bisnis. "Please, sit," kata Mr. Donovan. "Thank you." "Kami bertiga tertarik pada konsep starting bussiness yang Anda buat," kata Mr. Donovan dengan bahasa Indonesia yang masih berlogat bule. "Bolehkah kami membelinya? Maksud saya, dua teman saya ini ingin menjalankan bisnis di Indonesia, mereka siap menginvestasikan banyak uang. Tapi tidak punya skill bisnis." Hmmm aku tahu arah pembicaraannya. Mereka ingin membeli perusahaan yang baru kurintis itu. Oh, tidak bisa fulgoso, aku ingin menjadi owner, bukan sekadar CEO. "I'm so sorry, Gentelman. This company is not for sale, but selling the shares only," ujarku memotong pembicaraan Mr. Donovan. "Kamu bisa menyebutkan angkanya, Mr. Heris, berapa pun," kata Mr. Donovan, yang selalu salah memanggil namaku. "I'm sorry, Sir. I'm not interesting to your offer. I think, this meeting is enough. I want to represent my new company to another investor. Excuse me Gentelman," ucapku sembari berdiri. Tanpa menunggu persetujuan ke tiganya, aku pun meninggalkan ruangan itu. * bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD