BUNGA ASMARA HANS BERSEMI

1234 Words
Sesampai nya di Rumah Sakit Metropolitan Hospital, Hans segera turun dari mobilnya. Daung menunggu di café bawah lantai 1. Ketika Hans sudah berada di lantai 5 dan mencari nomor kamar, tiba-tiba ada seorang wanita asal Jepang menyapanya dengan ramah. ”Hans san ... ogenki ka? Hisashiburi desu ne! (Hans apa kabar? Udah lama gak ketemu ya!). Hans pun kaget bisa bertemu dengan Yukiko san, temannya yang ternyata sekarang sudah menjadi dokter di Klinik Jepang Rumah sakit Metropolitan Hospital[110] . Setelah Hans bercerita panjang lebar soal Mamanya Zara, Hans pun langsung berpamitan. Hans sebenanya selalu ingin menghindar dari Yukiko karena gadis itu pernah menyatakan perasaannya namun ditolak secara halus. Bagi wanita Jepang langsung menyatakan cinta pada lawan jenis itu sudah biasa. Beralasan karena waktu itu belum memikirkan seorang wanita, Hans ingin menjaga hatinya hanya untuk Zara. Setelah Yukiko pamit dan melangkahkan kakinya menuju lift. Hans segera masuk ke kamar 507, perlahan pintu kamar diketuk dengan hati-hati. Hans tidak ingin suara ketukan pintu mengganggu pasien di dalam. Akhirnya suara pintu terbuka, dan terlihat Zara dengan wajah pucat juga mata yang lelah. Tib- tiba wajah dan mata Zara berubah saat melihat Hans yang berdiri di depan pintu. Wajah Zara berubah menjadi merah dan matanya terbelalak. Berkali-kali dikuce nya mata Zara berulang-ulang dan terus menatap Hans. “Assallamualaikum …,” ujar Hans pelan. “Waallaikumsalam,” jawab Zara. “Ya ampun Hans … kamu kok tahu aku di sini? Terus mau ngapain ke sini?” ujar Zara sedikit tak ramah. Zara terus memaki dirinya yang berani bersikap dingin pada Hans padahal lelaki itu telah begitu baik dan perhatian. “Ssssst … suaranya Non tolong dikecilin! Nanti ganggu Mama lho!” ujar Hans pelan sambil berikan isyarat telunjuk. “Aku tahu infonya dari Ovi,” ujar Hans lembut. Ingin rasanya Hans memeluk Zara dan menenangkan hatinya. Penampilan yang begitu kusut dengan mata panda dan terlihat sedih membuat hati Hans hancur. “Aku pengen jenguk Mamamu, Ra ….” “Oke yuk masuk,” Zara mulai membuka pintu lebar-lebar. Hans segera menghampiri Ibu Fatimah yang terbaring lemah di tempat tidur. Zara memberi isyarat menyuruh Hans duduk di sofa dan dia pun duduk di samping Hans. “Kondisi Mama udah stabil … 1 jam yang lalu Mama udah sadar. Tinggal pemulihan dan sekarang Mama lagi tidur,” ujar Zara pelan dan mata lelah itu tertuju pada Mamanya. “Allhamdullilah … semoga Mama tambah pulih ya Ra.” Hans coba menenangkan Zara tapi malah hatinya yang tak tenang duduk di sana. Rasanya ingin menggenggam tangan Zara dan memeluknya. Hans merasa tak tega melihat semburat sendu di mata Zara dan wajah lelahnya. “Thank you Hans udah mau nengok Mamaku … kok repot-repot segala bawa buah-buahan begini,” ujar Zara sambil geleng-geleng kepala. “Gak apa-apa cuma buah doang kok Ra … gak repot kok,” ujar Hans sambil menatap lembut Zara. Tiba-tiba Bu Halimah terbangun dari tidurnya. ”Ra, ini di mana?” ujar Mama pelan. “Ini di Rumah Sakit Metropolitan Hospital, Ma” ujar Zara sambil menghampiri Ibunya. Hans langsung mengikuti Zara dari belakang. Dia membayangkan seandainya Bu Halimah itu ibu mertua dan Zara istrinya. “Ma … ini ada Hans mau nengok Mama.” Zara menatap lembut. “Lho ada Nak Hans toh! Bukanya Nak Hans kemarin juga terbang ke Jepang,” ujar Bu Halimah sambil tersenyum ramah. “Ya Bu  … saya baru sampai Jakarta satu jam yang lalu,” ujar Hans sambil meraih tangan Bu Halimah dan mencium tangannya. “Terimakasih ya, Nak Hans. Duh, repot-repot datang kemari,” ujar Bu Halimah sambil tersenyum. “Sama-sama, Bu. Sakit apa Bu? Sekarang apakah masih sakit?” ujar Hans penuh perhatian. “Ini mah sakit orvang tua. Cuma sakit jantung saja kok. sekarang udah mendingan tidak terlalu sakit,” ujar Bu Halimah pelan dengan napas yang naik turun dan dia mulai merasa kelelahan. “Ibu jangan banyak bicara dulu … cepat sembuh ya, Bu?” ujar Hans pelan. Dia menangkap sinyal untuk tak berlama lama di situ karena Bu Halimah masih terbaring lemah dan napasnya tak beraturan. “Saya pamit dulu ya, Bu?” ujar Hans sambil meraih tangan Bu Halimah dan mencium tangan nya. Bu Halimah menganggukan kepala dan tersenyum karena beliau tak kuat lagi berbicara panjang-panjang. Tak lama Ayah Zara, Pak Imam mengetuk pintu kamar. Saat pintu dibuka, Pak Imam langsung menyambut Hans dengan ramah. “Ya ampun ada orang Jepang kemari,” ujar Pak Imam bercanda sehingga menampakkan gigi ayah yang berderet rapi. Hans langsung meraih tangan Pak Imam dan mencium tangan Pak Imam. “Apa kabar, Pak …,” ujar Hans sambil tersenyum ramah. “Allhamdullilah sehat, Hans …,” ujar Pak Imam sambil menepuk pundak Hans lembut. “Dari mana, Pak?” tanya Hans sambil tersenyum. “Tadi saya ada perlu dulu keluar .…” “Maaf saya gak bisa lama lama di sini. Saya mau pamit pulang,” ujar Hans sambil menundukkan kepalanya. “Lha baru ketemu, kok buru-buru pulang?” “Saya ada meeting di kantor, insyaallah[111]  nanti saya ke sini lagi.” “Makasih lho udah mampir kemari.” “Sama-sama, Pak.“ Hans tersenyum sambil menganggukan kepalanya. ”Ra, aku pulang dulu, ya?” Hans menatap Zara sambil tersenyum. “Ya, thank you ya Hans? Take care!” ujar Zara balik tersenyum. Hans terpesona dengan senyuman Zara yang begitu cantik. Dia tak kuasa menatap sinar mata gadis yang begitu menawan itu. Zara mengantar Hans keluar sampai pintu dan tak menyangka lelaki itu begitu perhatian. Bunga-bunga cinta pun tumbuh di hati Zara begitu pun dengan Hans. Langkah Hans tergesa menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Berulang kali dia melirik jam tangannya. Masih ada waktu ketemu klien nih, bisik Hans dalam hati. Tiga hari kemudian Bu Halimah sudah bisa pulang ke rumah. Kondisi kesehatan nya sudah membaik dan Zara sangat bersyukur. Dia berjanji dalam hati untuk selalu memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintainya itu. Dimulai dengan membeli vitamin, buah, sayuran juga s**u demi kesehatan Mamanya. Zara selalu merasa bersalah karena Mamanya selalu mendesak untuk menikah, mengingat usianya sudah 27 tahun. Obsesi menjadi direktur perusahaan lah yang membuat Zara menunda untuk menikah. Dadanya terasa sesak jika mengingat kata-kata jurus yang selalu mengarah ke pembicaraan pernikahan. Zara belum berminat mengikat janji kehidupan dengan seorang lelaki, meski hatinya sudah memilih Hans untuk menjadi pendamping hidup. Zara yakin, Hans juga menyayanginya dan mampu menjadi suami yang baik juga mau menerima apa adanya. Namun, lagi-lagi Zara kembali meragukan pernikahan. Sampai akhirnya Zara bertekad untuk meraih dulu impiannya baru memikirkan hal itu. Ovie selalu meyakinkan bahwa pemikiran Zara itu tidak mendasar. Ovie menjelaskan pernikahan tidak akan menghalangi impian Zara karena kelak pasti suaminya akan selalu mendukung karier dan tidak akan menghalangi karier. Tentu hal ini menjadi perdebatan panjang antara Ovie dan Zara. Kalau sudah begini  tidak akan ada titik temu. Mereka sama-sama kuat mempertahankan pendapatnya tetapi lucunya Zara akhirnya selalu meminta maaf dan mencoba menuruti kata-kata sahabatnya itu. Tetap saja hati Zara bersikeras pada pendiriannya. Bahkan Mamanya pun sudah tak tahu harus bagaimana demi mencairkan hati jantung hatinya itu. Dari kecil Zara memang memiliki sikap keras yang selalu ingin menjadi pemenang. Mama selalu berdoa untuk Zara agar dia segera menemukan tambatan hati. Bu Halimah sering mengelus dadanya kala mengingat Zara yang masih sendiri dan sibuk dengan pekerjaan. Akhirnya kesedihan itu berujung sakit dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit. Diam-diam Bu Halimah sering menangis sendiri meratapi kesendirian Zara. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD