[1] SI KAKU YANG SAYANG IBU

1066 Words
Seorang pria dengan kemeja lengan panjang serta mengenakan dasi yang cukup rapi, rambut klimis dengan kacamata kotak berframe tipis, celana hitam berbahan katun diseterika rapi, serta sepatu pantofel mengkilap, membalut tubuhnya yang tegap menjulang. Setiap hari penampilannya yang rapi ia jadikan sebagai contoh; setiap karyawan yang ada di cabang Senayan, harus sepertinya. Sopan juga rapi. Karena baginya, penampilan rapi juga sopan memiliki nilai lebih saat melayani para customer yang datang baik membawa keluhan atau gepokan uang. Terutama untuk frontliner serta customer service ada tambahan yang wajib mereka kenakan; senyum pepsodent. Kalau hal itu tak ada, bersiaplah dicemarahi hampir seharian penuh oleh pria yang kini menatap bawahannya satu per satu. Briefing di hari senin adalah hal yang tak pernah pria itu tinggalkan. Putra Bujang Anom, nama pria itu sekaku triplek baru yang dibeli di toko bangunan. Semua prosedur yang diinginkan kantor pusat, masih ia terapkan hingga sekarang. Wajar kalau Bujang sering mendapatkan penghargaan sebagai seorang Branch Manager paling disiplin seantero Jabodetabek. Karirnya bisa dibilang mulus; jenjang karirnya memang agak lama terhenti di level supervisor. Namun begitu ada promosi besar-besaran, tak tanggung-tanggung, nama Bujang masuk dalam kandidat tertinggi untuk menjabat sebagai Branch Manager bank BBRI cabang Senayan. “Bu Marta,” panggilnya pada wakil kepala cabang yang dijabat oleh seorang wanita berpenampilan cukup cantik ini. panggilan barusan membuat si pemilik nama menoleh. “Ya, Pak?” “Point tambahan untuk briefing pagi ini dari saya, minta lebih diperhatikan untuk front liner. Layani nasabah dengan setulus hati sesuai dengan slogan kita.” “Baik, Pak.” Marta tersenyum tipis. Bibirnya yang dilapisi warna merah lembut menciptakan kecantikan yang semakin menarik. “Ada lagi?” Wanita itu juga memberanikan diri menatap pria yang berdiri gagah di sampingnya. Warna biru muda pada kemeja yang dikenakan pagi ini, semakin menambah kesan tampan dan gagah dalam diri Bujang. “Sudah.” Setelahnya Marta menutup briefing kali ini, Bujang langsung kembali ke ruangannya. Kadang Marta heran, padahal Bujang yang paling banyak bicara mengenai laporan yang dibacakan semua karyawannya tapi kenapa harus Marta yang memimpin briefing? Kenapa bukan dirinya? Kalau ada sesuatu yang Marta salah dalam hal penyampaian, Marta diprotes. Tapi pria itu tak mau bicara sama sekali. Menyebalkan, kan? Itu satu dari sekian banyak hal menyebalkan yang Bujang punya. Sudah bukan hal yang asing kalau dirinya menjadi sentra pembicaraan di antara para karyawan. Sayangnya tertolong dengan tampang Bujang yang memang tampan dan berkharima. Fossil di lengan kirinya sudah menunjuk pukul delapan pagi. Dari layar CCTV yang terhubung langsung ke ruangannya juga, terpantau sudah ada beberapa customer yang mengantri di sekitaran loket baik ke teller atau menuju customer service. Semuanya aman terkendali. Bujang sedikit lega jadinya. Ia bisa meneruskan pekerjaannya yang lain terutama masalah meningkatnya target soft loan yang harus dikeluarkan cabang Senayan untuk nasabah yang mengajukan pinjaman. “Target naik tapi approval susah sekali,” dumel Bujang pelan. Diambilnya salah satu pengajuan untuk ia periksa setelah melewati meja analist. Untuk pengajuan pinjaman juga, Bujang memiliki tanggung jawab lebih karena tak bisa sembarangan juga memberikan approval. Ia ditekan dari dua sisi; target dan outstanding tunggakan nasabah yang macet. Jangan sampai kedua hal itu membuat citra yang ia bangun menjadi hancur berantakan. Untuk itulah ia butuh konsentrasi menganalisa lebih pada data customer juga untuk memperhitungkan apakah layak diberikan pinjaman atau tidak. Beberapa ia pisahkan untuk ditanya mengenai tambahan data, beberapa berkas ada yang ia loloskan hanya melihat nama. Biasanya nama nasabah yang mendapat green line dari BBRI, yang sudah diakui catatan pembayarannya dalam keadaan bagus dan lancar. Ponselnya berdering nyaring yang membuat konsentrasinya sedikit terbelah. Nama ibunya muncul di layar yang juga membuatnya mendesah. Ia yakin betul apa yang akan beliau bicarakan. Tapi kalau tak segera diangkat, nanti Bujang takut terkena kutuk macam Maling Kundang. “Wa’alaikum salam, Bu,” sapanya ramah. Sedikit melonggarkan dasi agar rasa tercekik yang mendadak ia rasakan, sedikit melonggar. Ia juga menyandarkan punggungnya di kursi besarnya. “Ibu belum ucap salam, lho, Bang.” Bujang nyengir. “Kalau enggak jawab salam, nanti Ibu ngedumel.” “Kamu itu,” decak ibunya, Syarifah, dengan suara yang tak ingin dibantah. “Mana calon menantu Ibu?” “Kapan Ibu tanya kabarku dulu sebelum tanya calon mantu?” “Selama kamu jawab telepon Ibu enggak pakai merintih macam orang kena pukul, Ibu tau kamu dalam keadaan sehat wal’afiat.” Kali ini Bujang yang berdecak. “Calon Ibu masih belum lahir.” “Bisa enggak jawab pertanyaan Ibu enggak pakai asal?” “Bisa enggak Ibu kalau bertanya jangan bikin Bujang terintimidasi?” Di sana, Syarifah sukses tergelak. “Kamu anggap ibumu ini bosmu, ya?” Meski begitu, Bujang tetap tersenyum tipis. Entah sudah berapa kali ibunya bertanya mengenai calon menantu yang tak kunjung bisa Bujang perkenalkan padanya. Mungkin kalau bisa Bujang hitung, sudah menyentuh angka ribuan. Tapi Bujang tetap tak jua membawa dengan ketergesaan. Lebih baik menjawab asal setiap kali ibunya bertanya. Dari pada hatinya kembali merana karena cinta yang dibuat patah. “Jangan terlalu lama sendiri, Bujang. Ibumu ini capek tiap hari disindir terus oleh tetangga.” “Tetangga itu seperti CCTV online, Bu. Untuk menghindari CCTV, Ibu lebih baik di rumah saja. Lagi juga pemerintah menyarankan hal itu, kan?” seloroh Bujang sembari menahan tawa. “Kamu pikir Ibu ini terkena corona? Mendoakan Ibu biar dibawa sama petugas Covid?” salak Syarifah dengan nada kesal. “Ibu kalau berucap pakai bismillah.” Bujang sedikit tak suka sebenarnya tapi karena ibunya yang sering sekali mengeluh mengenai hal ini. Makanya Bujang meladeni. “Tetangga kalau belum matanya juling memperhatikan orang lain, enggak akan puas, Bu. Lagi pula yang mau menikah itu Bujang. Bukan tetangga. Kalau istri Bujang enggak baik, tetap saja menjadi omongan. Apa pun itu. Memang Ibu mau punya menantu enggak baik?” Syarifah mendesah pelan. “Susah banget mengabulkan permintaan Ibu.” “Sudah pernah Bujang kabulkan tapi Tuhan dan semesta enggak merestui.” “Bicara sama kamu memang enggak ada menangnya,” dumel Syarifah di ujung sana. “Sudah lah. Kapan mau pulang? Sudah sebulan kamu enggak pulang.” “Asal enggak ditanya tentang calon mantu.” Teliga Bujang belum tuli untuk mendengar suara ibunya yang berdecak kesal. Mendumel karena keinginannya yang paling besar belum bisa dipenuhi sang putra. Mau bagaimana lagi, Bujang trauma. Rasa sakitnya masih terasa hingga sekarang. Sampai sambungan telepon itu terputus, Bujang jadi ingat peristiwa di masa lampau. Yang mengubah hidupnya menjadi jauh lebih tertutup ketimbang sebelumnya. Juga hatinya yang membatu macam Malin Kundang yang terkena kutukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD