[2] SI CERIWIS YANG MENYIMPAN RAHASIA

2203 Words
Setiap pagi itu bagi Rindu adalah keceriaan. Membuka mata dengan binar bahagia itu sebuah kewajiban. Makanya abgi Rindu, sama seperti pagi sebelumnya. Pagi ini pun harus ia sambut dengan bahagia. Senyumnya langsung dipasang lengkap dengan rona di wajahnya yang agak tembam. Rambut sepunggung miliknya yang berwarna agak pirang, ia kuncir tinggi. Tas ransel hitam dengan gantungan BTS di sisi kanannya, sudah tercantol di bahunya. Ia sudah siap untuk berangkat kerja. Namun sebelum ia benar-benar pergi, berpamitan pada ibunya adalah keharusan. Meski … “Mi,” panggilnya setengah berbisik. Ia sedikit berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan sang ibu yang tertidur pulas. “Rindu berangkat, ya. Sarapan sudah aku siapkan. Jangan minum kopi dulu, ya, Mi. Rokoknya dikurangi.” “Berisik,” dengkus sang ibu dengan suara pelan juga parau. Matanya masih tak mau terbuka. Ia hanya beringsut mengubah posisi rebahnya. “Hati-hati kamu di jalan, Rin.” Rindu tersenyum tipis. “Iya, Mi. rindu berangkat.” Tak ada sahutan lagi kecuali dengkur napas ibunya yang kembali teratur. Ia ingat membuka pintu kontrakannya sekitar pukul empat pagi untuk sang ibu. Tak ada yang bisa Rindu lakukan apalagi protes. Ia menyayangi ibunya lengkap dengan segala macam kurangnya. Sama seperti sang ibu yang pastinya menyayangi Rindu setulus hati tanpa terkecuali. Gadis itu menghela pelan, menepuk pipinya pelan, kembali mengafirmasi dirinya kalau hidup yang mereka jalani, baik-baik saja. Tak ada yang berubah di pusaran hidup mereka. Rindu meyakini itu. Tak butuh waktu lama untuknya tiba di tempat kerja. “Pagi semuanya,” sapa Rindu dengan riang. Wajahnya berbinar bahagia menatap satu per satu karyawan yang sudah lebih dulu datang. “Pasti kamu sudah sarapan makanya semangat?” tebak salah satu rekan kerjanya, Riana. “Belum. Ini kantong sarapan aku.” Rindu mengangkat kantong plastic berisi sarapan yang tadi ia beli di sekitar rumahnya. Pagi ini ia harus sarapan cukup banyak. Senin adalah waktu yang cukup sibuk dan ia butuh banyak energy menyambut banyaknya customer yang datang. Jangan sampai ia terserang maag hanya karena terlambat makan siang. Meski memang makan siangnya selama bekerja tak pernah tepat waktu. Lebih tepatnya … bergiliran. Bekerja sebagai teller di salah satu bank swasta cukup terkenal di Indonesia, membuat Rindu memang berkawan dengan konsekuensinya. Ia mengerjakan bagiannya dengan sebaik mungkin. Berusaha untuk tak mencari masalah dan berteman baik dengan semua orang yang ia kenal. Bersikap baik pada atasan dan memilih menjadi side yang penurut. Apa pun mengenai kebijakan kantor, Rindu tak ikut-ikut memprotes atau menjelek-jelekkan. “Cepat sarapan, Rin. Tiap senin kita briefing, lho.” Rindu tau jadwal kerjanya. “Beres.” Segera ia melangkah menuju loker namun belum juga ia tiba di ruangan khusus pegawai, ia menghentikan langkah. Ada seseorang yang memanggilnya. Dio Angkasa. “Ya, Dio?” Rindu menatap pria yang sudah rapi mengenakan seragam biru muda yang kini ada di depannya. “Baru sampai?” Rindu menjawab dengan anggukan kecil. “Gue buru-buru, belum sarapan juga. Lo sudah?” Gantian, Dio yang mengangguk. “Gue sarapan dulu, deh. Sudah jam tujuh kurang.” “Nanti makan siang keluar bareng gue, ya. Makan di Alamasta.” Kening Rindu berkerut jadinya. “Tumben. Lo traktir gue?” Dio terkekeh. “Iya. Gue traktir. Tapi jangan ajak Riana, ya. Kita berdua saja.” “Lo ngajak gue kencan?” Rindu tertawa lebar. “Astaga, Dio-Dio. Gue pikir sudah nyerah.” Dio mencibir kecil. “Sebelum janur kuning melengkung, masih boleh siapa aja mendekati lo, Rin.” Rindu mengibas pelan. “Oke lah. Apa kata Mas Dio aja.” “Duh, pagi-pagi sudah disapa sama Ayang.” Makin jadi tawa Rindu. “Sudah lah. Gue mau sarapan dulu. Gue juga belum rapi. Nanti keburu dimarahi Bu Sonia.” Dio mempersilakan Rindu untuk meninggalkan dirinya. Sampai punggung kecil gadis itu tak lagi terlihat olehnya, ia baru menuju pos tempatnya bekerja. Di matanya, Rindu adalah gadis yang sukar digapai. Peringainya hangat, selalu ceria, jarang ada sendu di wajahnya, tapi sulit sekali mendapatkan hatinya. Rindu gampang membagi senyum manisnya pada banyak orang tapi tidak untuk perhatiannya. Selama delapan bulan mengenal Rindu, Dio bertekad menjadikannya kekasih. Mungkin kalau Tuhan baik hati, mereka bisa berjodoh sampai pelaminan kelak. Doanya begitu. Tapi menaklukan Rindu itu sulitnya minta ampun. Pria berambut agak ikal ini menghela pelan. Tangannya mulai merapikan meja kerjanya sebelum nanti pukul delapan kantor cabang BBRI cabang Gajah Mada buka dan siap melayani para customernya. Briefing pagi ini hanya berlangsung sepuluh menit lamanya. Kebanyakan untuk membuat semangat kembali terisi karena mereka kebanyakan bekerja berhadapan langsung dengan para nasabah. Jangan sampai kinerja mereka dikomplain habis-habisan hanya karena tidak ramah serta kurang berkenan. Sebisa mungkin meski mereka datang dengan raut tak suka, komplain setinggi gunung, kemarahan yang siap melahap siapa pun, mereka yang bekerja sebagai front liner tetap harus memajang senyum. Melayani dan menanggapi segala keluhan nasabah yang datang dengan baik. “Oiya, Rindu, sebelum turun ke floor, saya mau bicara dulu,” kata Sonia sebelum benar-benar menutup briefing pagi ini. Hampir semua yang ada di ruang lantai dua kantor BBRI ini menoleh ke arah Rindu. Tatapan mereka kebanyakan bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Rindu. Sementara ia sendiri pun kebingungan. Kepalanya langsung mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan. Sepanjang menjadi teller di BBRI meski belum genap dua tahun, tapi tak ada kendala yang berarti. Semuanya lancar dan berjalan biasa saja. “Baik, Bu.” Tak ada yang bisa Rindu lakukan kecuali mengatakan ‘iya’, kan? Begitu briefing selesai, langkah Rindu tak bersama dengan rekan lainnya. Ia memilih untuk mengimitasi langkah pimpinan cabang tempatnya bekerja yang dikenal tegas juga disiplin. “Duduk, Rindu,” kata Sonia dengan seulas senyum tipis. Ia juga segera membuka laci kerjanya. Di mana ia tau, kalau Rindu sejak tadi mengawasinya. “Tenang saja, kamu enggak kenapa-napa, kok.” “Saya takut, Bu. Apa saya berbuat salah?” Sonia terkekeh pelan. “Enggak. Kinerja kamu justru bagus di bulan-bulan belakangan ini.” Rindu mendesah lega. “Tapi saya kenapa dipanggil, Bu?” tanyanya masih dengan nada penasaran. “Kamu dirolling ke cabang Senayan, Rin. Kamu tau, kan, cabang Senayan itu terbaik nomor satu di Jabodetabek?” Rindu masih belum merespon apa-apa. “Ada teller yang resign karena ikut dinas suaminya, Rin. Kamu yang diminta ke sana untuk menggantikan.” “Lho, kok?” Rindu ingin protes jadinya. “Di sana enggak mau kalau teller magang. Dan kamu menjadi kandidat tertinggi untuk menggantikan posisi di sana,” tutur Sonia dengan nada bijak. “Kenapa harus saya, Bu?” “Lho, ini kesempatan kamu untuk naik tingkat, Rin. Kamu enggak mau jadi head teller?” “Mau, sih, Bu.” Rindu berkata dengan pelan. “Tapi …” “Enggak ada tapi, Rin. Ini kesempatan kamu. Bu Marta dan Pak Bujang di sana pasti bimbing kamu. Jangan anggap saya membuang kamu, enggak sama sekali.” “Saya enggak berpikiran seperti itu, Bu,” sanggah Rindu dengan cepatnya. Bahu Sonia tampak terkulai lemah. “Kamu belum tau gosip yang akan beredar. Saya yakin, pasti itu yang akan kamu dengar.” Rindu tak tau harus berkata apa. Meski memang ada sekelumit perasaan seperti itu lantaran pemindahan mengenai dirinya yang terkesan mendadak. Tapi melihat Sonia yang tampak bersedih, Rindu jadi berpikir, mungkin bukan seperti yang ia takutkan. “Saya ini kehilangan kamu sebenarnya. Di sini kerja kamu bagus, Rin. Jarang terjadi kesalahan. Disiplin juga. Enggak banyak tingkah dan, yah … saya akui kamu teliti dan pintar. Jangan lupa kalau nama kamu sering muncul sebagai teller paling ramah di cabang ini.” Rindu tanpa sadar tertawa kecil. “Sejak seminggu lalu saya berdebat untuk mempertahankan kamu. Semua yang ada di sini bagus dan oke kinerjanya. Kamu punya kekurangan, mereka juga sama. Tapi paling enggak, ada sesuatu yang lebih di diri kamu. Dan sekarang, saya harus merelakan kamu yang dirolling.” Rindu jadi bersedih mendengar ucapan Sonia. “Saya enggak bisa berbuat apa-apa lagi saat Pak Kurniawan yang membuat keputusan.” Gadis berambut pirang itu tampak terpekur. Siapa yang tak kenal Kurniawan? Sosok pria bertubuh tegap atletis dengan wajah cukup tampang tapi jangan kira mudah didekati. Kurniawan seorang Manager Area untuk BBRI Jabodetabek. Setiap keputusannya adalah hal yang harus dikerjakan, termasuk pemindahan Rindu. “Menurut Ibu?” “Mereka janjikan tiga bulan percobaan untuk kamu. Kalau bagus, Pak Kurniawan yang langsung membuat promosi untuk head teller.” Senyum yang tadi enggan muncul di wajah Rindu, mulai terbit meski tipis. “Saya harap sekali kamu bisa mengikuti alur di sana. Naik menjadi head teller dan menjadi best employee meski bukan di cabang ini,” keluh Sonia akhirnya. Tapi segera ia hilangkan rasa tak suka karena Rindu yang harus dirolling ini. “Baik, Bu.” “Tetap jadi Rindu Anjani Sari yang saya kenal, ya.” Rindu tertawa jadinya. “Memang saya berubah jadi Sailormoon, Bu?” Mereka akhirnya tertawa bersama. Meski masih ada gamang yang Rindu rasa, tapi setidaknya dari tawa Sonia serta ekspresi wanita yang berselisih usia cukup jauh dari Rindu ini memberi kesan tersendiri. Apa yang bisa Rindu lakukan selain menerima? Ia tak punya kuasa apa-apa untuk membantah apalagi menolak. pilihannya hanya ... jalankan atau resign. Hanya itu. *** Wanita yang cantik mengenakan blazer hitam dipadu dengan blouse merah yang mencolok, berjalan dengan langkah penuh percaya diri. Matanya sesekali mengawasi sekitar tempatnya menyusuri koridor. Jangan sampai ada yang letaknya kurang sesuai karena sang bos menyukai kesempurnaan. Atau malah menemukan staff administrasi yang ia pantau sibuk bekerja, tengah asyik berkutat dengan ponselnya. Bukan tak boleh, tapi memainkan ponsel pirbadi ada jam tersendiri. “Siang, Bu Marta,” sapa salah satu staff administrasi, Kiara namanya. “Siang, Kiara.” Marta tersenyum simpul. Hanya itu. selebihnya mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan Marta melanjutkan langkahnya menuju ruangan sang bos. Di mata Marta, kepala cabang BBRI cabang Senayan ini cukup unik. Tak banyak bicara, jarang sekali terlihat berkumpul dengan staff lainnya, makan siang pun memilih sendirian, sekalinya bicara cukup membuat ketegangan serta jantung berdebar. Suaranya tegas, tak ingin banyak basa basi, apa yang harus dijelaskan di depannya ia ingin tepat sasaran. Tak ingin mendengar yang melenceng jauh. Lebih dari itu, Marta sebenarnya cukup penasaran dengan kisah asmara Bujang. Tiga tahun bekerja bersama di cabang Senayan ini, tak jua membuat Marta tau mengenai pribadi Bujang yang sesungguhnya. Pria itu terlalu kaku dan dingin. “Siang, Pak,” kata Marta setelah diizinkan masuk. Setelah sebelumnya ia mengetuk pintu kaca berlapis serta papan kecil bertuliskan ‘Kepala Cabang’. Bujang hanya menatap sekilas lalu kembali sibuk dengan laporannya. Itu sudah memberi arti tersendiri agar Marta masuk dan duduk di kursi yang ada di depannya. Untuk menjelaskan maksud kedatangannya ke ruang ini. “Pak, ini surat pemindahaan teller yang ada di cabang Gajah Mada.” “Bu Sonia sudah berikan email referensi mengenai kinerjanya?” tanya Bujang tanpa perlu mengangkat matanya. “Sudah, Pak. Bisa dicek.” Berkas itu lah yang membuat Bujang memutuskan untuk menoleh sejenak. Ia pun segera mengambil map yang Marta beri. Segera saja matanya memindai dan mempelajari apa yang dibawa wakil kepala cabangnya. “Namanya … Rinju Anjani Sari?” “Iya, Pak. Rindu sering mendapatkan best employee cabang Gajah Mada serta teller terbaik versi nasabah yang berkunjung ke sana.” Bujang mengangguk sekilas. Matanya tertuju pada foto dengan background merah di mana gadis bernama Rindu itu ada di sana. Tersenyum tipis, memperlihatkan wajah yang cukup manis. “Semoga saja bisa mengikuti ritme yang ada. Biasanya tiap cabang ada perbedaan sedikit terutama aturan enggan tertulis.” “Baik, Pak. nanti saya jelaskan.” “Kapan mulai bekerja di sini?” “Efektif per senin depan,” sahut Marta lugas. “Baik lah.” Tak lama berselang, Marta pun keluar dari ruangannya. Meninggalkan Bujang yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. Di mana berkas mengenai Rindu masih terbuka lebar. Saat ia melirik, foto itu kembali mengusiknya. Ia jadi teringat percakapan dengan sosok atasannya; Kurniawan. “Rindu itu bagus kerjanya, Bujang. Beri kesempatan tiga bulan dan promosikan menjadi head teller.” “Bapak sampai mempromosikan langsung seperti ini. Apa memang bagus kerjanya?” Kurniawan tertawa. “Nanti kamu bisa cek sendiri.” Disertai tepukan pelan pada bahu Bujang. “Jangan terlalu kaku, lah. Sesekali kamu butuh hal yang menghibur.” Kening Bujang berkerut dalam. “Beberapa kali bicara dengan Rindu di Gajah Mada, saya merasa gadis ini punya energy semangat yang besar. Kamu tau, kan, ada orang yang dianugerahi aura yang membuat sekitarnya bahagia?” “Saya enggak terlalu percaya hal itu, Pak,” tukas Bujang sembari menyesap cangkir kopinya. “Justru itu saya beri tau karena saya merasakan hal itu. siapa tau efek Rindu berpengaruh untuk kamu, Bujang.” Bujang terkekeh pelan. “Gunanya untuk saya apa, Pak?” Kurniawan malah tertawa penuh misteri. “Kalau gadis yang Bapak banggakan ini menimbulkan masalah di Senayan, saya pulangkan ke gajah Mada.” “Wah, kamu macam suami yang menceraikan istri karena istrimu selingkuh, Bujang.” Kurniawan makin jadi tawanya. “Pulangkan saja … aku pada ibuku juga … ayahku,” seloroh Kurniawan makin jadi. Tapi Bujang sama sekali tak tertawa. Hal ini yang membuat Kurniawan perlahan menghilangkan tawanya. “Siapa tau justru kamu yang enggak ingin dia pergi nantinya, Bujang.” “Enggak ada hal seperti itu di kamus hidup saya, Pak. Saya bekerja pada porsinya. Dia bagus, saya apresiasi. Dia melakukan kesalahan dan mengakui, lalu mau belajar, saya beri kesempatan. Tapi kalau dia macam-macam dan menimbulkan gara-gara, saya enggak segan menyingkirkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD