Saat pagi, dokter pribadi Sena sudah datang. Ia memang diminta oleh lelaki itu sebelum dirinya berangkat ke kantor.
Meja makan yang sudah terhidang dengan beberapa menu sarapan pagi, membuat Sena sedikit heran. Namun, ketika ia melihat Kinan —gadis yang semalam ia tolong— keluar dari toilet, segera ia tersadar jika perempuan itu sudah memulai dengan tugasnya.
"Hei, kamu!" panggil Sena tanpa memanggil nama.
Kinan yang tahu jika Sena memanggilnya, langsung berjalan mendekat.
"Ya, Tuan?"
"Ehm, siapa nama kamu?"
"Kinan, Tuan."
"Eh, iya, Kinan, ini kenalkan Dokter Aswin, dokter pribadi saya. Saya meminta beliau datang pagi-pagi untuk memeriksa kondisi kamu."
Sena menunjuk seorang lelaki seusianya kepada Kinan. Meski tidak mengerti apa yang harus diperiksa pada tubuhnya, Kinan memilih untuk menurut dengan menghampiri.
"Saya Kinan, Dokter." Kinan sedikit ragu menjulurkan tangannya, ia terlampau sungkan.
"Saya Aswin. Jadi, apakah kamu izinkan saya untuk memeriksa sebelum waktu saya di sini habis, Kinan?" tanya sang dokter ramah.
"Eh, saya terserah Tuan saya saja, Dok," ucap. Kinan sembari melihat ke arah Sena. "Lagipula apa sebetulnya yang mau Dokter periksa? Saya merasa kalo saya dalam kondisi baik-baik saja."
"Menurut temanku dan tuan kamu ini, Nona, saya diminta agar memeriksa karena semalam kamu tertabrak mobilnya dan pingsan."
Kinan mengangguk, mencoba mengerti.
"Jadi?" tanya sang dokter.
"Jadi apa, Dok?" balas Kinan tak mengerti.
Dua orang di depannya masih berbincang, sedangkan Sena memilih diam dengan makan sarapan pagi yang sudah Kinan siapkan begitu lahap.
"Menurut saya, lebih baik kamu periksa dulu. Jadi, bisa konsultasi bersama kalo ada hal yang buruk terjadi."
"Oh, begitu. Baik, Dok, saya ikut saja."
Akhirnya Dokter Aswin pun memeriksa Kinan di sofa di ruang keluarga. Ruang keluarga yang letaknya bersebelahan dengan letak ruang makan, memungkinkan Sena untuk ikut melihat pemeriksaan tanpa harus ia beranjak dari acara santap paginya.
Segala hal seperti atur napas, pemeriksaan mulut dan mata, serta terakhir yaitu luka di sejumlah tubuh Kinan akibat tubrukan semalam, tak luput dari pemeriksaan dokter pribadi Sena.
"Baik, Kinan, kamu sudah boleh duduk," ujar lelaki berkaca mata itu. Sebuah kaca mata yang sepertinya hanya sebagai gaya bukan karena fungsinya, sebab dari warna yang sedikit coklat pada frame-nya.
Kinan pun duduk. Gadis yang seharusnya dewasa di usianya itu, terlihat canggung dan malu-malu ketika selesai diperiksa. Sena bisa melihat itu semua sebab ia mengawasi dari jarak yang memang tidak terlalu jauh itu.
"Ayo, kita ke Sena. Saya akan menyampaikan hasil pemeriksaan pagi ini padanya," ucap Dokter Aswin yang disambut anggukan oleh Kinan.
Keduanya kembali berjalan menuju ruang makan. Sena terlihat sudah selesai dengan piring yang kini tampak terlihat kosong tersebut.
"Bagaimana, apakah ada luka serius pada tubuhnya?" tanya Sena sembari mengelap mulut dengan kain napkin.
Dokter Aswin yang sudah duduk di sebelah Sena kemudian menjawab. "Tidak. Sepertinya gadis ini baik-baik saja, hanya luka pada siku tangan dan kaki yang harus kembali dibersihkan nanti secara berkala hingga lukanya hilang dan mengering. Selebihnya mungkin hanya ke beban pikiran yang tampak di wajahnya."
Sena sontak menatap ke arah Kinan, yang juga menatap dirinya. Seketika gadis itu menunduk. Apa yang sudah ia katakan pada Sena semalam, adalah hal yang sepertinya tengah menjadi bebannya saat ini.
"Apakah akan berpengaruh pada kondisinya?" tanya Sena kemudian.
"Bisa kalau saja hal ini dibiarkan."
"Lantas, solusinya bagaimana?"
Dokter Aswin tampak membetulkan letak kaca matanya yang sedikit miring, sebelum kemudian ia menjawab pertanyaan sang klien, yang juga adalah temannya.
"Aku bisa merekomendasikan seorang psikolog kalau hal ini berkelanjutan. Tapi, usahakan hindari dulu dari masalah yang saat ini tengah ia hadapi. Jika dengan menghindar ternyata masih membuat jiwanya terganggu, aku sarankan untuk segera pergi mengunjungi ahlinya."
"Ehm, baiklah. Aku mengerti. Aku akan menghubungi kamu kalau dia membutuhkan seorang psikolog. Sementara itu biar ia tinggal dulu di sini."
"Apa? Apakah kau serius, Sena?" Terlihat ekspresi kaget pada wajah sang dokter.
"Apakah Bianca tahu ini?"
"Aku akan bilang padanya. Aku rasa dia mengerti."
"Hem, entahlah. Semoga. Tapi, aku seperti memiliki feeling tidak baik akan hal ini."
"Kenapa? Apakah kamu berpikir jika kekasihku bukan perempuan baik?" Sena terlihat tidak suka, menatap sang teman.
"Ah, tidak. Aku sih biasa aja melihatnya. Cuma sejak awal mommy-mu adalah orang yang paling tidak suka dengan hubungan kalian berdua." Aswin tampak santai menanggapi.
"Ck, mommya memang perempuan kolot. Biarkan saja, toh aku yang akan menjalani hidupku sendiri."
Perbincangan yang terjadi antara Sena dan Aswin yang sudah tidak lagi membicarakan mengenai kondisi Kinan, membuat gadis itu canggung.
"Maafkan saya, Tuan, apakah saya boleh permisi untuk melanjutkan pekerjaan saya?" Kinan akhirnya memotong pembicaraan dua kawan tersebut.
Sena menengok, "Ya, kamu bisa lanjutkan. Nanti saya akan panggil kamu kalau ada yang saya mau bicarakan."
"Baik, Tuan. Saya mengerti." Kinan menunduk dan sedikit membungkukkan tubuhnya, kemudian pergi.
Kini, kembali hanya tinggal Sena yang duduk bersama Aswin.
"Kamu enggak mau sarapan?" tanya Sena kepada temannya itu.
"Thank's. Aku udah makan sebelum kamu telepon tadi."
"Hem, ok."
"Tapi, ngomong-ngomong, Sena, apakah kamu serius dengan apa yang kamu bilang padaku di telepon tadi?"
"Mengenai apa?" tanya Sena masih menikmati secangkir kopi yang belum habis.
"Mengenai perempuan tadi, siapa namanya ... Kinan. Apakah betul dia hendak dijual ke Madam Sisyl?"
"Perempuan tadi bilang begitu, aku rasa dia bukan tipe pembohong. Kamu tahu, di usianya yang katanya dua puluh lima tahun, hanya beda beberapa tahun di bawahku, tetapi aku lihat sosok perempuan yang benar-benar lugu seolah tidak pernah mengerti dunia luar. Menurutku, ia seharusnya bisa melawan ketika akan dibawa untuk dijual. Tidak mungkin dia tidak curiga ketika dipaksa memakai pakaian seksi dengan dandanan yang membuatnya cantik, yang kemudian dibawa ke tempat bordir. Itu sangat aneh menurutku. Apakah benar ia sama sekali tidak berinteraksi dengan lingkungan sehingga membuatnya menjadi perempuan yang diam saja ketika akan dibawa pergi oleh ibu dan kaka tirinya."
"Kamu tahu dengan jelas begitu, Sena?" tanya Aswin menatapnya dalam senyum.
"Perempuan itu sendiri yang bilang padaku semalam." Sena menjawab jutek.
"Lantas, apakah kamu akan menerima dia di sini? Apakah kamu tidak mau mencari latar belakangnya juga? Benarkah dia bicara sesuai dengan apa yang dikatakannya kepadamu."
"Ya, sementara aku akan biarkan dia tinggal sekalian membantuku membersihkan rumah. Aku juga tidak akan diam saja, tentu aku harus mencari informasi mengenai perempuan ini secara jelas."
Aswin pun mengangguk setuju. Bukan karena ia tidak suka dengan Kinan, bukan, tetapi sebagai seorang teman yang sudah mengenal lama dengan Sena dan keluarganya, Aswin tentu memiliki kewajiban untuk mengingatkan. Ada rasa kepedulian yang membuatnya harus melakukan itu. Sebab ia tahu, Sena dan keluarganya —Mahesa— bukanlah keluarga biasa. Ia perlu waspada agar sang teman tidak berada dalam kesulitan atau incaran orang-orang jahat yang ingin mencelakai atau menjatuhkannya.
"Baiklah, sepertinya aku harus pamit pergi. Aku ada jadwal praktek di rumah sakit pagi ini. Untuk urusanmu, aku rasa kamu lebih tahu apa yang harus dilakukan. Berhati-hatilah sebab kamu tahu siapa Madam Sisyl. Aku lebih menyarankan supaya kamu tidak terlibat dengan perempuan itu dan orang-orangnya. Jika memang Kinan harus bersembunyi, jangan biarkan ia keluar sama sekali dari rumah ini, bagaimana pun keadaannya."
"Ya, aku tahu. Sementara sampai keadaannya normal."
"Ya sudah. Aku pergi dulu, yah. Makasih untuk kopinya."
"Hem, makasih juga udah mau direpotkan datang pagi-pagi."
"Hei! Kamu dan daddy-mu itu enggak ada bedanya, dari dulu selalu seperti itu pada ayahku. Heran, bapak dan anak sama saja. Sama-sama senang ngerjain orang."
"Status kamu itu dokter pribadi, memang tugasnya seperti itu. Ya, kalau kamu tidak mau, aku bisa pecat dan ganti posisi kamu dengan yang lain." Sena pura-pura kesal.
"Ya, ya, baik, baik. Kamu menang. Selain senang ngerjain orang, hobi kamu juga sama senang sekali mengancam. Aneh, hobi kok bikin orang menderita."
"Aswin, jangan sampai, yah, aku menelepon Nikolas untuk menggantikan posisi kamu sekarang?" ancam Seba bersiap dengan ponselnya di tangan.
"Baiklah, selamat pagi, Tuan Nawasena. Semoga hari Anda menyenangkan. Selalu jaga kesehatan Anda di manapun Anda berada. Jangan sampai sakit karena akan membuat dokter pribadi Anda kerepotan kalau harus datang secara tiba-tiba di waktu tengah malam atau pagi-pagi buta."
"Hallo, Nikolas! Bisakah kamu datang ke kantorku siang nanti? Ada hal yang mau aku bicarakan denganmu," ujar Sena pura-pura, melalui panggilan telepon.
"Sekali lagi, saya permisi, Tuan Sena," pamit Dokter Aswin yang segera meninggalkan ruangan makan itu menuju keluar rumah.
"Dasar, Aswin!" tukas Sena tersenyum sembari meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Kinan! Kinan!" Sena memanggil Kinan, yang sepertinya sedang sibuk bekerja membersihkan bangunan dua lantai miliknya.