Part 5 (Daveeka's POV)

1025 Words
Akhirnya aku pun tiba di apartementku, kuhela nafasku dan membuka pintunya. Dan rupanya tidak dikunci, sehingga membuat dahiku jadi mengerut. Segera aku masuk ke dalam apartementku, dan tak lupa menutup pintunya kembali. Lalu aku berjalan menuju kamar, dan aku sedikit terkejut, saat melihat tempat tidurku yang sudah kosong. Kuhela nafasku dengan berat, dan mendudukkan tubuhku di tepi tempat tidur. "Sayang sekali, dia sudah pergi" batinku, sambil mengulum senyumanku. Ya, sungguh sangat disayangkan, karena aku belum sempat berkenalan dengannya. Dan bagaimana caranya, untuk bertemu dengannya lagi? Mengingat aku yang tak mengetahui namanya, dan tak mempunyai nomor ponselnya. Atau kudatangi saja club malam itu? Mungkin saja, nanti ia akan datang kesana lagi. Kalau pun tidak, maka tidak apa-apa, itu berarti kami memang hanya dipertemukan dalam satu kali saja. Tapi sebentar, kenapa aku jadi ingin bertemu dengannya lagi? Padahal aku selalu bersikap tak peduli, pada setiap pria yang tidur bersama denganku. Tidak, tidak Veeka! Jangan sampai kau menyukainya! Tapi sepertinya tidak apa-apa, jika nanti malam aku ke club malam itu lagi, ya untuk sekedar menghilangkan rasa penat saja, dan. . . Mencari pasangan seks yang baru. Hahhhaha. Sepertinya temanku benar, aku memang sudah gila akan seks. Eits, tapi tidak segila, bos sialan itu. Err, kalau dia sih, jangan ditanya lagi. ************************** Kini aku sudah rapih, dan sedang memoleskan sebuah lipstik pada bibirku, di depan sebuah cermin. Drrttttt ddrrrttttt. . . Tiba-tiba kudengar ponselku yang bergetar, sehingga membuatku langsung menghentikan aktifitasku. Lalu kutaruh lipstik tersebut di atas meja rias, dan meraih ponselku yang juga kuletakkan di atas meja rias. Namun aku sangat terkejut, ketika aku melihat layar ponselku, yang terdapat sebuah panggilan dari Kwang Ho. Ya, bos gila itu! Mau apa dia menghubungiku? Apa untuk memberitahu jadwal pemotretan? Kuhela nafasku dengan berat, dan menjawab teleponnya. "Hallo Veeka" sapanya di sebrang sana. "Iya pak, ada apa?" tanyaku. "Ke sini sekarang!" suruhnya. "Ke sini? Ke sini mana pak?" tanyaku, sambil menatap bayangku di depan cermin. "Ke rumahku Veeka, sekarang juga" jawabnya. "Tapi untuk apa pak? Lagipula saya kan mau pergi" ujarku. "Mau pergi kemana? Dan batalkan saja acara pergimu itu!" ucapnya. Apa dia bilang? Batalkan? Ck, seenaknya saja, memangnya dia pikir, dia siapa? Dan lagipula, untuk apa menyuruhku ke rumahnya? "Veekaaaaaa! Kau mendengarku tidak?!" pekiknya di sebrang sana, sehingga membuatku langsung menjauhkan ponsel dari telingaku. "I-Iya pak, iya saya dengar. Aduh, bapak jangan teriak-teriak dong, nanti kalau telinga saya rusak, bagaimana?" protesku, sambil mengusap-usap telingaku, dan mengerucutkan bibirku. Dan kemudian, aku mendekatkan ponsel pada telingaku lagi. "Aku tak peduli! Ke rumahku sekarang, atau kau akan kupecat?!" ucapnya, yang terdengar seperti sebuah ancaman, dan kemudian ia langsung memutuskan sambungan teleponnya. Sialan! Seenaknya saja menyuruh-nyuruhku. Ingin rasanya, aku mengumpat di depannya. Dengan berat, kuhela nafasku dan segera bangkit dari kursi. Lalu aku mengambil tasku di atas kasur, dan segera beranjak pergi. 30 menit kemudian. . . Taksi yang kutumpangi pun, tiba di depan sebuah rumah yang begitu besar, bak istana. "Nona, benar ini rumahnya?" tanya supir taksi. Aku pun menoleh ke arah supir tersebut, dan menggangguk, "Benar pak, ini memang rumah teman saya" dustaku, sambil tersenyum kikuk. Dan kemudian aku segera memberikan beberapa lembar uang pada supir itu, "Kembaliannya ambil saja, pak" ucapku. "Baik nona, terima kasih" ujar supir tersebut, yang disertai dengan sebuah senyuman. Tapi hanya kujawab dengan anggukkan saja. Kemudian, aku segera membuka pintu, dan keluar dari taksi tersebut. Lalu aku melangkah menuju pintu pagar, dan mengeceknya, apakah dikunci atau tidak. Tapi rupanya tidak dikunci, dan langsung saja kubuka pagarnya, dan masuk ke dalam halamannya. Lalu tak lupa, aku menutupnya kembali, dan juga menguncinya, meski tidak digembok. Setelah itu, aku berjalan menuju pintu masuknya, yang berwarna cokelat kayu. Lalu kuketuk pintunya, "Pak, saya sudah datang" pekikku. Pintu pun dibuka, dan dapat kulihat seorang pria yang sangat kubenci, sedang berdiri di depan sana. "Kenapa tidak menekan belnya saja?" tanyanya, sambil menatapku dengan datar. Dia bilang apa? Bel? Oh ya, bel! Ya ampun, aku lupa kalau ada sebuah bel, yang berada di dinding, dekat pintu ini. Aku pun terkekeh, dan menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal, "Maaf pak, lupa" jawabku. Namun ia masih saja menatapku dengan datar, "Ayo masuk!" ajaknya, yang tidak menyingkir dari ambang pintu. "Bagaimana caranya saya masuk pak? Kalau bapak saja, masih berdiri di situ?" tanyaku. Tanpa berkata apa-apa, ia pun langsung menyingkir dari ambang pintu, dan memberikanku jalan untuk masuk. "Terima kasih, pak" ucapku, sambil menyunggingkan sebuah senyuman, dan berjalan memasuki rumahnya. Karena bagaimana pun juga, aku harus tetap bersikap sopan saat di depannya, meski aku sangat membencinya. Ya, anggap saja itu sebagai sebuah topeng, agar ia tak mengetahui, kalau aku sangat membencinya. "Sepertinya kau sudah tahu, apa yang ingin kulakukan, sehingga kau memakai dress super minim seperti itu" ujarnya, sambil menutup pintu dan menguncinya.  Aku pun langsung menoleh ke arahnya, dan kulihat ia yang sedang berjalan di belakangku, "Maksudnya pak?" tanyaku. "Tidak usah banyak tanya, langsung saja naik ke lantai dua!" suruhnya, yang langsung kujawab dengan anggukkan. Perlahan aku menaiki anak tangga, satu-persatu, hingga menimbulkan bunyi dari langkahku. "Highheelsmu berisik! Besok-besok, kalau ke sini, tidak usah pakai highheels" ujarnya, yang berjalan di belakangku. Ck, lagipula tadinya aku niatnya mau ke club malam, makanya aku pakai highheels, tapi pria tua ini malah menyuruhku untuk datang ke sini. "Langsung ke kamarku!" suruhnya lagi, saat aku menginjakkan kakiku di lantai dua rumahnya. "Baik pak" jawabku, yang kemudian berjalan ke arah sebuah kamar yang pintunya terbuka. Lalu aku memasuki kamar tersebut, dan memperhatikan isinya, yang sama sekali tidak berubah, dan masih sama saat terakhir aku ke sini. Ah, lebih tepatnya saat aku tidur dengannya di kamar ini. "Duduk!" suruhnya kembali. Dan aku pun menurutinya lagi. Sebentar, sebenarnya ada keperluan apa ia menyuruhku ke rumahnya seperti ini? Ingin membicarakan soal jadwal pemotretan? Kan bisa di telepon, atau bisa di ruang tamu. Kenapa harus di sini? "Lepas semua pakaianmu!" suruhnya lagi, sehingga membuatku langsung terperanjat. Apa? Jangan-jangan. . . "Buka semua pakaianmu, Daveeka!" ucapnya. "B-Baik pak" jawabku, sambil menggangguk. Dan dengan bodohnya, aku menurutinya lagi, sehingga aku langsung bangkit dari posisiku, dan langsung melepaskan seluruh pakaian yang kukenakan. Melihat tubuhku, yang sudah tak ditutupi oleh sehelai benang, membuatnya tersenyum penuh kemenangan, "Sekarang rebahkan tubuhmu di atas kasur!" suruhnya. Oh, sial! Benar dugaanku, ia akan melakukannya. Argh, kenapa aku bodoh sekali, dan menurutinya saja? Seharusnya, tadi aku pergi saja ke club malam, dan berpura-pura sibuk, agar aku tak datang ke sini. "Sekarang pejamkan kedua matamu!" suruhnya. "Kenapa harus dipejamkan pak?" tanyaku. "Jangan banyak tanya, Veeka! Lakukan saja!" cetusnya. "I-Iya pak" jawabku, yang kemudian langsung memejamkan kedua mataku. To be continue. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD