“Mei, bangunlah.” Satya berbalik dan membungkuk melihat pada anak perempuannya. “Maafkan, maafkan aku, Ayah. Seandainya aku tak berhati batu saat itu. Aku seharusnya bisa memaklumi keinginanmu. Maafkan aku,” ujar Meisya yang juga penuh sesal. Rudi melihat semua itu dari kejauhan. Sementara sang penjaga tahanan masih ada di samping Satya karena mereka hendak membawanya. “Sebentar, Pak,” izin Satya pada dua sipir muda tersebut. “Meisya, tidakkah kau ingat jika hidupku sungguh keterlaluan di masa muda? Aku menyalahgunakan yang aku miliki saat itu. Sampai aku harus tergabung pada sindikatnya Purnomo. Aku pantas mendapatkan ini, Mei. Aku pantas diadili, jangan menyesal atas sesuatu yang membuat orang lain justru merasa lebih baik. Kau menyesal karena telah menjebloskan aku, padahal aku be