2- Namanya Samudra

1015 Words
  Karena kamu bukan murid TK lagi yang harus ditunggui Mamanya selagi belajar     …     Bagai menemukan oase di padang gersang. Itulah yang rasanya tepat dengan suasana hatiku saat ini. Aku tidak pernah menyangka akan menemukan si Ustaz ganteng Jungkook Kw itu di antara ratusan penghuni pondok pesantren ini. Mama yang berada di sebelahku menatapku aneh ketika mendengar kalimat yang barusan kulontarkan. "Kamu kesambet opo toh nduk? Tadi bersikeras enggak pingin di sini, sekarang malah antusias mondok," kata Mama. Mendengar perkataannya aku hanya nyengir kuda.   "Abel baru mendapat hidayah dari Sang Maha Pencipta, Ma."   Mama menggeleng. Kemudian aku digiringnya memasuki ruang di depan kami. Begitu kami masuk, aku mendapati ruang yang sangat menyejukkan. Deretan rak buku tersusun rapi. Aku mengamati ruangan bermeja kayu jati dengan tulisan di atasnya Nyai Minah itu.     Wanita yang berada di balik meja itu sesuai dugaanku. Bertubuh besar dan berkacamata. Saat kami berada di depannya, ia menurunkan kacamatanya dan menyipitkan mata. Ia mengisyaratkan kami untuk duduk. Dan bagai terhipnotis, kami menurut.   "Ini toh putrimu yang namanya Abel itu?"   Wanita itu memiliki suara alto yang kutebak sangat merdu saat bertilawah. Aku tersenyum ramah ketika mata kami bersepandang. Mama mengangguk. Ia menyalami wanita itu, disusul aku yang melakukan hal sama. "Nggih, Bu. Ini Arabela, yang mau mondok disini," sahutnya.   Nyai Minah mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia mengangkat telpon di atas mejanya dan menekan tombol yang sudah dihafal. Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi yang jelas, tepat sepuluh detik ia menutup telpon, seseorang masuk ke ruangan.   Seorang gadis yang kutaksir merupakan Ustazah disini. Gadis itu tersenyum pada kami.   "Kurnia, antarkan Bu Kenza dan putrinya ke kamar yang sudah disiapkan," perintah Nyai Minah pada gadis itu.   Gadis bernama Kurnia itu mengangguk sopan dan langsung mengisyaratkan untuk kami mengikuti langkahnya. Mama dan aku tersenyum sebelum meninggalkan ruangan. Kami mengikuti langkahnya.   Yah, sebentar lagi aku akan menjalani kehidupanku di pesantren yang tak kusukai ini. Hwaiting, Abel!     ~ ~   Aku melipat bibir rapat-rapat ketika melihat pemandangan yang ada dalam kamar berukuran  4x5 meter ini. Kamar ini akan segera menjadi tempatku beristirahat selama 4 tahun ke depan. Namun yang membuatku heran yaitu, bagaimana sebuah kamar kecil seperti ini ditempati 6 orang?   "Kamu disini. Ini lemarinya," kata Ustazah Kurnia sembari menunjuk kasur kapuk dan sebuah lemari kecil. Aku tersenyum miris.   Pandanganku jatuh ke koperku yang berukuran hampir sama dengan lemari itu. Sepertinya aku tidak pantas menyebutnya lemari, mungkin itu hanya kotak berpintu. Iya, bukan lemari.   "Mahasiswi lainnya mungkin baru kesini besok, jadi sekarang kamu cuma ditemani 3 orang dulu." Aku masih tersenyum miris. "Besok 2 orang itu kesini," lanjutnya.   Ia tersenyum pada Mama dan berpamitan.  Mama langsung melepas paksa tautan tangan kami saat Ustazah Kurnia pergi. Ia berkata dengan pelan tapi sangat menohok, hingga aku kembali ingin menangis. Tapi entah mau bagaimana lagi.   "Mama pamit pulang dulu ya, Sayang. Enggak mungkin kan Mama nungguin kamu disini, karena kamu bukan murid TK lagi yang harus ditunggui Mamanya selagi belajar."     Seperti yang dikatakan Mama, aku harus mulai beradaptasi. Selepas mengantar Mama kembali pulang ke rumah, aku dihampiri teman-teman sekamarku. Namanya Anisa, Dina, dan Mia. Mereka langsung cepat mengajakku mengobrol. Dalam hati aku bersyukur dengan sikap ramah yang mereka tunjukkan padaku. Semoga setelahnya aku bisa beradaptasi meski enggan.   Oh iya, apa kabar si Ustaz ganteng yang namanya belum kutau itu, ya?     ~ ~   Anisa mengajakku bergegas untuk berangkat ke masjid begitu adzan maghrib berkumandang. Meski malas-malasan, akhirnya aku mau juga ditarik gadis itu.   "Ayo Abel, entar kita kebagian shaf paling belakang."   "Kenapa memangnya kalo shaf paling belakang?" tanyaku penasaran.   "Shaf paling belakang itu isinya mbakyu- mbakyu senior tingkat akhir. Dan kalo kita telat, biasanya kita dihukum." Dina menjelaskan.   Aku hanya mengangguk-angguk memahami penjelasannya. "Oh iya."   Dina dan Mia langsung menarikku keluar kamar. Kami berlari kecil menuju masjid. Kami sudah seperti olahraga malam saja. Sambil menguap, aku mengikuti tarikannya.     "Kok kamu tau peraturan disini? Bukannya kamu itu santri baru kayak aku, ya?"   Aku yang sejak tadi penasaran akhirnya mengeluarkan pertanyaan.     Dina tersenyum kecil seraya menjawab, "Kakakku disini juga."   Sekali lagi aku mengangguk. Aku mengangguk terus deh dari tadi.   Anisa yang berjalan paling depan menoleh ke belakang dan menyuruh kami bergegas. "Ayo."   Ya ampun, dengan mukena yang panjang begini, bagaimana aku harus lari cepat?   Kami selamat karena tidak menempati shaf belakang. Kami mengambil baris tengah. Dan kemudian menjalani kewajiban 3 rakaat dengan khusyuk.       ~ ~   Setelah solat maghrib, kami mengaji. Kali ini hanya mengaji Al Qur'an saja. Dan beruntungnya aku masih bisa. Tapi jika sudah disuruh untuk mengaji kitab-kitab seperti kitab kuning atau apalah namanya yang lain itu, entahlah apa aku bisa. Ustazah Kurnia kulihat ikut mengawasi kami. Ia memimpin setoran hafalan untuk santri lama. Sedangkan kami santri baru, hanya disuruh untuk membaca terlebih dahulu.   Kami mengaji hingga adzan isya berkumandang. Kasak-kusuk santriwati terdengar saat iqomah. Entah apa yang mereka obrolkan tentang siapa yang beriqomah itu , yang jelas aku sejak tadi sudah mengantuk dan ingin segera kembali ke kamar dan tidur. Mengantuk sekali rasanya saat kita mengerjakan sesuatu yang kurang kita senangi.   Mia yang duduk di sebelahku berbisik lirih. Ajaibnya begitu aku mendengar bisikannya aku mendelik dan tidak jadi mengantuk. "Kamu tau enggak, yang iqomah itu namanya Ustaz Sam. Ustaz muda yang gantengnya bikin semua santriwati jadi nyebut."   "Siapa? Ustadz Sam?" aku mendengar baik-baik. Antusias mendengar kelanjutan kata-kata Mia.   "Iya, Ustaz Samudra atau yang biasa dipanggil Ustaz Sam."   "Dia jadi idola karena katanya wajahnya yang mirip Nabi Yusuf." Dina ikut menimbrung.   Anisa tertawa kecil. "Padahal mah belom pernah liat Nabi Yusuf itu kayak gimana. Huuuu... "   Aku tersenyum senang.   "Namanya Ustaz Sam.... " gumamku.   "Dia paling muda disini, baru lulus S1 tahun kemarin dan lanjut S2 disini." Mia mengompori aku untuk terus menyunggingkan senyum.   "Ih, Abel kok senyum terus?"   Tanpa sadar aku sudah tersenyum aneh, atau mungkin menyerupai seringai.   "Emang kamu udah liat orangnya, Bel?" tanya Dina.   "Udah, deh kayaknya. Yang mirip Jungkook BTS itu kan?"   Mia dan Dina bersitatap. Berikutnya mereka terkekeh kecil. "Iya, dia sampai mendapat julukan Ustaz Rasa Oppa dari santriwati sini."   "Siapa? Jongkok?" Anisa menggaruk kepalanya. Kutebak, ia tidak suka segala hal berbau Korea sepertiku.   "Sssttttttt... "     Mungkin karena begitu berisik, mbak-mbak yang berada di belakang kami menegur kami. Kami langsung diam dan bergegas bersiap solat.   Tau apa yang aku lakukan saat solat?   Aku tidak khusyuk dalam solatku. Ya Allah, maafkan hambaMu ini.         ~ ~      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD