3- Tengsin!

766 Words
  Lain kali jangan ceroboh         …               "Abel, bangun!"     "Ih kalo kamu nggak mau bangun juga, ntar kita tinggal deh."     "Ya udah yuk, keburu Ustazah Aisyah dateng."   Sayup-sayup aku mendengar suara ketiga teman sekamarku. Dan saat kubuka kelopak mata, mereka sudah menghilang. Kini di kamarku hanya ada aku seorang diri.   Aku langsung melompat bangun. Kuambil tali rambut dan mengikat rambutku asal. Aku tergopoh mengambil mukena dan langsung memakai atasnya. Kini adzan subuh telah selesai. Aku berlari menuju masjid, takut jika aku ketinggalan solat subuh jamaah.   "Duh mampus! Kok bisa sih aku nggak denger suara adzan?!"   "Kalo sampe telat, bisa dihukum. Baru juga 3 hari disini, aishh.. "   Aku terus menggerutu sepanjang jalan.   Jarak pondok putri dengan masjid cukup jauh, sedangkan masjid dekat dengan pondok putra. Jadi aku harus mengerahkan tenaga ekstra. Hitung-hitung olahraga pagi.     Baru setengah perjalanan, aku sudah mendengar iqomah berkumandang. Astaga aku lupa kalau selisih waktu adzan dan iqomah di sini hanya sebentar. Padahal semalam Dina sudah mengingatkanku.   "Duh, Ya Allah." Aku sudah kehabisan tenaga ketika mendekati masjid.   "Ah bodo amat deh dihukum juga. Capek." Dan aku menyerah.   Aku menyentuh lututku dan mengatur napas. Capek juga lari pagi begini.   "Hei kamu!"   Aku tersentak ketika mendengar suara di belakangku. Suara lelaki. Takut-takut aku menoleh ke belakang.   "Cepat! Sebentar lagi solat dimulai."     Namun aku malah membeku di tempat sekarang. Bukannya mematuhi kalimat lelaki itu barusan.   Lelaki yang sedang memegang senter di tangannya itu mendekat. Ia mengarahkan senternya ke wajahku. Sontak aku tersadar sudah bertindak memalukan tadi.   "Iya Ustaz.. Sam." Aku terbata memanggil namanya.   Lelaki itu memandangiku sejenak. Ia mengangkat sebelah alisnya. Seperti berkata dalam diam, "Kok tau namaku?"     "Sudah cepat sana!" perintahnya.   Tak mau terlalu lama bertingkah bodoh aku bergegas melangkah menuju masjid. Lama-lama melihatnya aku bisa senewen.   Tapi baru tiga langkah, dia kembali bersuara.   "Kayaknya kamu terburu-buru sampai nggak sadar sandal kamu tertukar."   Spontan aku menunduk memperhatikan kakiku. Wajahku memerah. Benar katanya, sandalku ketuker. Kini aku memakai sandal berwarna hijau di sebelah kiri dan merah di sebelah kanan. Ya ampun malu-maluin!   Aku tidak menjawab kalimatnya itu dan mempercepat langkahku.     Tengsin cuy!   ~ ~   "Jadi tadi subuh kamu kepergok sama Ustaz Sam?"   Aku mengangguk merespon pertanyaan Mia.   Kami sedang di koperasi saat ini. Aku dan Mia tengah mencari peralatan yang akan dibawa untuk OSPEK kampus.   "Berapa ini mba?" tanyaku mengangkat sebotol Mijon. Ini adalah salah satu barang bawaan OSPEK untuk hari pertama . Untuk menerjemahkan minuman ini butuh diskusi dengan mbak-mbak kamar sebelah, karena nama yang diberikan oleh kakak tingkat bukanlah nama barang itu sesungguhnya. Minuman ini saja dinamai minuman elektrik. Nggak nyambung banget.   "Mpat setengah." Mbak-mbak penjaga koperasi menatapku.   "Lah, empat ribu aja lah mba." Aku menawar dengan cengiran.  Mia langsung menjawilku. "Mana boleh di koperasi nawar? Emangnya pasar?"     Aku cengengesan. Kami masih harus membeli barang lain seperti buku tulis, koran, kertas karton, spidol,dll. Juga keperluan sehari-hari wanita dari sabun hingga pembalut. Karena hanya disini lah satu-satunya tempat transaksi yang khusus untuk para santri, ustadz dan ustadzah.   "Tapi kok Ustaz Sam nggak solat subuh ya? Tadi kayak lagi patroli gitu."   Mia mengelus dagunya seraya mengingat. "Kayaknya Dina pernah bilang deh kalo ustaz-ustaz di sini itu ada jatah patroli sebelum solat jamaah dimulai. Soalnya pernah ada kejadian santri yang kabur ke rumah pas subuh."   Aku mengangguk-anggukan kepala mengerti. "Oh, jadi tadi itu jatah jaganya Ustaz Sam... "   "Kamu tadi diapain aja?"   Mendengar hal itu aku mendelik sambil tertawa. "Diapain apanya?"   "Ih Abel...  maksudku, diapain yaaa diapain gitu..." Mia menggaruk kepalanya yang gatel.   Aku menarik sudut bibirku. "Yaaa, tadi itu cuma ditegur doang, sama dibilang suruh cepetan." Aku masih merasa malu saat mengingat hal tadi.   Mia tertawa kecil. "Untung nggak dihukum."   "Sebel deh denger dari kemarin hukum-hukum mulu," gerutuku.   "Iya emang begitu kan." kata Mia. "Udah peraturannya. Kalau ngelanggar, ya dihukum."   "Huft.. "   Kami kini berada di area perbatasan pondok putra dan putri. Kebetulan koperasi terletak dekat area perbatasan. Aku membayarkan uang yang langsung diterima mbak-mbak penjaga koperasi. Begitu juga Mia.   Namun saat ingin kembali dan berbalik, tepat di belakang kami berdiri dengan tegapnya si Ustaz ganteng idaman para santri. Dan sudah pasti aku terkejut. Oh nggak, Mia juga sama terkejutnya sepertiku.   Dan secara spontan aku menyapa Ustaz itu dengan pedenya.   "Assalamualaikum Ustaz... "   Aku merutuki bibirku yang tidak bisa diajak kompromi. Mia pun ikut kaget mendengar aku menyapa Ustaz Sam.   Tapi tanpa diduga, lelaki itu menjawab. "Walaikumsalam."   Singkat, padat, jelas.   Sudah kutebak, lelaki itu begitu dingin. Aishhh ...   Setelah itu, kami terburu meninggalkan koperasi.   "Tunggu!"   Secercah harapan datang. Siapa tau dia mau menyapa balik atau apa, Ya kan? Hehe   Kami memutar badan.     "Ini ketinggalan... " ujarnya dengan semena-mena seraya mengacungkan sebungkus benda kramat kebanggaan kaum wanita itu ke arahku.   Anjir. Pembalut!   "Lain kali jangan ceroboh sampai jatuh begini."   Aku menerima benda itu dengan muka merah. Dan kulihat Ustaz Sam menahan tawanya.   Double Tengsin! Njiir!     ~ ~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD