10- Pengakuan

1103 Words
Kenali aku, dari diriku sendiri. Jangan dari kata orang       •••       Aku melongo menatap pemandangan di depanku. Di sampingku ada Mia dan Dina yang mengelus sambil mengaitkan lengannya padaku. Aku meringis kecil. Bima sedang dijewer oleh Ustaz Sam karena ketahuan memasuki area pondok putri dan membuat satu pesantren heboh. Gelengan kepala kayaknya enggak cukup melihat tingkah pemuda itu.   "Aduh, sakit, Ustaz." Bima menjerit kecil seraya menyentuh jemari Ustaz Sam. Ia melirikku sekilas. Tapi kemudian lagi-lagi ia mengaduh merasakan tarikan di telinganya yang terasa pedih.   Ustadz Sam pun ikut-ikutan melirik ke arah kami. Aku mengerjap kecil ketika bersepandang dengannya. Pipiku tanpa malu merona. Ini adalah pertemuan kami setelah adegan tidak-tahu-malu-memandangnya-terang-terangan-di-kantor.   "Kamu ini sekali aja enggak bikin onar, apa enggak bisa?" Ustaz Sam berujar tanpa mengalihkan tatapannya padaku. Berdehem kecil, akhirnya ia bergegas keluar dari area pondok putri. Lelaki itu masih menjewer Bima. Ketika berbalik, Bima sempat-sempatnya meneriakiku hingga aku malu sendiri.   "Dah, Arabela!"   Selepasnya, Ustazah Aisyah dan Ustazah Nilam menyuruh seluruh santriwati ke kamar masing-masing. Pun denganku yang masih tercengang mengikuti tarikan kedua teman sekamarku itu.   Aku  terhenyak. Tatapanku nanar. Apa yang barusan terjadi?   ~~~     "Kamu enggak diapa-apain Bima, kan?" Mia langsung menginterogasiku begitu kami sampai di kamar. Seluruh penghuni kamar menatapku. Aku malah masih melongo, belum sadar sepenuhnya.   Anisa menggeplak lenganku. Dan hal itu sontak membuatku sadar dari lamunanku tadi. Aku mengaduh kecil. "Kamu ditanyain malah diam!" Anisa berubah menjadi galak sekarang. Ia melotot. Tapi aku dipelototi seperti itu enggak takut. Kalau bisa, biasanya aku malah melotot balik.   "Aku enggak kenapa-napa. Bima enggak apa-apain aku, kok." Aku menjawab dengan santai. Dengan cepat aku menarik sarungku untuk menutupi kakiku yang mendadak merinding dingin.   Mereka sepertinya enggak puas dengan jawabanku. Terbukti dari pelototan mereka yang masih awet. Aku menunduk perlahan. Lama-kelamaan kok takut juga ya dipelototi berpasang mata begitu. "Beneran!" seruku sambil mengangkat tangan. "Suwer!"   "Aku udah bilang, Bel. Hati-hati sama Bima." Adinda kini ikut-ikutan memelototiku. Ia bersidekap.   "Udah, Nda. Aku bahkan seharian kemarin enggak terlibat obrolan apapun, kecuali waktu ngasih buku absen," jelasku. Aku mencopot jilbab instanku. "Gerah, ah! Udah deh, pada lanjut tidur!"   "Bener?" tanya Mia. Ia menyentuh lenganku.   Aku mengangguk keras-keras. Tanpa suara lagi. Mereka kini sedikit percaya pada ucapanku. Aku memeluk gulingku dan membelakangi mereka untuk menghindari tatapan itu. Kudengar langkah mereka yang sudah kembali ke kasur masing-masing. Ada yang tertidur lagi, ada yang sengaja untuk menunggu waktu adzan nanti. Perlahan aku menutup kedua mataku. Namun, sesaat kemudian langsung terbuka kala sekelebat ingatan tadi hadir. Bima dan segala tingkahnya yang menjengkelkan yang baru kutahu.   Harusnya aku bisa bermimpi indah lagi bukan setelah melihat wajah Ustaz Sam tadi? Ah semuanya gara-gara Bima!   Kok dia jadi nyebelin, sih!       ~~~     "Bima?"   Sosok di depanku cengengesan enggak jelas. Ia menurunkan cahaya senter yang tadi diarahkan ke wajahnya untuk menakut-nakutiku. Sambil menetralkan kekehannya, Bima melangkah mendekatiku dan berjongkok mengambil senter yang kulempar. Ia tersenyum kecil. Tangannya menjulur menyerahkan senterku. Dengan dongkol aku terima senter itu.   "Aku enggak tau kamu akan setakut itu," katanya. Matanya yang sipit semakin sipit ketika tersenyum meledekku. "Maaf." Aku sudah ingin melempar senter di tanganku ke wajahnya. Dengan jantung yang masih berdegup kencangnya dan rasanya mau copot, ia malah tertawa tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ngagetin aja!     Aku menatapnya galak. "Ngapain kamu di pondok putri? Jam segini lagi!"   "Aku? Enggak tau, ngapain ya?" tanyanya. Ia memasang tampang polos. Bima mengarahkan senternya ke arahku. Ia memainkannya cahayanya naik turun. "Kamu habis Pup, Bel?" tanyanya dengan nada polos.   Aku menganga mendengar pertanyaannya. "Apa? Kalo tanya tuh jangan terlalu jujur gitu, deh." Aku mengarahkan senterku ke arahnya. Kubayangkan senter ini seperti pistol yang siap menembaknya.   Bima tertawa kecil lalu mengangkat tangannya ke atas. "Ampun. Jangan ditembak dong!" Ia malah bercanda.   Lama-lama aku bisa senewen menghadapi tingkahnya yang menyebalkan. Aku melangkah berniat untuk kembali ke kamar, namun suara Bima menghentikan langkahku. "Jangan takut sama aku, Bel."   Ucapannya membuatku menoleh. "Siapa yang takut?! Aku cuma takut sama Allah."   "Kamu hindarin aku. Seharian." Entah wajah cengengesannya menghilang kemana. Aku melihatnya sedang serius sekarang. "Benar, kan? Kamu hindarin aku."   Aku berdehem kecil. Dengan gerakan yang dibuat-buat aku melipat tanganku di depan d**a. "Enggak, tuh. Apa faedahnya aku hindarin kamu? Kita aja enggak sedekat itu."   "Kamu hindarin aku semenjak tau kejadian perkelahianku kemarin, kan?"  Bima tersenyum miring. "Jangan dengarkan omongan orang lain kalau kamu belum tau apapun dari aku yang sesungguhnya. Kenali aku, dari diriku sendiri. Jangan dari kata orang."   Aku bergeming. Perkataan Bima ada benarnya. Aku seharian menghindari dia sejak mendengar ucapan Adinda kemarin lusa. Tapi, bagaimana mungkin kita percaya pada orang itu sendiri? Yang menilai kita ini baik atau buruk bukannya orang lain?   "Kenapa diam? Aku benar, kan?" tanyanya memastikan. Bima lagi-lagi menaik turunkan cahaya senternya ke badanku sambil cengengesan. Aku yang tadi tengah memasang raut serius akhirnya buyar. Aku menghentakkan kakiku, mendelik ke arahnya.   "Iya. Aku benci sama kamu. Kenapa sih kamu harus suka sama aku?!" Aku berteriak di depannya.   Bima mundur seketika. Ia pura-pura menutup hidungnya. Tapi kemudian ia tertawa saat sadar tingkahku yang mengetes bau napasku sendiri. "Ih nyebelin!" aku jengah dan ingin buru-buru balik ke kamar.   "Kamu terlalu pede untuk bilang begitu." Bima gantian bersidekap. Ia menyeringai. Aku kelabakan di tempat. Eh, aku barusan bilang apa sih?   "Tapi memang benar sih yang kamu katakan," lanjutnya. Ia menggembungkan pipinya.   "Maksudnya?"  Aku bertingkah bodoh sekarang.   "Iya. Bukannya kamu bilang tadi, aku suka kamu?" tanyanya menundukkan tubuhnya. Ia menyejajarkan wajahnya di depan wajahku. Tanpa sadar aku menahan napas. Aku mengangguk pelan. "Kamu benar."   Perkataan Bima membuatku tersedak air ludahku sendiri. Ia memundurkan wajahnya. Dan aku bisa bernapas sekarang. Begitu wajah kami sudah berjarak jauh, ia lagi-lagi tersenyum miring. Aku menunggu reaksinya. Kalau ia mengerjaiku, ia pasti akan tertawa terbahak sekarang. Tapi pemuda itu hanya diam. Aku masih menatapnya sangsi. Aku pun bingung respon apa yang harus kutunjukkan sekarang.   "Udah tau, kan?" tanyanya. "Jangan hindarin aku setelah ini."   Kedip, Bel!   Apa?! Siapa yang baru ngomong tadi?!  Sepertinya kepalaku sudah terbentur sampai mengkhayal kalau Bima sedang menyatakan perasaannya padaku sekarang. Mataku tidak berkedip menatapnya. Dan ketika aku berkedip nanti, aku yakin aku akan sadar. Namun begitu aku berkedip, Bima masih berdiri di sana dengan seringaian menyebalkan.   Ini bukan mimpi?   Tak     Lampu tiba-tiba menyala. Seluruh ruangan terang benderang. Lorong di depan kamar mandi pondok putri sudah tidak seseram tadi karena lampu yang menerangi. Aku masih menatap Bima. Pun saat Ustaz Sam tiba-tiba datang, melewatiku, dan menarik telinga Bima hingga ia mengaduh.       ~~~~     "Ini hukum bacaan apa?"   Aku memasang raut serius ketika menatap lingkaran yang ditunjuk Ustaz Sam. Berpikir sejenak. Sepertinya aku tau bacaan ini, tapi kenapa lupa ya?   "Ini." Ia mengetuk-ngetukkan pulpennya.   "Idghom bilaghunnah?" tanyaku ragu. Mataku menyipit menunggu jawaban Ustaz Sam.   Ia tersenyum kecil. Dan aku mengembuskan napas lega.   "Baru satu. Jangan senang dulu!" katanya memperingati. Membuatku yang tengah memandangnya langsung mengalihkan tatapan.   "Iya, Ustaz!" Aku berseru. Memelototi lingkaran di bawahnya. Tersenyum di dalam hati, kali ini aku pasti benar. "Iqbal!"   "Hah?"   "Eh, Iqlab maksudnya!"   Ustaz Sam menepuk keningnya diiringi cengiran dariku. Aku merutuk dalam hati. Kok bisa sih b**o banget?! Iqbal siapa coba?!     ~~~~          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD