Aruna membuka matanya pelan saat merasakan sengatan sinar matahari telah masuk ke dalam kamarnya. Dengan segera, ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia sudah tidak menemukan sang suami di sisinya. Ia terlambat bangun hari ini. Ini masalah besar. Ia belum menyiapkan apapun untuk suaminya.
Aruna buru-buru keluar dari kamarnya menuju ke arah dapur. Ia menghela nafas panjang saat mendapati sang suami sedang berkutat di dapurnya. Radika tampak cekatan mengolah bahan makanan yang ada di depannya. Suami Aruna itu terlihat begitu gagah dengan peralatan masaknya. Entah Aruna yang terlalu cinta atau memang kenyataannya seperti itu.
Aruna tersenyum manis kemudian mendekati sang suami. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melayani sang suami pagi ini. Ia merutuki dirinya sendiri yang tertidur seperti beruang sampai lupa waktu.
"Sini, biar aku yang selesaikan. Kamu bisa bersiap-siap. Maafkan aku karakter telat bangun. Kenapa kamu tidak membangunkanku, sih?" Tanya Clara sedikit kesal.
"Aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu duduk saja, sekali-kali aku yang menyiapkan semuanya." Jawab Radika lembut.
"Tidak bisa begitu dong! Sebagai seorang istri, aku yang harus menyiapkan semuanya. Aku tidak mau kamu kelelahan karena Melakukan pekerjaan itu semua. Sekarang, kamu yang duduk. Aku yang akan menyelesaikan semuanya." Ucap Aruna kesal.
"Hei. Kenapa kamu berfikiran seperti itu. Kamu istriku, bukan asistenku. Aku menikahimu bukan aku suruh untuk mengurusku. Oke? Sekarang kamu duduk, aku yang akan menyiapkan semuanya. Anggap saja ini adalah rasa terimakasihku karena kamu telah bekerja keras akhir-akhir ini."
"Aku tidak melakukan apapun. Bekerja keras apanya? Bahkan aku tidak tahu apa yang aku lakukan."
Radika menghela nafas pelan, ia mulai kesal dengan istri cantiknya itu. Ia menangkup pipi tirus sang istri dengan tangan besarnya.
"Sekarang kamu duduk ya, Sayang. Aku yang akan menyiapkan semuanya. Aku akan memberikan menu spesial untukmu."
Aruna hanya bisa mengangguk lesu saat Radika berkata seperti itu. Ini adalah pertama kalinya Radika memasak. Sebenarnya, Aruna bukan takut jika Radika akan kelelahan. Namun, ia takut jika Radika hanya akan membuang-buang bahan makanan yang tersimpan.
Aruna mengamati Radika yang masih sibuk berkutat pada dapurnya. Aruna terus merapalkan do'a. Semoga apa yang di khawatirkan tidak akan terjadi. Ia masih sayang lidah dan perutnya. Ia tidak mau jika harus sakit karakter memakan makanan yang tidak seharusnya.
Selang beberapa lama, Radika telah menyelesaikan makanannya. Ia tersenyum lebar saat membawa dua piring nasi di sertai telur mata sapi yang sedikit menghitam. Radika terlihat bangga sekali terhadap maha karyanya. Ia yakin jika sang istri sangat bangga memiliki suami sepertinya.
Aruna menatap Radika ngeri. Namun, melihat senyum Radika yang begitu lebar membuatnya tidak tega untuk menghinanya. Ia yakin, jika suaminya telah berjuang keras untuk menyajikan makanan itu.
"Wah, ternyata kamu mulai pandai memasak." Puji Aruna setengah hati.
"Tentu saja. Aku memang suami yang bisa di andalkan. Kamu harus bangga terhadapku." Ucap Radika bangga.
Aruna tersenyum simpul. Melihat suaminya tersenyum bangga seperti itu, Aruna turut merasakan sebuah kebahagiaan.
"Kalau begitu, ayo kita makan." Ucap Aruna semangat.
Radika mengangguk. Ia menatap Aruna yang tampak lahap memakan makanannya. Ia heran, kenapa Aruna bisa makan selahap itu? Apakah rasanya enak? Ia jadi tidak sabar untuk mencicipinya.
Belum sempat ia menyendokkan makanannya ke dalam mulut, tangannya di tampar begitu saja oleh Aruna. Radika menatap Aruna bingung, ada apa dengan istrinya itu?
"Kenapa?" Tanya Bagas.
"Bagaimana jika makanannya buat aku saja? Masakanku sangat enak. Jima hanya satu piring, aku masih kurang." Ucap Aruna sembari menarim piring Radika.
"Benarkah? Apakah masakanku memang seenak itu?" Tanya Radika.
"Tentu."
Radika mengernyitkan alisnya heran. Namun, selang beberapa lama ia melebarkan senyumannya. Ia tidak menyangka jika ia memang sehebat itu. Jika seperti itu, ia harus membuatkan Aruna makanan lebih sering lagi.
Lama menyaksikan Aruna makan, membuat Radika penasaran. Seberapa enak makanannya itu. Tanpa aba-aba, ia menyendokkan nasi dan telur dari piring Aruna. Ekspresinya langsung berubah total, setelah itu Radika memuntah semua yang ada di mulutnya.
"Buang semuanya! Buang!" Ucap Radika ribut mencari air putih.
Dengan cekatan Aruna menyiapkan air putih untuk Radika. Radika meminumnya dengan rakus, rasa tidak sedap masih menempel di lidahnya.
"Kenapa kamu memakannya? Rasanya sangat hancur, pait, pedas, dan asin. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan masakan ini." Ucap Radika kesal.
Aruna tersenyum geli saat mendapati sang suami saat kesal dengan masakannya sendiri.
"Kamu harus bisa menghargai masakanmu sendiri. Apakah kamu tidak mencicipinya terlebih dahulu? Sepertinya kamu memasak dengan api yang terlalu besar dan terlalu banyak menambahkan garam dan lada. Iyakan?" Tanya Aruna sembari terkekeh.
"Bagaimana kamu bisa tahu? Aku kira semakin banyak bumbu maka akan semakin nikmat. Ternyata, itu malah menghancurkan rasa masakanku. Aku tidak mau memasak lagi." Ucap Radika kesal.
"Aku tahu karena sudah berpengalaman. Semua masakan pasti ada takarannya masing-masing. Kamu jangan menyerah seperti itu dong! Aku yakin, suatu saat kamu pasti bisa. Kita akan belajar bersama-sama, oke?"
"Tidak oke. Aku sudah trauma dengan bumbu dapur. Lebih baik kita memesan makanan saja. Kamu tahu? Aku sudah memecahkan lima belas telur. Tapi semuanya gagal. Dan yang aku pilih adalah hasil yang terbaik, aku kira itu akan enak. Ternyata, tidak layak untuk di makan."
"Apa? Kamu memecah telur sebanyak itu? Astaga Mas Radika, aku baru saja membelinya. Kenapa kamu membuang-buang telur itu?" Ucap Aruna sembari mengelus dadanya pelan. Menahan emosi.
Radika hanya tersenyum lebar. Istrinya terlihat sangat menggemaskan saat merasa kesal seperti itu. Mau bagaimana lagi? Prinsipnya adalah pantang menyerah sebelum jadi. Tapi jika sudah berjuang dan terus gagal, lebih baik Radika memilih jalan lain.
Ia mengotak-atik ponselnya kemudian memesan makanan. Ia tidak mau jika istrinya harus sakit perut karena memakan hasil masakannya. Jika Aruna sakit, siapa yang akan memberikannya makan?
"Aku akan memesan makanan. Kamu pesan apa?" Tanya Radika.
"Samakan saja. Aku sedang tidak mengingkan apapun." Jawab Aruna santai.
Radika mengangguk. Memesan bubur ayam untuk sarapan sepertinya merupakan pilihan yang tepat. Ia bisa merasakan bagaimana lembutnya nasi yang telah di campur oleh santan dengan berbagai topingnya.
Radika mlengelus perutnya yang mulai berbunyi. Seandainya tadi Aruna di perbolehkan untuk membantunya. Mungkin, ia tidak akan merasakan kelaparan seperti ini. Radika harus menuruti perkataan sang istri lain kali. Ia tidak mau jika kembali terkena getah karena tidak mendengarkan Aruna. Seperti sekarang contohnya, ia sekarang merasa kelaparan karena berbuat sok jago bahwa ia bisa menyelesaikannya sendiri. Dan hasil bahan makanan itu berakhir dengan tragis.