Keras Kepala

1035 Words
Dimas menatap istrinya yang terlihat marah. Ia heran dengan tingkah istrinya yang sekarang. Dia suka sekali marah-marah tanpa sebab. Ia yakin bahwa setiap kemarahannya berhubungan dengan Aruna. Ia takut jika sang istri kembali mengalami hipertensi karena sering sekali marah. Dimas hanya diam. Ia memilih memperhatikan tingkah laku sang istri. Ia takut jika Dewi semakin marah jika ia ikut campur dengan masalahnya. Padahal sebagai seorang suami, ia harus bisa membuat Dewi bisa mengontrol emosinya. Tapi mau bagaimana lagi. Dewi sudah terlanjur membenci menantunya. Sesering apapun ia membujuk istrinya, semuanya akan berakhir sia-sia. Dewi berjalan kesana kemari tak tentu arah. Wanita itu sedang mencari informasi mengenai Velina. Entah kenapa, ia terobsesi menjadikan Velina sebagai menantunya. Ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Ia telah jatuh cinta terhadap Velina sejak pertama kali bertemu. Ia memantapkan hatinya supaya bisa mendapatkan hati wanita itu. Ia yakin, setelah Radika hidup dengan Velina, wanita itu akan lebih bahagia. Untuk saat ini, ia tak perlu memedulikan Radika yang terus menolak keinginannya. Dewi bisa tersenyum senang saat memeroleh informasi yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Ia tidak menyangka jika Devan melakukan pekerjaannya dengan cepat. Beberapa waktu lalu, Dewi memerintahkan Devan untuk mencari informasi tentang Velina. Dewi menunjukkan raut wajah sedih saat mengetahui latar belakang Velina. Ia ingin segera memeluk wanita itu. Melihat raut wajah Dewi yang tiba-tiba berubah membuat Dimas heran. Sebelumnya ia terlihat tersenyum, tapi kenapa sekarang merengut seperti itu? “Kenapa?” tanya Dimas penasaran. “Aku hanya sedih setelah mengetahui latar belakang Velina,” jawab Dewi lirih. “Velina? Siapa itu? Aku baru pertama kali mendengar nama itu.” “Masa kamu tidak tahu? Dia merupakan calon menantu kita asal kamu tahu.” Dimas membelalakkan matanya saat mendengar ucapan Dewi. Menurutnya, Dewi terlalu tergesa-gesa dalam menentukan pilihannya. Walaupun ia juga menginginkan cucu, tapi ia masih bisa merasakan bagaimana perasaan putra semata wayangnya. “Calon menantu? Memangnya Radika pasti mau dengan pilihanmu itu? Dia sudah dewasa, aku yakin dia bisa menentukan pilihannya sendiri. Kamu tidak perlu repot-repot mencarikannya calon istri,” ucap Radika. “Apa yang kamu katakan? Aku melakukannya karena Radika tak kunjung bertindak. Kamu tahu sendiri, jika aku tidak bertindak, maka Radika akan tetap memilih untuk bersama wanita itu. Aku tidak mau jika terus menunggu kedatangan cucuku. Aku sudah bersabar, tapi Radika tak pernah mengerti,” jelas Dewi panjang lebar. “Bagaimana Radika bisa mengerti jika kamu terus memaksanya? Kamu bisa mengatakannya dengan pelan-pelan. Aku yakin jika Radika bisa menuruti perkataanmu. Kamu hanya cukup menunggu kapan waktunya.” “Sampai kapan aki harus menunggu, Mas? Selama ini aku sudah menunggu, tapi aku tak kunjung di berikan apa yang aku inginkan. Kamu lupa bahwa Radika merupakan anak kita satu-satunya. Jika Radika tidak memiliki keturunan, bagaimana nasib keluarga Adijaya? Kita tidak akan memiliki penerus.” Dimas terdiam mendengar apa yang di katakan oleh Dewi. Benar apa yang di katakan oleh Dewi. Namun tindakannya yang salah. Dengan seperti itu, ia yakin Radika akan semakin bersikeras menolak permintaan Dewi. Dimas tidak menyangka, hanya karena Radika tal kunjung memiliki keturunan, semuanya menjadi rumit seperti ini. Seandainya Aruna bisa memberikan Radika anak, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. “Sudahlah, kamu tidak perlu repot-repot memikirkannya. Aku takut jika ubanmu bertambah banyak karena sering sekali marah,” ucap Dimas sembari terkekeh pelan. “Aku tidak peduli. Rambutku hanya puti sebagian Sedangkan kamu sudah memutih sepenuhnya. Jadi terlihat siapa yang lebih sering marah daripada aku,” jawab Dewi kesal. “Itu karena aku yang lebih tua darimu. Selisih umur kita sepuluh tahun. Bukankah selama ini aku merupakan pria yang sabar?” “Iya. Kamu terlalu sabar sampai tak menyadari bahwa masalah kita sudah besar.” “Hah... Itu bukan masalah besar, Dewi. Suatu saat kita pasti akan mendapatkan cucu. Kalaupun Aruna tidak bisa memberikan Radika keturunan, setidaknya mereka bisa mengadopsi seorang anak,” jelas Dimas. “Mengadopsi? Apa aku tidak salah dengar. Yang aku mau adalah cucu yang sebenarnya. Darah daging Radika. Jika mengadopsi akan berbeda Mereka tidak memiliki hubungan darah dengan kita sama sekali. Aku tidak mau memiliki penerus dari golongan orang asing.” “Jika mereka telah resmi menjadi anak dari Radika dan Aruna, bukankah mereka bukan lagi orang asing?” “Tetap saja orang asing. Mereka tidak memiliki darah yang mengalir dari keluarga Adijaya.” Dimas menghembuskan nafasnya kasar. Percuma saja mengingatkan sang istri. Ia akan tetap teguh pada pendiriannya. Dimas hanya bisa berharap, suatu saat masalah keluarganya akan segera terpecahkan. Ia tidak mau jika hanya perkara sepele seperti ini bisa menghancurkan rumah tangga putranya. Jika saja Dewi bukan istrinya, mungkin ia telah menyumpal mulut itu saat itu juga. Telinganya sudah panas mendengar suaranya yang memekakkan. Ia heran dengan kepala Dewi. Terbuat dari apakah kepala itu, sampai-sampai kepala itu keras sekali. Mungkin terbuat dari beton sehingga sulit sekali di lunakkan. Dimas kembali menyeruput kopinya yang mulai mendingin. Berdebat dengan sang istri membuat ia melupakan kopi panasnya. Ia sedikit menyesal karena menanggapi ucapan sang istri. Akibatnya, ia tidak bisa menikmati kopinya yang masih mengepul. Jika sudah dingin, rasa kopi itu menjadi kurang nikmat. Dewi menatap Dimas tidak suka. Tidak ada yang mengerti perasaannya. Hampir semua orang membela Aruna. Bahkan suaminya tak mendukungnya sama sekali. Ia mengamati sang suami yang sedang menikmati kopi hitamnya. Melihat itu, Dewi ingin merasakan bagaimana hidup sebagai laki-laki. Pasti lebih baik dari perempuan. Setiap pagi, selalu di siapkan oleh istrinya. Jika menginginkan sesuatu, pasti akan di turuti oleh istrinya. Terlihat enak sekali. “Hei, kenapa melamun?” tanya Dimas heran. “Tidak. Aku hanya bisa membayangkan. Bagaimana jika aku menjadi seorang laki-laki. Sepertinya enak sekali,” jawab Dewi. “Enak sekali? Tidak. Siapa yang mengatakannya seperti itu?” “Tentu saja aku!” “Menjadi laki-laki tidak semudah apa yang kamu bayangkan. Kita harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada perempuan. Mereka juga harus berjuang keras untuk keluarga kecilnya. Kamu tahu? Poros keluarga terletak pada seorang suami. Seorang suami harus bisa membimbing istri sekaligus anak mereka di tengah pekerjaan yang terbilang berat. Jadi wanita pun sama beratnya. Semuanya sudah di tentukan jalannya masing-masing.” Dewi mengangguk setuju dengan apa yang di katakan Dimas. Ia baru sadar bahwa keinginannya aneh sekali. Laki-laki dan perempuan sama- sama memiliki kemudahan dan kesulitan. Jadi, ia tak perlu membanding-bandingkannya. Ia hanya perlu menjalani kehidupannya sebaik mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD