Si Mulut Pedas

1043 Words
Aruna memasukki ruangan dengan canggung. Dulu, ia tidak terlalu akrab dengan teman sekolahnya. Ia lebih suka menyendiri dan membaca buku-buku miliknya. Menurut Aruna, membaca merupakan salah satu kewajibannya. Namun, entah kenapa setelah dewasa ia malas sekali membaca. Aruna mengernyitkan alisnya saat suasana masih begitu sepi. Padahal, ia sudah mengundur-undur waktu supaya tidak terlalu lama menunggu. Ia mendudukkan dirinya pada satu kursi meja yang telah di susun rapi. Aruna menghela nafas sejenak. Kenapa hampir semua orang suka mengulur-ulur waktu? Pantas saja negara ini sulit berkembang karena di huni oleh makhluk-makhluk pemalas. Aruna memilih memesan makanan terlebih dahulu. Daripada menunggu dan tidak melakukan apapun, lebih baik ia mengisi perutnya yang masih kosong. Dengan segera, Aruna memanggil pelayan kemudian memilih beberapa makanan yang telah tercantum pada buku menu. Aruna menyangga digunakan dengan kedua tangannya. Jika tahu seperti ini, lebih baik Aruna tidak datang. Ia hanya membuang-buang waktu untuk melakukan hal yang tak berguna. Jika ia tetap di rumah, mungkin ia masih bisa melakukan banyak hal atau menjaga kios bunganya. Ia yakin, sudah banyak pelanggan yang datang ke kiosnya. Aruna menghela nafas sejenak, ia tak bisa membayangkan bagaimana raut kecewa pelanggannya saat mengetahui bahwa ia tidak membuka kiosnya hari ini. "Hei! Kenapa melamun?" tanya orang yang baru saja datang. Orang itu dengan kedua temannya segera mendudukkan diri di dekat Aruna. Mereka menatap Aruna dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tidak ada yang terlihat berbeda dengan wanita itu. Aruna masih terlihat cantik dan muda seperti saat ia SMA dulu. "Kamu masih terliat begitu cantik. Tidak ada yang berubah sama sekali. Tolong bagi rahasianya dong! Aku ingin tahu bagaimana caranya menjadi cantik sepertimu. Suamiku sering sekali mengeluh, katanya aku tidak pandai merawat diri. Padahal menurutku, itu karena faktor usia," ucap orang itu kesal, Nindy. "Tidak ada rahasia sama sekali. Mungkin hanya perasaanmu saja, aku lebih terlihat lebih tua jauh di bandingkan saat aku SMA dulu. Kamu jauh lebih cantik dariku kok, suamimu saja yang kurang menyadarinya. Pekerjaan wanita itu banyak sekali, tapi terkadang suami kita tidak menyadari. Saking banyaknya, kita sebagai wanita tidak sempat merawat diri," jawab Aruna sembari tersenyum manis. "Benar sekali. Tapi benar apa yang di katakan oleh Nindy, kamu masih terlihat cantik seperti dulu. Kamu tidak terlihat menua sama sekali. Aku heran dengan wajahmu itu. Oh, apakah kamu menggunakan produk tertentu untuk merawat kulitmu? Jika, ayo katakan pada kami apa produknya?" sahut Dina, teman Aruna yang lain. "Kenapa kalian malah memuji-muji Aruna seperti itu, menurutku terlalu berlebihan. Aku tahu mengapa dia masih terlihat muda seperti itu. Jika di bandingkan kita, tentu saja dia terlihat lebih cantik. Aruna belum memiliki anak, jadi dia belum tahu bagaimana frustasinya kita saat mengurus mereka. Dia masih bisa bersantai tanpa memikirkan anak yang berlarian kesana kemari yang bisa jatuh kapan saja. Daripada menjadi cantik, aku memilih jelek tapi memiliki anak. Suamiku lebih bahagia saat melihat aku bisa memberikan keturunan daripada melihat aku yang bisa tampil cantik setiap saat," sahut Claudia sinis. Nindy menatap Claudia tajam. Ia tidak suka dengan apa yang di katakan oleh Claudia. Nindy yakin, bahwa perkataan Claudia bisa menyakiti hati Aruna. Wanita itu bisa melihat dari raut sendu yang terpancar dari wajah cantik Aruna. Jika saja Nindy tidak ingat bahwa ini merupakan tempat umum, mungkin Nindy akan menendang Claudia saat itu juga. "Kenapa kamu berbicara seperti itu? Tidak sepantasnya kamu mengatakan hal yang bisa menyakiti orang lain! Itu kan suamimu, bukan suami Aruna. Bisa saja suami Aruna lebih suka menatap wajah cantik istrinya daripada melihat istrinya yang terlihat berantakan. Aku tidak tahu kenapa kamu mengatakan hal itu pada Aruna!" ucap Nindy kesal. "Lho, kenapa kamu yang marah? Aruna saja terlihat biasa-biasa saja saat aku mengatakannya. Iya kan, Aruna?" tanya Claudia. Aruna hanya mengangguk ragu. Benar apa yang di katakan oleh Claudia. Ia belum bisa memberikan keturunan bagi Radika. Mengingat itu membuat hatinya kembali sesak. Walaupun apa yang di katakan Claudia benar, tetap saja hatinya tercubit dengan keras. "Aruna mengangguk karena menjaga perasaanmu. Tetapi kenapa kamu tidak bisa menjaga perasaannya sama sekali. Bagaimana perasaanmu jika di posisi Aruna? Memangnya kamu terima? Tidak!" ucap Nindy kesal. "Aku bukan Aruna. Jadi aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan. Yang jelas, aku tidak mau merasakannya. Bagaimana reaksi orang-orang saat mengetahui bahwa aku merupakan wanita mandul? Paling parah, suamiku akan menceraikanku saat itu juga. Untung saja Aruna tidak di ceraikan, ingat dia sudah menikah selama lima tahun. Kalau aku jadi suaminya, mungkin aku sudah menceraikannya saat itu juga," kata Claudia sembari menatap Aruna sinis. "Hei, sudah berapa kali aku katakan? Suami Aruna tidak akan mmeninggalkanya begitu saja. Kamu tahu sendiri bagaimana suaminya sangat mencintai Aruna. Aku tidak yakin jika beliau akan bertindak seperti apa yang kamu katakan! Jika kamu hanya ingin menjelek-jelekkan Aruna, lebih baik kamu pulang saja?" ucap Dina kesal. "Tidak perlu. Aku saja yang pulang, aku masih ada urusan di rumah. Kalian tidak perlu bertengkar hanya karena aku. Nindy, Dina, terimakasih telah mendo'akan aku. Dan Nindy, terimakasih atas caciannya. Do'akan saja supaya aku segera di berikan momongan," ucap Aruna sembari meninggalkan mereka. Nindy menatap kepergian Aruna sendu. Ia tahu bagaimana rasa sakit yang di alami oleh Aruna. Walaupun tidak terlalu dekat, setidaknya ia tahu di balik sosok tegar dalam tubuh rapuh itu. Ia pernah di posisi Aruna. Ia pernah di pojokkan saat ia dan suaminya tak kunjung di berikan momongan. Nindy selalu berusaha tegar saat mertua dan orang tuanya menyuruhnya untuk segera memiliki momongan. Nindy bisa bernafas lega saat tespack yang di belinya menghasilkan tanda positif. Ia tidak perlu menjaga hati saat bertemu dengan keluarga besarnya. Ia tidak perlu malu saat bersama dengan teman-temannya. Setelah berjuang selama empat tahun, akhirnya mereka di berikan momongan. Nindy bisa mematahkan argumen bodoh mereka yang mengatakan bahwa Nindy merupakan wanita mandul yang tak bisa menghasilkan keturunan. Untung saja, Nindy dan suami urung untuk melakukan perceraian. Jika hal itu terjadi, maka akan menjadi penyesalan terbesar pada mereka berdua. Mereka masih saling mencintai saat ingin melakukan perceraian. Hal itu karena sang mertua mendesak Nindy untuk menceraikan sang suami. Namun, belum sempat bercerai. Tuhan memberikan seorang malaikat kecil kepada keluarga kecilnya. Hadirnya sang malaikat kecil membuat semuanya berubah total. Jika sebelumnya hanya ada kata cacian dan makian yang keluar dari mulut mertuanya, sekarang hanya ada kasih sayang yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu. Nindy hanya bisa berharap, semoga Aruna mengalami hal yang sama sepertinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD