Telah lama mereka berpelukan. Saling menghangatkan satu sama lain hingga membuat Radika total lupa akan semua pekerjaannya. Terlalu nyaman memeluk tubuh sang istri. Seperti anak kucing yang mencari kehangatan dari tubuh induknya.
Aruna terkikik geli melihat kelakuan suaminya yang seperti anak kecil. Padahal, tubuhnya sudah sebesar kingkong. Tak pantas sekali dengan kelakuannya yang masih seperti bocah.
Aruna mulai melepaskan tangan besar sang suami yang merangkul pinggang rampingnya. Radika tentu saja tak terima, ia tak rela jika kehangatan itu hilang secepat ini.
"Kamu harus menyelasaikan pekerjaanmu. Tuh lihat, dokumen-dokumen itu telah menggunung di meja kerjamu. Dan, oh kopimu sudah mulai mendingin. Jika kamu terus seperti ini, kapan akan selesai semuanya?" Ucap Aruna penuh kelembutan.
"Aku malas sekali mengerjakan itu semua. Mereka benar-benar membuat ku kelelahan. Aku benci itu. Aku lebih suka memeluk istri cantikku dengan mengatakan kalimat-kalimat romantis yang akan membuat istriku ini akan tersenyum sipu hingga membuat istriku ini akan memiliki pipi memerah seperti tomat."
"Jika kamu terus memelukku seperti ini, kamu tidak akan mendapatkan uang. Dan jika kamu tak mendapatkan uang, maka kita akan menjadi orang miskin. Aku tak mau ya, hidup seperti itu." Ucap Aruna disertai kekehan
Radika mendesah lemah. Dengan terpaksa ia melepaskan pelukannya. Pelukan itu terlalu berharga untuk dilewatkan. Ia menuju menuju meja kerjanya dengan bersungut-sungut. Malas sekali jika malam ini harus menyelesaikan semua pekerjaan yang telah menggunung ini. Seharusnya, ia menghabiskan malam panas bersama sang istri.
Radika mulai membuka dokumen-dokumen itu. Ia memfokuskan seluruh pikirannya pada dokumen-dokumen itu. Ia harus mengerjalan seluruhnya dengan sempurna. Tak ada cacat sama sekali. Katakanlah ia adalah sosok yang perfeksionis. Ia melakukan itu semua semata-mata agar istrinya merasa bahagia melihat sang suami yang bekerja sangat baik.
Radika sesekali melirik ke arah sang istri yang memainkan ponselnya pada ranjang empuk mereka. Sang istri tampak begitu serius menatap layar ponsel itu. Mungkin tentang pekerjaan.
Radika menghela nafas. Ia harus fokus. Memandang istri saja telah membuat konsentrasinya buayar begitu saja. Hatinya langsung bergejolak ingin mencium,memeluk, dan memberi kecupan-kecupan kecil pada wajah itu.
***
Malam semakin larut. Radika masih berkutat dengan dokumen-dokumen rumit itu. Sesekali ia mengerang frustasi karena pekerjaannya yang terkadang begitu sulit untuk dipecahkan. Ingin sekali ia membakar semua dokumen-dokumen itu. Tapi ia ingat, tanpa dokumen-dokumen itu, dipastikan ia telah menggembel di pinggir jalan.
Radika melirik sang istri yang masih terduduk di ranjang besarnya. Ia terlihat memejamkan matanya namun masih dalam keadaan duduk. Pasti sang istri menunggunya, sampai terkantuk-kantuk seperti ini. Radika tersenyum gemas melihat sang istri yang berusaha terjaga namun tak sanggup menahan kantuk.
Radika mengelus rambut panjang Aruna lembut. Rambut itu sudah terlihat acak-acakan tak berbentuk. Mungkin, efek dari Aruna banyak bergerak saat menunggunya bekerja. Kemudian, ia mengecup pucuk kepala sang istri dilanjutkan ke bibir mungil sang istri berupa kecupan singkat. Ia memposisikan tubuh sang istri agar tertidur dengan nyaman.
Setelah memastikan Aruna tertidur dengan nyaman, Radika mulai menaiki ranjang. Kemudian menaikkan selimutnya guna menghangatkan tubuhnya serta tubuh pasangan sehidup sematinya. Ia memeluk tubuh mungil itu erat, membuat rasa nyaman semakin bertambah.
Aruna belum tidur sepenuhnya. Ia merasakan gerak gerik sang suami saat menyentuhnya. Ia tersenyum dalam diam, semoga kebahagiaan ini akan berlanjut hingga mereka berusia senja.
***
Fajar telah terbangun dari tidurnya. Aruna menggeliat pelan. Ia melirik jam weker disamping ranjangnya. Jam 05.00. Ia harus segera beranjak dari ranjang empuknya. Ia tak mau jika suaminya terlambat karena harus menunggu sarapan yang tak kunjung datang.
Aruna mulai membersihkan tubuhnya. Setelah merasa bersih, ia segera menyiapkan sarapan untuknya dan sang suami.
Aruna membuka kulkas. Ia menghela nafas, ternyata stok makanan mereka telah habis. Ia lupa jika mereka telah lama tak berbelanja untuk kebutuhan pangan mereka. Aruna bersyukur, setidaknya masih ada enam lembar roti tawar yang mungkin akan cukup untuk sarapan untuknya dan suaminya. Ia hanya perlu memanggang roti itu kemudian membuatkan sang suami s**u dan kopi agar terlihat segar.
Aruna mulai mengoleskan selai pada dua lembar roti yang sebelumnya telah ia panggang. Setelah siap, ia harus segera membangunkan suaminya itu yang masih mengarungi mimpi.
Aruna membuka pintu kamar dengan pelat. Takut suaminya akan kaget jika ia membuka pintu terlalu keras. Jika sang suami kqget kemudian terkena serangan jantung bagaimana? Ia tak mau menjadi janda muda. Aruna menggelengkan kepalanya ribut. Kenapa ia jadi memikirkan hal yang aneh-aneh? Mungkin efek belum sarapan.
"Mas bangun. Lihat mataharinya udah naik tuh." Ucap Anura sembari menggoyang-goyangkan tubuh besar suaminya.
"Hn." Gumam Radika malas. Ia tampak tak beniat sama sekali untuk bangun.
"Bangun mas ih. Kenapa kamu susah banget dibangunin? Ayolah jangan jadi pemalas ulung! Aku capek kalau tiap hari harus bangunin kamu yang kaya kebo begini. Ayo mas bangun!" Omel Aruna.
"Iya sayang. Aku akan bangun sebentar lagi. Lima menit, bagaimana?" Ucap Radika masih dengan menutup kelopak matanya.
"Lima menit? Oke. Tapi kalau kamu tidak bangun dalam hitungan ketiga, jatahmu akan aku kurangi dua kali lipat!"
Mendengar perkataan itu, Radika langsung bangun dari acara tidurnya. Ancaman Anura benar-benar menakutkan. Ia menatap Anura tak suka. Istrinya itu suka sekali mengancam yang membuatnya kesal setengah mati.
Membuang nafas pelan, akhirnya Radika memutuskan untuk membersihkan tubuhnya. Sebelumnya ia sempat mengecup bibir tipis sang istri singkat. Hingga membuat sang empu meraung tak terima. Bau jigong katanya, belum sikat gigi.
***
Radika menikmati guyuran air yang mengalir pada tubuhnya. Air dingin ini membuat tubuhnya cukup rileks. Seakan-akan tak memiliki beban sedikitpun. Ucapan Anura masih terngiang-ngiang dalam otaknya. Entah kenapa, ancaman itu selalu mempan saat Anura membangunkannya. Padahal, ia sudah tahu bahwa sang istri hanya bercanda. Tak berniat melakukan itu sama sekali.
Radika jadi membayangkan. Bagaimana jika jatahnya harus dikurangi dua kali lipat? Mungkin miliknya akan berakhir drastis karena kekurangan vitamin cinta. Jika seperti itu ia tak bisa lagi membuat anak dengan gagah.
Anak ya? Raut wajah Radika berubah menjadi begitu sendu. Ia dan Aruna sudah berjuang semaksimal mungkin, namun Tuhan belum juga mempercayai mereka untuk merawat titipan-Nya. Banyak sekali yang telah ia dan Aruna lakukan. Akan tetapi, semuanya tak menghasilkan hasil. Padahal, mereka telah menghabiskan begitu banyak rupiah. Hanya karena ingin segera dikaruniai momongan. Sebenarnya, ia begitu iri pada teman-temannya yang selalu membanggakan anak-anak mereka. Keinginan Radika agar segera meiliki anak semakin menjadi. Mungkin ia harus berjuang sekali lagi. Ia tak akan menyerah bersama sang istri. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi, iyakan?