Radika tersenyum melihat istrinya yang begitu cekatan saat menyiapkan sarapan. Raut seriusnya begitu lucu. Ia tak tahan melihat ekspresi menggemaskan itu. Karena tak tahan ia segera mempercepat langkah kakinya menuju sang istri. Setelah itu, ia menciumi seluruh bagian wajah sang istri gemas.
"Kamu umur berapa sih? Kok menggemaskan sekali. Mas ragu kalau kamu istrinya mas, pasti kamu adeknya mas ya?" Ucap Radika dengan nada bercanda.
"Dih. Aku istri kamu lho mas. Hatiku sakit sekali ketika kamu tak menganggap aku istri." Jawab Aruna tak suka.
"Bercanda sayang. By the way, kamu masak apa hari ini? Sepertinya mas nggak denger kamu ribut-ribut di dapur."
"Aku nggak masak pagi ini mas. Stok makanan di dapur udah habis. Aku lupa belanja hehe. Jadi aku cuma buat roti panggang sama selai. Gak papa kan mas? Maaf ya. Aku benar-benar lupa kalau stok dapur kita sudah habis." Ucap Aruna merasa bersalah.
"Gak papa kok. Kan manusia tak pernah luput dari lupa dan kesalahan. Begitu pula kamu. Kamu pasti akan melakukan hal itu. Tak perlu merasa bersalah begitu, mas nggak papa kok kalau kamu lupa. Kalaupun kamu lupa seribu kali pun, mas bakal terus ngertiin kamu. Makan sama roti dan selai aja rasanya melebihi restoran bintang lima. Tak terkalahkan!"
"Mas bisa aja. Yaudah yuk kita sarapan. Nanti kamu telat kalau kita ngobrol terus."
Radika hanya mengangguk. Kemudian menyantap dua lembar roti dengan selai kacang di tengahnya. Ia adalah maniak kacang. Radika begitu menyukai segala makanan yang berhubungan kacang. Bahkan, ia bisa menghabiskan satu toples kacang goreng hanya dalam satu hari. Benar-benar maniak kacang sejati.
***
Sarapan berlangsung dengan begitu khidmat. Tak ada percakapan sama sekali. Mereka fokus dengan makanannya masing-masing. Hanya dentingan suara sendok dan piring yang saling beradu. Itu kebiasaan mereka, tak saling berbicara saat makan. Katanya, mereka harus menikmati makanan yang telah susah payah dibuat oleh Aruna.
Radika mulai meminum susunya setelah menghabiskan empat lembar roti dengan selai kacang itu. Ia mengelus perutnya pelan, pertanda bahwa ia sudah merasakan kenyang. Karena kekenyangan, Radika bersendawa. Hal itu membuat Aruna mendelik tak suka. Ia melemparkan sendok tepat ke tubuh Radika.
"Mas! Nggak usah bersendawa seperti itu, jorok!" Ucap Aruna kesal.
"Aduh jangan lempar-lempar sendok begitu dong. Nanti kalau bajunya kotor bagaimana? Mas sih nggak masalah kalau bajunya kotor, mas hanya tinggal ganti. Kamu yang nyuci. Mas bersendawa karena nggak sengaja sayang, itu karena mas kekenyangan. Kamu sih, masak enak terus. Mas jadi makan banyak terus."
"Lho, kok mas jadi salahin aku? Yang makan juga mas sendiri. Aku nggak nyuruh kamu buat makan banyak-banyak juga. Emang tabiat laki-laki si, suka sekali menyalahkan perempuan." Ucap Aruna kesal.
"Duh, kok kamu jadi ngambek begitu sih? Kalau kamu ngambek mas jadi malas sekali berangkat bekerja. Aku ingin memakan kamu pagi ini kalau kamu masih cemberut begitu."
Aruna menghela nafas pelan. Suaminya ini pandai sekali merayunya. Sebenarnya itu hanya alasan klise yang Radika ucapkan kepadanya. Dengan terpaksa Aruna menyunggingkan senyumannya.
"Aku nggak ngambek kok mas. Nih aku senyum. Udah sana berangkat, nanti kamu telat. Aku nggak mau tanggung jawab." Ucap Aruna.
"Iya sayang. Nah gitu dong, jangan ngambek. Kalau gitu kan mas jadi semangat buat bekerja."
Aruna hanya tersenyum menanggapi perkataan Radika. Mereka mulai beranjak dari tempat duduknya. Aruna melihat dasi sang suami yang terlihat kurang rapi. Kemudian ia menghampiri sang suami dan sedikit berjinjit guna merapikan dasi sang suami. Setelah dirasa rapi, Aruna menepuk d**a bidang sang suami pelan.
"Sudah rapi." Ucap Aruna lirih.
"Terimakasih."
Aruna hanya mengangguk. Kemudian meraih tangan besar sang suami, menuntun tubuh besar itu menuju depan rumahnya.
"Mas berangkat dulu ya. Kamu jaga rumah yang bener. Jangan sampai kemalingan." Ucap Radika sembari mengusak rambut sang istri.
"Ih, mas jangan diberantakin rambut aku. Iya, aku akan jaga rumah dengan baik. Kamu jangan khawatir. Ah iya, nanti aku akan pergi ke supermarket untuk berbelanja."
"Apakah uangnya masih ada?"
"Masih kok. Tenang aja, kamu nggak perlu cemas. Uang kita kan banyak hehe."
"Kamu bisa aja. Yaudah. Mas pergi dulu ya. Ingat semua pesan mas, oke? Sampai jumpa."
"Iya, sampai jumpa."
Aruna menatap kepergian sang suami dengan seksama. Mulai dari masuk mobil hingga mobil itu tak terlihat dari pandangan matanya. Ia menghela nafas, ia pasti akan merasa kesepian lagi. Setelah suaminya pergi, ia tinggal sendiri di rumah sebesar ini. Ia benar-benar merasa kesepian. Ia tak menggunakan jasa asisten rumah tangga sama sekali. Karena itu, ia benar-benar tinggal sendiri saat suaminya sudah pergi.
Seandainya Aruna bekerja mungkin rasa kesepiannya akan berkurang. Tapi, Radika melarangnya untuk bekerja. Walaupun Aruna sudah berusaha memohon berpuluh-puluh kali. Tetap saja Radika tak memberikannya izin. Radika terlalu takut jika ia kelelahan. Akhirnya ia hanya menghandel sebuah butik yang ia dirikan semenjak ia belum menikah dengan Radika. Ia menghandel semuanya dari rumah. Untuk masalah tempat, ia mempercayakannya pada managernya.
Aruna menghela nafas. Sekali lagi, ia berfikir. Mungkin jika ia sudah memiliki anak ia tak akan merasa kesepian seperti ini. Ia akan memfokuskan diri untuk mengurus anak-anaknya. Tidak seperti sekarang, hanya mondar mandir tidak jelas hika pekerjaan rumahnya telah selesai.
Aruna jadi ingat perkataan dokter kandungan yang menanganinya.
Flashback
"Dok bagaimana dengan kondisi saya? Mengapa saya susah sekali untuk hamil?" Tanya Aruna tak sabaran.
"Menurut hasil pemeriksaan. Anda menderita Endometriosis." Jawab Dokter.
"Endo-endoometriosis? Apa itu dok?"
"Endometriosis merupakan jaringan yang biasanya tumbuh di dalam rahim justru tumbuh di beberapa lokasi dalam tubuh lainnya.Pertumbuhan jaringan ini dapat menyebabkan luka yang menyumbat tuba falopi sehingga menghambat pertemuan sel s****a dan sel telur.
Endometriosis dapat menyebabkan beberapa kondisi kesehatan lainnya seperti radang panggul, mengubah fungsi sistem imun, mengubah kualitas sel telur, dan lain-lain." Terang dokter panjang lebar
Flashback off
Aruna tersenyum getir mengingat perkataan dokter itu. Dadanya begitu sesak. Rasa bersalah kepada sang suami semakin besar. Benar ini salahnya, jika ia tidak menderita kelainan itu. Mungkin, ia telah dikaruniai momongan. Tapi, Tuhan selalu memberikan penghalang kepada mereka berdua.
Aruna tahu, bahwa sang suami juga tak sabar ingin segera memiliki buah hati. Ia juga tahu, jika sang suami menyimpan sebuah kekecewaan kecil di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Walaupun Radika tak pernah menunjukkan hal itu kepadanya. Sang suami hanya memberikan kalimat-kalimat penenang kepadanya. Aruna tahu, saat mengucapkan kalimat-kalimat itu, hati Radika sama hancurnya dengan dirinya.