Suasana di ruangan Radika sangat mencekam. Seharusnya, mereka sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Namun, karena terjadi kesalahan yang bisa di katakan fatal, mereka belum di perbolehkan pulang sama sekali.
Radika menatap staff HRD yang masih menundukkan kepalanya. Mereka siap jika Radika akan marah besar terhadap mereka. Pasalnya, ini merupakan kesalahan mereka. Mereka terlalu terburu-buru dalam merekrut karyawan baru. Tentu saja, hal itu membuat Radika marah besar.
Radika semakin menajamkan matanya saat tidak ada seorang pun yang mau membuka suaranya. Ia menggeram pelan kemudian menggebrak mejanya dengan kesar. Ia berdiri kemudian melontarkan semua kekesalannya.
"Kenapa kalian ceroboh sekali? Saya sudah mengatakan sejak awal. Jangan merekrut karyawan sembarangan! Kalian lihat, karyawan baru yang kalian rekrut kerjanya benar-benar berantakan. Tidak ada yang benar sama sekali. Kalau seperti ini, siapa yang rugi? Saya! Apakah kalian tidak otak? Oke. Kalau hanya satu atau dua yang melakukan banyak kesalahan. Tapi ini puluhan! Aku tidak percaya ini. Sebelumnya, saya tidak pernah mengalami ini." Bentak Radika marah.
"Maaf, Pak. Tapi kami sudah berusaha menyeleksi mereka. Kami sudah melakukan sebaik mungkin. Proses penyeleksian sudah berlangsung sangat ketat, dan kami sudah memilih yang terbaik." Jawab salah satu staff HRD, Ditya.
"Melakukan yang terbaik? Terbaik gundulmu! Saya tahu bagaimana cara menyeleksi yang terbaik dengan tidak. Saya tahu semuanya calon peserta yang mendaftar di perusahaan ini. Tapi kenapa kalian malah memilih mereka-mereka yang biasa saja dan tidak memiliki kemampuan dalam bekerja? Sedangkan, calon karyawan yang benar-benar bisa bekerja malah kalian tendang begitu saja? Saya tahu, ada yang tidak beres di sini."
Jantung Ditya berdegup dengan sangat cepat. Ia tahu maksud dari Radika. Memang, ada kecurangan yang telah mereka lakukan saat menyeleksi karyawan. Mereka tidak tahu, jika Radika mengetahui semuanya.
"Ditya. Kamu ketuanya di sini. Ada yang bisa di jelaskan?" Ucap Radika menuntut penjelasan.
"Maaf, Pak. Saya yang bersalah. Saya kurang teliti dalam menyeleksi karyawan. Seharusnya, saya memantau anak buah saya lebih ketat." Jawab Ditya sembari mengeluarkan keringat dingin.
"Mereka bekerja sudah benar. Hanya kamu yang salah! Mereka sudah menyeleksi dengan baik. Tapi kenapa hasilnya berbeda dengan yang kamu laporkan kepada saya? Apakah kamu menyia-nyiakan kerja keras usaha anak buahmu? Mereka telah bekerja keras, sedangkan kamu tidak menghargai mereka sama sekali! Saya tahu, ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Ditya semakin menunduk. Ia ingin mati saja sekarang. Ia tidak bisa mendapatkan amukan Radika yang terlihat begitu menyeramkan. Jika seperti ini, lebih baik ia tidak menerima uang itu. Lebih baik ia tidak mendapat lembaran-lembaran uang itu daripada harus mendapat amukan dari Radika.
"Kenapa diam? Benarkan ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" Lanjut Radika geram.
Ditya menghela nafas pelan kemudian memberanikan dirinya untuk jujur.
"Benar, Pak. Saya menerima suap dari beberapa calon karyawan. Maafkan saya karena telah membantu kecurangan mereka. Seharusnya saya bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Saya akui, saya melakukan kesalahan besar. Bapak boleh melakukan apapun kepada saya. Sekali lagi, maafkan saya."
Radika memijit kepalanya pelan. Suap? Ia tidak menyangka jika salah satu karyawannya melakukan hal seburuk itu. Bukankah ia telah memberikan gaji yang cukup besar untuknya? Kenapa Ditya masih melakukan ini? Jika seperti ini, ia benar-benar tidak bisa memaafkan Ditya.
"Baik. Jika memang seperti itu kejadiannya. Saya kamu pecat sekarang juga. Kesalahanmu benar-benar tidak bisa dimaafkan. Saya akan menyiapkan upahmu untuk yang terakhir kali." Ucap Radika.
Ditya mendongakan kepalanya menatap Radika. Jantungnya seakan tersambar petir. Ia tidak percaya jika Radika memecatnya begitu cepat. Ia kira, Radika akan memaafkannya. Mengingat kinerjanya cukup baik sebelum ini.
"Maaf, Pak. Apa tidak ada kesempatan bagi saya? Saya janji, saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya tahu, bahwa saya melakukan kesalahan yang begitu besar. Tapi, apa Bapak tidak terburu-buru memecat saya? Apa tidak ada pertimbangan, Pak?" Ucap Ditya dengan nada gemetar.
"Saya tidak perduli. Silahkan kamu keluar dari ruangan saya. Ini uang sakumu." Jawab Radika sembari menyodorkan sebuah amplop berisi uang kepada Ditya.
Ditya menganggukkan kepalanya lesu. Kemudian mengambil amplop yang di berikan Radika. Setelah itu, ia melenggang begitu saja tanpa mengucapkan pamit sama sekali. Percuma saja, Radika tidak akan memberikan kesempatan untuknya. Radika benar-benar teguh pada pendiriannya. Ia tidak akan segan mengusir karyawannya walaupun hanya melakukan kesalahan kecil. Apalagi masalah besar.
Radika kemudian mendudukkan kembali ttubuhnya. Ia menatap para staff HRD yang masih tersisa.
"Rizki. Kamu gantikan posisi Ditya. Saya yakin kamu bisa melakukannya. Seleksi kembali para calon karyawan. Saya tidak mau jika kejadian kemarin terjadi lagi. Jika itu sampai terjadi, kamu akan bernasib sama seperti Ditya" Ucap Radika.
"Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik. Bapak bisa mempercayakannya kepada saya. Saya janji akan melakukan yang terbaik." Jawab Rizki dengan penuh keyakinan.
Radika mengangguk. Kemudian memperintahkan mereka semua untuk keluar dari ruangannya.
Radika menghela nafas pelan. Moodnya begitu hancur sekarang. Perasaan dongkol masih menyelimuti dirinya. Ia harus segera pulang untuk menjernihkan fikirannya. Oleh karena itu, Radika segera bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkahkan kaki dengan terus mengumpat di dalam hati untuk meluapkan segala kekesalannya.
***
Aruna menatap arlojinya sekilas. Sudah pukul sebelas malam. Tapi, Radika tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ia menatap pintu rumahnya gusar. Perasaan khawatir begitu menyelimutinya. Tidak biasanya Radika belum pulang selarut ini. Biasanya, Radika akan menyempatkan diri supaya pulang lebih awal dan membawa pekerjaannya yang belum selesai.
Aruna menatap makanannya yang sudah mulai mendingin. Ia sudah menyiapkan banyak sekali makanan untuk memperingati pernikahan mereka yang sudah berlangsung selama lima tahun. Ia sudah membayangkan bagaimana raut bahagia Radika saat mendapatkan kejutan darinya.
Aruna segera bangkit saat mendengar bunyi deritan pintu. Ia yakin bahwa itu suaminya. Dengan senyum lebar, ia segera menghampiri sang suami yang datang dengan wajah kuyu.
"Mas sudah pulang? Mau aku siapkan air hangat?" Tanya Aruna sembari melepaskan jas Radika dan meraih tas yang di tentengnya.
"Tidak usah. Aku bisa sendiri." Jawab Radika malas.
Aruna terdiam sejenak. Tidak biasanya sang suami berbicara sedingin ini. Ada apa dengan suaminya?
"Mas kenapa? Ah iya, aku sudah menyiapkan makan malam. Sembari menunggu Mas membersihkan diri, aku akan menghangatkannya. Bagaimana?" Tanya Aruna.
"Tidak usah. Saya tidak lapar."
"Aku sudah masak banyak lho, Mas. Masa tidak mau makan sama sekali? Setidaknya makan walaupun sedikit."
"Saya bilang tidak lapar! Apa kamu tidak bisa mendengarku. Saya lelah. Tolong, jangan banyak bicara!" Bentak Radika.
Aruna terkejut mendengar bentakan Radika. Ini baru pertama kali mengatakan hal sekasar itu. Aruna tidak tahu apa kesalahannya. Apa Radika sudah mulai bosan dengannya? Aruna menatap Radika dengan mata berkaca-kaca. Ia bisa menatap raut wajah Radika yang tampak menyiratkan kemarahan. Takut kembali di bentak oleh sang suami, Aruna meninggalkannya begitu saja tanpa berbicara apapun kemudian mengunci pintu kamarnya.
Radika terpaku sejenak saat melihat Aruna meninggalkannya begitu saja. Ia merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol emosi. Seharusnya, ia tidak membawa masalah perkerjaan dari kantornya. Jika sudah seperti ini, Radika tidak tahu apa yang harus di lakukan.