Fakta Mengejutkan

1012 Words
Radika dan Velina menikmati waktu makan mereka berdua. Suasana kantin masih tampak begitu ramai. Ini di luar ekspektasi Radika bahwa suasana kantin akan seramai ini. Ia kira para karyawan lebih suka mencari makanan di luar perusahaaan. Ia harus berterimakasih kepada petugas kantin karena telah mnyediakan makanan sebaik mungkin. Ia beruntung karena tak jadi mencari makanan di luar. Jika ia memilih mencari makanan di luar, mungkin ia tak akan tahu bagaimana suasana ramai di kantin perusahaannnya. "Aku tidak menyangka jika suasana kantin akan terlihat begitu ramai. Aku kira para karyawan akan lebih suka mencari makanan di luaran sana." ucap Radika heran. "Saya juga heran,Pak.Saya kira suasana kantin akan tampak sepi karena menu makanan kurang menggiurkan. Kantin perusahaan sebelumnya tempat saya bekerja tidak banyak yang berminat makan siang di kantin," kata Velina sembari terkekeh. "Ternyata benar apa yang di katakan oleh istri saya. Jika sesuatu harus di lakukan sebaik mungkin walaupun itu hanya hal kecil. Seperti sekarang, kantin telah menyediakan makanan sebaik mungkin sehingga para karyawan lebih suka mencari makanan di kantin lalu kita mendapatkan keuntungan walaupun sedikit. " "Benar, memang harus seperti itu. Itu merupakan salah satu ciri jiwa pebisnis, walaupun keuntungan kita hanya sedikit, kita harus tetap mengambilnya. Tunggu, istri? Bapak sudah beristri?" "Haha, sudah. Memangnya Devan tak memberitahumu? Padahal saya sudah mengatakan apapun tentang saya kepada anak itu." Velina terdiam sejenak mendengar perkataan Radika. Entah kenapa batinnya terasa sesak saat Radika mengatakkan hal itu. Padahal ia sedikit berharap, stidaknya jika ia tak mendapatkan Ferdi, ia bisa memiliki Radika. Seorang pria yang seseuai dengan keinginannya. Velina mendengus kecewa, seharusnya ia tak terlalu berharap akan kehadiran Radika. Velina harus bersyukur karena telah memiliki Ferdi. Ia terlihat sebagai wanita serakah yang mnenginginkan dua orang pria sekaligus untuk masuk ke dalam kehidupannya. Radika menatap Velina heran. Ia heran dengan tingkah Velina yang tiba-tiba saja diam. Ia takut jika wanita itu memiliki perasaan tersendiri kepadanya. "Kenapa diam? Apakah perkataan saya ada yang salah?" tanya Radika heran. "Tidak ada. Saya hanya terkejut mendengar pernyataan Bapak. Saya kira Anda masih sendiri, ternyata sudah memiliki istri. Saya melihat Bapak seperti pria yang masih lajang. Lagipula saya belum pernah melihat istri Bapak sekalipun. Mohon maklumi saya jika tidak tahu." "Tidak apa-apa. Saya sangat memakluminya. Saya yakin kamu akan terkejut jika melihat istri saya. Istri saya cantik sekali sampai-sampai saya tidak bia berpaling sedikitpun darinya." "Benarkah? Aku jadi tidak sabar ingin bertemu dengan istri Bapak. Saya tidak bisa membayangkannya bagaimana kecantikan istri Bapak sampai bapak tidak bisa berpaling sedikitpun dari Bapak." "Sayang sekali, istriku itu sangat sulit jika di suruh untuk atang ke kantor. Dia lebih suka berdiam diri di rumah atau menunggu kios bunganya." "Saya memiliki teman yang seperti itu. Dia sangat menyukai bunga, setiap hari hanya membicarkan tentang bunga. Sebagai informasi, kami telah berteman semenjak sekolah menengah pertama." "Benarkah? Kita bisa mempertemukan mereka suatu saat nanti. Mereka pasti akan ribut karena membicarakan kecintaannya pada bunga. Aku tak sabar kapan hari itu akan datang." "Jika ada waktu, saya mengajaknya untuk untuk datang menemui istri Bapak," ucap Velina dengan senyum pedih. "Saya harap temanmu memiliki waktu utu menemui istri saya. Ah, sepertinya kita terlalu banyak bicara sampai-sampai kita tidak sadar bahwa waktu istirahat kita hampir habis." "Benar. Maafkan saya karena terlalu banyak bicara." "Tidak apa-apa. Justru saya menyukai karyawan yang bericara apa apa adanya. Terimakasih karena telah enjadi temman mengorol yang baik hari iini." "Sama-sama." "Kalau begitu saya permisi." Velina hanya menganggukkan kepalanya pelan. Mempersilhkan Radika beranjak dari tempat duduknya. Velina menatap Radka yang mulai berjalan menjauh. Ia masih berharap, bahwa yang di ucapkan oleh Radika tidak benar. Tapi untuk apa Velina mengharapkan hal itu? Bukankah itu tidak berpebgaruh ke dalam kehidupanya sama sekali. Lagipula ia sudah memiliki Ferdi, pria yang memiliki hatinya walaupun dari jauh sana. Ia mengangkat tubuhnya dari tempat duduk yang di tempatinya. Ia harus segera kembali ke ruang erjanya mengingat waktu isrirahat sudah mulai habis. Velina melangkahkan kakinya lesu. Perkataan Radika terus terngiang-ngiang ke dalam kepalanya. Entah kenapa hati Velina terasa ngilu jika kembali mengingat perkataan Radika perihal istrinya. Velina bisa melihat bagaimana raut bahagia yang terpancarkan dari mata itu. Velina juga bisa menilai bagaimana besarnya cinta Radika kepada sang istri. Hal itu bisa di lihat dari perkataan Radika yang mengatakan bahwa istrinya begitu cantik. Semua harapan Velina pupus saat itu juga. Velina mendengus kasar. Baru saja tiga hari masuk ke dalam perusahaan, fikiranya telah terbebani dengan masalah percintaan. Yang bisa Velina lakukan hanyalah berhenti berharap akan diri Radika. Sebagai wanita, ia harus sadar diri akan posisinya. Ia tidak mau menyakiti persaan wanita lain dan di cap seagai wanita perebut suami orang. "Hei, kalau berjalan perhatikan dengan matamu! Jangan sambil melamun, jika kamu menabrak seseorang siapa yang akan bertanggung awab?" celetuk pria itu kesal. Velina hanya bisa merolingkan bola matany malas,ia tahu siapa yang mengatakan hal seperti itu kepadanya. "Kamu! Kamu yang akan bertanggung jawab atas semuanya." jawab Vekina kesal. "Kenapa jadi aku? Kamu yang berbuat salah, alu yang di salahkan. Tidak manusiawi sama sekali." "Memangnya siapa yang memprotesku terlebihh dahulu? Walaupun aku terlihat melamun, aku masih bisa memperhatikan jalan." "Memperhatikan jalan apa? Aku saja hampir kamu tabrak jika tidak mengatakannya.Kamu kenapa sih? Aku melihat ada yang berbeda dariru sejak tadi. Apa kamu ada masalah? Oh, apakah Pak Radika memarahimu? Aku melihat Pak Radika bersamamu saat di kantin." "Tidak. Beliau tidak memarahiku sama sekali." "Baguslah kalau bgiu. Aku hanya takut jika Pak Radika memarahimu. Kamu tahu sendiri bukan? Bagaimana seramnya Pak Radika sat mengamuk." "Iya tahu. Ah, aku ingin bertanya. Apakah benar jika Pak Radika sudah memiliki istri?" Devan membelakkan matanya tak percaya mendengar apa yang di katakan oleh Velina. Dengan segera ia mendekati Velina kemudian membisikkan sesuatu, "Hei, kenapa kamu menanyakan hal itu.Iya benar, beliau sudah memiliki istri. Asal kamu tahu, Pak Radika sangat mencintai istrinya. Kamu jangan coba-coba masuk ke dalam kehidupan mereka." Velina mendorong tubuh Devan tak suka. Apa-apaan perkataan Devan itu, ia tidak memiliki niat sama sekali untuk merebut Radika dari istrinya. Velina sudah sadar diri sebelum melakukan hal yang memalukan seperti itu. Velina sudah mngundurkan kakinya sebelum melangkah ke depan. Walaupun tak dapat di pungkiri bahwa hal itu begitu berat ia lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD