Pergi

966 Words
Yara menghela napasnya dengan panjang. “Kamu terlalu takut, Mas. Padahal kamu sendiri sudah memiliki wanita lain selain aku!” sarkasnya kemudian. Tristan hanya diam. Ia kemudian menghidu aroma wangi di ceruk leher Yara yang sudah sangat ia rindukan itu. “Aku merindukan aroma wangi tubuh kamu, Sayang. Bisakah kita melakukannya? Aku tahu kamu pun pasti merindukan permainanku.” Tristan tak ingin melepaskan Yara. Ia yang tengah merindukan perempuan itu lantas meraup bibir Yara dengan lembut dan penuh dengan nafsu. “Aku tahu kamu pun pasti sangat memperhatikanku, Sayang. Tidak perlu sungkan. Akui saja,” ucapnya yang kini kembali menciumi bibir perempuan itu. Yara kemudian melepaskan tautan itu seraya mengusap bibirnya dengan kasar. “Kamu tidak nyaman aku berteman dengan Reiner, sementara kamu tidak memikirkan perasaan aku atas status kamu yang memiliki dua istri. Dan jangan pernah bermimpi aku mau tidur denganmu lagi!” Sorot matanya begitu tajam menatap sang suami yang bisa-bisanya meminta haknya padahal hati Yara masih menyimpan perih. Baru saja ia hendak membuka suara lagi, tiba-tiba saja Lily datang keluar dari kamarnya. “Sudahlah, Yara. Kamu jangan seperti ratu yang semuanya ingin dituruti. Memangnya kamu bisa, menuruti keinginan Mas Tristan dan orang tuanya? Nggak, kan?” Yara menoleh kemudian menatap Tristan lagi. “Mas. Kamu bohong sama aku, huh? Kamu bohong, kalau dia udah nggak tinggal di sini lagi? Kurang ajar kamu, Mas! Aku mau kembali lagi ke sini karena kamu bilang dia sudah tidak tinggal di sini!” Yara geleng-geleng kemudian keluar lagi dari rumah itu. Tristan lantas mengejar Yara dan menarik tangan itu. “Lepas, Mas! Kamu sudah menyakiti tanganku di resto tadi. Kamu nggak lihat, luka karena kuku kamu di sini?” pekik Yara naik pitam. “Jangan pergi lagi aku mohon, Yara. Aku sudah membawanya perg—“ “Kalau memang sudah tidak tinggal di sini, kenapa dia masih ada di sini? Aku nggak akan pernah menginjakan kaki di sini lagi kalau ada dia!” ucapnya tegas. “Taksi!” Yara segera masuk ke dalam taksi tanpa peduli dengan Tristan yang berteriak memanggil namanya. “Ke mana, Bu?” tanya sopir itu. “Flamingo Resto, Pak.” “Baik, Bu.” Sopir itu kemudian membawa Yara ke restoran milik Marcel. Ia ingin menanyakan alamat rumah Reiner untuk mengambil tasnya. Tiba di sana. Yara melangkah dengan lebar lalu menghampiri Marcel yang tengah duduk di kursi bartender. “Eh! Yara.” Marcel kemudian mengulas senyumnya. “Marcel. Tas aku, dibawa Reiner atau dititip di sini, yaa?” tanyanya kemudian. “Dititip di sini, Yara. Tunggu sebentar, aku ambil dulu.” Yara tersenyum tipis. Merasa malu sendiri sebab sudah berasumsi bila tas miliknya akan dibawa oleh Reiner. “Reiner titip di sini karena ada panggilan dari rumah sakit. Ada operasi mendadak karena menggantikan Dokter Felix yang lagi tugas ke luar kota,” tutur Marcel sembari memberikan tas itu kepada Yara. “Oh. Aku pikir, memang sengaja dititip di sini.” Marcel kemudian mengulas senyumnya. “Nanti dia menghubungi kamu kalau operasinya selesai katanya. Tunggu saja.” Yara tersenyum lirih. “Terima kasih, Marcel.” Pria itu mengangguk. “Sama-sama. Yara, jangan sedih. Ada Reiner yang akan menghiburmu. Aku rasa Reiner welcome atas kehadiran kamu. Karena tidak ada satu pun wanita yang dikenalkan oleh kami, keluarganya dan semua yang ingin melihat Reiner memiliki pasangan lagi yang dia kenalkan pada Shabila.” Yara tersenyum lirih mendengarnya. “Kami berteman sejak SMA, Marcel. Mana mungkin sok nggak kenal padahal kami udah saling kenal. Ada-ada aja.” Marcel terkekeh pelan. “Tinggal di kamu saja, Yara. Ingin lanjut dengan suamimu, atau lepaskan dan berteman baik dengan Reiner. Teman hidupnya.” Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Yara memesan sebuah tiket pesawat, hendak pergi dari dunianya Tristan juga Reiner yang membuatnya semakin tidak karuan. Ia kemudian menghela napas kasar sembari menarik kopernya. Menonaktifkan ponselnya agar tidak ada yang tahu dia ada di mana. Ingin menenangkan diri sejenak sebelum kembali menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, baru saja ia hendak masuk ke dalam mobilnya, seseorang menarik tangannya. Yara lantas menoleh dengan perasaan terkejut. “Kamu mau ke mana, Yara?” tanyanya kemudian. “Reiner?” Yara kemudian menutup pintu mobil dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Reiner. “Aku … aku mau liburan dulu. Sebenarnya ada planning juga dulu waktu belum tahu dia menikah lagi.” “Mau ke mana?” Yara menatap Reiner. “Maldives.” “Jauh sekali,” ucapnya dengan pelan. Yara tersenyum tipis. “Iya. Aku ingin menghilang sejenak, Reiner. Udah capek banget hadapi hidup yang nggak pernah aku bayangkan akan seperti ini.” Reiner kemudian menelan saliva dengan pelan. “Kamu yakin, akan pergi?” Yara mengangguk. “Bagaimana operasinya semalam?” “Lancar. Kamu sudah minum obat?” “Sudah. Obatnya sudah aku bawa juga di tas. Pesawatnya udah mau berangkat. Aku pergi dulu, Reiner. Jangan beri tahu Tristan aku pergi ke sana. Aku pergi karena ingin menghilang dari dia.” Reiner mengangguk seraya tersenyum tipis. “Iya … Yara. Hati-hati. Kabari kalau sudah sampai.” Yara mengangguk kemudian masuk ke dalam mobil. Namun, ia kembali menoleh pada Reiner yang masih berdiri di depan mobilnya. “Kamu tahu dari mana, aku tinggal di sini?” tanyanya ingin tahu. “Dari Dhita. Kebetulan sekali dia sedang mengantar suaminya ke rumah sakit. Aku ingin tahu kabar kamu saja.” Yara manggut-manggut. “Jangan beri tahu Tristan, aku tinggal di sini. Tolong sampaikan ini juga ke Dhita dan Vita.” Reiner menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ada rasa tidak rela harus membiarkan Yara pergi jauh dan entah kapan akan kembali lagi ke sana. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Meninggalkan basement apartemennya. Reiner menghela napasnya setelah mobil Yara hilang dari pandangannya. Ia lalu masuk ke dalam mobil dan melajukannya pergi dari tempat itu. Sebab sudah tidak ada lagi Yara di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD