Jangan Berteman dengan Reiner

1105 Words
Tristan lantas menutup panggilan tersebut. Entah mengapa feeling dia langsung tertuju pada Reiner. Sebab selama satu minggu Yara dirawat, dia sangat memperhatikan gerak-gerik keduanya yang terlihat begitu akrab. Ia lantas mengambil kunci mobil dan segera pergi mencari keberadaan kedua orang itu. Tristan sangat yakin bila Yara tengah bersama dengan Reiner. “Kamu mau ke mana, Mas?” Lily datang ke sana lalu menghalangi Tristan pergi. “Ngapain kamu ke sini, Lily? Aku sudah bilang pada kamu, jangan pernah kembali lagi ke sini!” pekik Tristan begitu marah. “Mas! Aku ini istri kamu. Kenapa kamu membentak-bentak aku kayak gitu? Kalau aku tidak ke sini, kamu tidak akan pernah mau ke rumah itu. Aku mau tinggal di sini aja!” Lily tak mau tahu, ia akan tetap tinggal di sana apa pun yang terjadi. Tristan geleng-geleng kepala kemudian masuk ke dalam mobil. Melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh mencari keberadaan Yara. “MAS!!” pekik Lily dengan sekencang mungkin. “Arrgghh! Kenapa sih, harus Yara, Yara dan Yara yang dia pikirkan. Perempuan cacat itu sudah merusak semuanya!” pekiknya lagi. Ia lantas masuk ke dalam rumah. Tak peduli Tristan yang melarangnya berada di sana. Sebab sudah empat hari dia tinggal di rumah baru, Tristan sama sekali tak pernah datang menemuinya. Di resto …. “Enak kan, Tante?” tanya Shabila kepada Yara yang tengah mencicipi makanan di sana. Yara mengangguk. “Enak. Kamu hebat banget sih, nyari tempat restonya.” “Bukan aku, Tante. Tapi, Papa.” “Ooh.” Yara kemudian manggut-manggut seraya melirik Reiner yang tengah menyesap kopi miliknya. “Kamu nggak mau makan, Reiner?” tanya Yara kemudian. “Nggak. Aku nemenin kalian makan aja. Yang kenyang, yaa. Habis ini jangan lupa diminum obatnya. Luka di kepala kamu masih belum dibilang sembuh betul.” Yara mengulas senyumnya. “Baik, Dok.” Reiner memutar bola matanya seraya tersenyum mendengar ucapan Yara. “Harus banget ya, manggil dokter?” Yara terkekeh pelan. “Maunya apa dong? Mas Reiner? Emang kamu masku?” Reiner lantas menjitak kening Yara pelan. “Reiner aja cukup.” “Mas bojo dong,” sahut Marcel sembari membawakan spageti yang dipesan oleh Reiner. “Nggak usah bikin fitnah, Marcel. Istri orang.” Marcel menganga mendengar ucapan Reiner. “Hebat banget lo, gandeng istri orang.” “Lagi on the way cerai,” kata Yara lalu meringis pelan. Marcel menggaruk rambutnya kemudian menoleh ke arah pintu masuk. “Selamat datang di resto kami.” Yara menolehkan kepalanya kemudian menelan saliva dengan pelan kala melihat orang yang masuk ke dalam sana. “Jadi ini, yang kalian lakukan di belakang aku?” Yara menghela napas kasar kemudian beranjak dari duduknya. Menghampiri Tristan dan menatapnya dengan tatapan datar. “Keterlaluan kamu, Yara! Kamu bilang akan pulang. Tapi kenapa malah ke sini sama dia?” pekik Tristan naik pitam kala melihat dengan mata kepalanya sendiri bila Yara memang benar tengah bersama dengan Reiner. Yara menghela napas pelan. “Aku, keterlaluan? Kamu sendiri, harus disebut dengan apa kalau aku makan siang aja disebut keterlaluan? Sementara kamu, menikah lagi tanpa seizing aku. Lebih dari keterlaluan, kan?” Tristan lantas menyeret tangan Yara, membawa perempuan itu keluar dari resto tersebut dengan langkah lebarnya. Reiner kemudian mengejarnya. Menarik tangan Yara yang mengaduh sakit karena genggaman tangan yang erat. “Tidak baik memperlalukan wanita seperti itu, Tristan!” ucap Reiner sembari melepaskan tangannya dari tangan Yara. “Kamu tidak usah ikut campur, Reiner! Hubungan kalian hanya sampai di rumah sakit saja. Kamu hanya dokter yang merawat dia! Di luar itu, kalian tidak perlu bertemu apalagi sampai makan siang bersama!” pekik Tristan begitu marah. Reiner tersenyum tipis mendengar ucapan Tristan. “Pulang! Kamu, yang akan dinilai buruk oleh orang-orang kalau jalan dengan dia! Kamu tahu kan, dia seorang duda? Apa kata orang-orang kalau tahu kamu jalan dengan dia sementara kamu sudah bersuami?” “Kalau begitu ceraikan aku!” pekik Yara kemudian. “Bebaskan aku memilih jalan dengan siapa, hidup dengan siapa.” “TIDAK! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Jangan pernah menemui Reiner lagi!” ucapnya kembali menarik tangan Yara dan membawanya masuk ke dalam mobil. Yara yang berlinang air mata itu kemudian menoleh ke belakang. Menatap Reiner yang bahkan ia tak punya kuasa untuk mengambil Yara dari genggaman Tristan. Sebab lelaki itu masih sah menjadi suaminya. Ia hanya mengusap wajahnya kemudian kembali masuk ke dalam. ‘Semoga kamu baik-baik saja, Yara,’ ucapnya dalam hati. Tiba di rumah …. Yara langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci kamar itu. “Yara, buka pintunya!” pekik Tristan sembari menggedor pintu kamar istrinya itu. “Yara!” teriaknya lagi. Yara tidak ingin mendengarkan apa pun. Menutup telinganya dengan kedua tangannya. “Apa salahku? Kenapa aku harus aku mengalami nasib seperti ini? Apa yang harus aku lakukan?” ucapnya lirih. Kepalanya terasa pening. Ia kemudian mencari tasnya. Lalu menghela napas dengan pelan karena tas miliknya tertinggal di resto. “Reiner pasti akan membawanya pulang,” ucapnya pelan. Ia memilih untuk merebahkan tubuhnya dan beristirahat. Menutup telinganya dengan kapas sebab tidak ingin mendengar Tristan yang terus menerus menggedor pintu kamarnya. ** Waktu telah menunjuk angka delapan malam. Yara membuka matanya kemudian menguceknya. Betapa ia terkejut kala melihat Tristan yang tengah duduk di sampingnya. “Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam kamarku?” tanya Yara datar. “Aku minta maaf. Jangan lakukan hal itu lagi, Yara. Kamu istri aku. Tidak baik jalan sama lelaki lain.” Yara tersenyum miring mendengar ucapan dari suaminya itu. “Aku ingin cerai, kamunya menolak. Lagi pula, aku hanya ingin makan siang saja dengan anaknya Reiner.” “Yara. Aku tahu kita pernah berteman dengan Reiner dulu. Tapi, posisi dia sekarang seperti apa? Dia duda, istrinya sudah meninggal dunia dan dia tidak memiliki pacar lagi atau calo n istri.” “So? Kamu takut? Mas. Reiner nggak berniat untuk menikah lagi. Salah, kalau aku berteman dengan orang yang udah kita kenal dari dulu? Yang ada di hatinya dia, hanya istrinya. Kami baru ketemu lagi seminggu yang lalu. Dan kamu … menganggap hubungan kami lebih dari kata teman?” Yara tersenyum campah kemudian geleng-geleng kepala. “Kamu yang lebih keterlaluan karena ….” Tristan kemudian memeluk tubuh perempuan itu. Menenggelamkan wajahnya di pundak sang istri kemudian menghela napas dengan pelan. “Aku tidak melarangmu berteman dengan siapa pun, Yara. Tapi, kalau harus dengan Reiner, rasanya kurang nyaman aku lihatnya.” Tristan mengusapi sisian wajah Yara. “Reiner terlalu berbahaya untuk hubungan rumah tangga kita, Sayang. Aku dapat melihat gerak-geriknya jika dia menyukaimu. Aku hanya tidak ingin kamu terpengaruh olehnya. Aku mohon, cukup berteman dengan Vita dan Dhita saja. Tidak perlu menambah teman baru lagi apalagi dengan Reiner.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD