Aku Ingin Memelukmu

1320 Words
Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas. "Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu. "Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini." Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku. Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya. "Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah. "Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu." " Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?" Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya. " Menginap? Di sini? Di kamar ini?" Afwan mengangguk ragu. "Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati. "Betul ini masih kamarku, tapi sebentar lagi ini akan menjadi kamar Mirna." "Akan menjadi kamarmu, selamanya." Afwan mendekat. Ragu meraih tangan Aini yang tiba-tiba terasa membeku dan dingin. Tatapannya hangat dan menghanyutkan. Ah, Aini kenapa aku baru menyadari kalau kau tercipta begitu indah dan sempurna? Afwan merapikan debaran dadanya, ada hasrat yang menggelora untuk menyentuh lembut pipi Aini. Afwan meremas lembut jemari Aini dengan tegang, setelah dusta dan kepalsuannya terbongkar, dia tak cukup punya nyali untuk memeluk Aini. Membuatnya hanya mampu menatap paras lembut Aini. Aini melengos. Jangan rindu. Apapun kemanisan yang dia temui pada laki-laki itu adalah fatamorgana. Dusta. "Aini, pulanglah. Kembalilah." Ragu Afwan kembali meminta. "Mas, adakah alasan aku untuk kembali ke rumah ini? Tak ada yang bisa kuperjuangkan di sini." Deg. "Aku ingin memulai hidup baruku di rumah Papa." Aini melanjutkan kalimatnya pelan. Afwan termangu. "Aini, apapun yang ada di sini masih milikmu." Afwan kembali mendekat Mencoba meraih jemari Aini lebih dekat kedalam pelukanmya, meremas dan menciuminya. Aini terhenyak kaget luar biasa. Spontan menariknya, tapi cengkraman Afwan sangat erat. "Ada apa, Mas? Maaf, lepaskan jemariku." Paras Aini memerah. "Aku juga masih suamimu." Aini terdiam. "Aku juga masih punya kewajiban memberimu...nafkah batin." Aini terbelalak. Wajahnya memerah. Sekian lama dia pergi dari hidup Afwan, dia merasa malu mendengar kalimat itu. Langit merah di luar sana menyiratkan sinar merah ke arah kamar, senja baru saja turun. Membuat rona wajah Aini makin cantik terpantul sinar kemerahan dari mentari yang menerobos jendela. " Aini...aku ingin menunaikan kewajibanku padamu, aku ingin menyentuhmu." Kalimat Afwan meluncur begitu saja membuat Aini makin kaget. Parasnya merona. "Aini, aku menyesal telah membuatmu pergi. Aku...aku minta maaf." Aini terhenyak. Seketika mundur dua langkah ke belakang. Membuat tubuhnya lebih menempel ke dinding. "Aku masih, suamimu Sayang." Sayang? Sejak kapan Afwan bisa memanggilnya dengan kata Sayang? Aini gemetar. "Aku masih berhak atas setiap inci tubuhmu." Meski malu Afwan berhasil menyelesaikan kalimatnya. Aini tengadah, bola matanya tampak mengerjai memperhatikan gerakan bibir Afwan. Bibirnya bergetar dengan wajah yang membeku. "Apa maksudmu, Mas?" tanya Aini dingin. "Setelah lantang kau berteriak muak dengan tubuhku, kini kau dengan mudahnya meminta hakmu? Mas aku tidak menolak hakmu atas tubuhku, tapi aku bukan p*****r, Mas." Aini menahan tangis. "Aku bukan perempuan jalanan yang bebas kau buang dan kau pungut sesuka hati." Aini menyeka air matanya. " Seandainya kehadiranku tak berarti selama ini, setidaknya aku masih punya hati. Aku ikhlas menerima kenyataan bahwa aku tak berharga di hatimu, tapi tolong jangan permainkan hati dan cintaku," tutur Aini makin lirih. Afwan terpaku. Tak kuasa mempertahankan genggaman tangannya di jemari Aini. "Aku rela menerima takdirku. Aku pun bahagia, seandainya kau bahagia bersama perempuan selainku, jadi tolong Mas, seandainya pernikahan ini hanya menghitung hari untuk berakhir, jangan pernah kau menuai bunga harapan di hatiku." "Tunggu, Aini.Tunggu." Afwan tersentak. Aini bangkit tiba-tiba. Membiarkan sebagian bajunya terburai begitu saja di atas peraduan. Afwan mengejar tubuh Aini yang hendak berlari dan menariknya dengan keras. "Uf." Aini kehilangan keseimbangan tubuhnya. Perempuan dengan wajah lembut dan mata bening itu oleng dan terjatuh di d**a bidang Afwan yang langsung mendekapnya. " Mas, lepaskan." Aini memberontak. "Begini caramu menghargai ku?" Wajah Aini merah menahan perasaan hatinya yang terluka. "Satu tanganmu memeluk seorang Mirna dan satu tanganmu lagi menggapai perempuan yang telah kau campakkan." Afwan kaku. Aini merapikan hijabnya yang berantakan. " Maaf Mas. Selamat tinggal." Tergesa Aini merapikan baju yang berserakan di atas kasur dan memasukannya ke dalam tas. Tanpa sedikitpun kembali menoleh ke arah Afwan yang terus meminta maaf, Aini gegas berlalu keluar kamar dan berlari menuju mobilnya. "Aini, tunggu." Afwan kembali mengejar tapi langkah lebar Aini menuju mobilnya membuat Afwan hanya mampu mengejar sampai di halaman. Tergesa Aini menutup pintu mobilnya, tanpa sepatah katapun perempuan yang diam-diam mulai mencuri hati Afwan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Suara gesekan ban mobil Aini dengan aspal yang dilaluinya terdengar nyaring, membuat Afwan terperanjat. Dia kaget melihat cara Aini melajukan mobilnya. Sejujurnya Afwan jadi gelisah, apalagi jalan menuju rumah Aini berkelok apalagi saat senja seperti sekarang, banyak rombongan mobil pariwisata berukuran besar yang tengah pulang. Afwan mengucek kasar rambutnya, dia berpikir keras. Afwan tersentak, bayangan Aini yang mengemudikan mobilnya dengan sedikit ngebut membuat dia seketika meraih kunci mobilnya dan memutuskan mengejar mobil Aini. Masih memakai pakaian kerja, Afwan langsung tancap gas. Sebisa mungkin dia harus bisa mengekor mobil Aini. Tapi apa bisa kekejar? Semoga saja Aini terjebak macet, mengingat rumah Afwan yang terletak di Bandung timur memaksa Aini harus banyak melintasi rute macet. Belum kalau melintasi daerah Universitas dan jalur ramai sepanjang terminal. Kalau Aini memilih rute lain? Bagaimana kalau Aini memilih jalur Soekarno Hatta dengan membawa mobil seperti itu? Ya Allah...Afwan benar-benar tegang. Berkali-kali Afwan menghubungi ponsel Aini dengan hasil yang sama. Hanya mode memanggil. Apakah Aini sengaja mematikan ponselnya? Afwan menaikan kecepatan mobilnya, seandainya dia tak bisa mengejar Aini dia bisa memastikan kalau mobil Aini sudah sampai di rumahnya. Jalanan mulai sedikit padat, Afwan menghembuskan nafas. Mobil melintasi jalan Suka jadi yang cukup ramai, Afwan terus menancap gas. Beberapa orang Mahasiswa Perhotelan di seputaran kampus NHI Bandung, yang hendak menyebrang nampak kaget saat mendapati mobil Afwan yang hampir saja menyerempet. "Wow, maaf Bro." Afwan sedikit kaget. Dia tidak menyangka setelah tadi hatinya sempat berbunga-bunga, kini dia harus sport jantung karena mengejar mobil Aini. Jalan Lembang yang berkelok tapi rindang membuat Afwan menurunkan kecepatan mengemudinya. Sepanjang jalan Afwan hanya menghembuskan napas, deretan pedagang Bungan dan wahana Wisata Edukasi buat anak-anak mengingatkannya pada Aini. Maaf Aini, karena keegoisanku kau belum juga mengandung, sehingga mimpi manismu untuk membawa buah hati ke tempat-tempat seperti ini belum pernah terwujud. Mimpi Aini begitu sederhana, sayang meski sederhana menjadi tak sederhana karena rahim perempuan itu tidak pernah mendapat cinta. Anak yang diidamkan perempuan itu hanya penuh dalam hayalan. Maafkan Mas, Aini. Maafkan... Afwan menyeka air mata yang tiba-tiba mengembun. Mobil mulai memasuki jalan yang lebih sepi. Afwan melambatkan lajunya dan berhenti tak jauh dari rumah besar berjalanan luas yang tampak begitu sepi, rumah Aini. mata Afwan awas memperhatikan seputar halaman rumah Aini, mencari mobil Aini yang terparkir. Tidak ada. Halaman itu sepi, hanya ada mobil abu metalik yang tak dikenal Afwan terparkir di halaman rumah Aini. Aini kemana? Harusnya dia dia sudah sampai ? Afwan mulai gelisah. Resah dia tak beranjak di balik kemudi mobilnya, siapa tahu mobil Aini datang belakangan. Sepi. Senja mulai pergi, langit mulai menjelaga.Lampu di rumah Aini mulai menyala menerangi pilar teras rumahnya yang tinggi. Afwan semakin resah, kembali menghubungi nomor Aini. "Hallo?" Kali ini tersambung. Jawaban suara bariton di gawai Aini membuat alis Afwan berkerut. "Maaf, saya mau bicara sama Aini." Jawab Afwan kaku. "Aini, belum kembali sejak siang tadi. Dia juga lupa membawa poselnya." "Maaf, anda siapa?" "Saya Fadhil. Dokter yang merawat Papanya Aini." Tut. Meski ada rasa tak nyaman mendapati seorang laki-laki di rumah Aini Afwan tak sempat memikirkannya. Dadanya dipenuhi rasa khawatir, karena Afwan tahu Aini bukan tipe perempuan yang suka keluyuran.Bahkan dua tahun menikahinya, tak sekalipun Aini pergi tanpa alasan. Suasana sekitar rumah Aini begitu sepi. Afwan kembali mengurut pelipisnya dan menunggu di balik kemudi. Satu jam. Dua jam. Afwan makin gelisah, Aini tidak juga kembali. Ya, Allah, di mana Ainiku? hati Afwan makin cemas. Tak terasa ada butir hangat yang meluncur begitu saja dari sudut matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD