"Dari mana Mas?" tanya Mirna penuh curiga. Tatapannya jatuh di wajah lelah Afwan yang baru tiba setelah seharian bekerja dan pulang menembus jalanan macet.
"Menemui, Aini 'kan?" Kembali meneror dengan prasangka yang sama. Bukannya menghidangkan teh buat suaminya, Mirna malah sibuk mengoceh dengan kecurigaan yang berlebihan. Wajah menornya tampak sedikit kemerahan menahan cemburu.
"Aku ada meeting, Mir. Ada banyak yang harus kubahas dengan staf baruku." Afwan menjelaskan apa adanya. Awal bulan ini dia menerima manager baru, banyak yang harus mereka bicarakan.
"Aku tidak percaya." Mirna membantah.
"Aku tahu kau diam-diam mengunjungi Aini di rumah Papanya. Tega sekali kamu, Mas." Mirna mulai terisak.
"Padahal usia kandunganku sebentar lagi memasuki trimester akhir. Kau malah asyik-asyik dengan perempuan jelek itu." Mirna menyeka air matanya, dengan gusar menghentakkan tubuhnya di kursi.
"Astaghfirullah Mirna, kamu tidak percaya suamimu?"
Afwan menghembuskan napasnya, mencoba sabar. Akhir-akhir ini sifat Mirna demikian menjengkelkan.
"Sudahlah, Sayang, hilangkan prasangka burukmu. Lagipula kalaupun aku menemui Aini, dia masih istriku." Afwan masih mencoba sabar.
"Apa katamu, Mas? Kenapa kau tak langsung mentalaknya di hari dia pergi dari rumah Ibu? Kau sengaja kan mengulur talakmu? Kau mau mempermainkan ku?"
Mirna mendengus sinis.
"Kau sengaja menunda-nunda talakmu, agar kau bisa tetap mengunjunginya dan membagi cinta denganku. Kau memang buaya," Isak Mirna makin menjadi.
"Cukup, Mirna."
Afwan kesal.
"Dalam sebulan ini aku hanya dua kali mengunjungi Aini di rumah Papanya, padahal dia masih istriku. Dia tidak marah, dia mengerti dan memahami jika aku lebih banyak bersamamu."
"Kamu malah membelanya?"
Afwan melengos. Entah mengapa makin hari sikap Mirna semakin menyebalkan, egois dan keras kepala.
Rasa cinta yang dulu pernah menggebu kini rasanya sedikit demi sedikit mulai memudar seiring karakter istri barunya yang angkuh dan posesif. Rasa sayangnya perlahan pergi seiring keegoisan seorang Mirna.
"Harusnya perempuan jelek itu kamu tendang gak pakai lama. Biar rumah tangga kita tenang dan tak ada pertengkaran."
"Mirna. Tutup mulutmu," bentak Afwan diluar dugaan Perempuan yang tengah menatapnya dengan wajah penuh kemarahan dan curiga.
"Aku tidak menduga, hatimu dipenuhi prasangka dan kesombongan. Dengar Mirna aku mengunjungi Aini karena alasan yang jelas. Pertama dia masih istriku, kedua Papa mertuaku sakit. Bagaimana mungkin aku mentalak Aini di saat Papanya dalam keadaan seperti itu." Afwan menjelaskan panjang lebar.
"Aku tak perduli. Aku tidak mau tahu, apapun alasannya, ceraikan Aini.Talak dia." Suara Mirna ketus dan jumawa.
Afwan terpaku. Dia tak menyangka hati Mirna sekerdil itu.
"Kamu jahat, Mirna. Bahkan saat perempuan yang merelakan diriku untukmu, dan merelakan hatinya tenggelam dalam nestapa, tak setitik pun nuranimu yang tersisa untuknya."
Mirna mendengus. Kesal dia bangkit dan melintasi Afwan yang duduk di sebelahnya. Dia beranjak gusar menuju kamar.
" Mirna." Arfan mengikuti.
"Mas, kamu pilih atau aku?"
"Mirna?" Afwan mengejar istrinya.
"Kamu jangan paksa aku memilih. Ini bukan saat yang tepat, Mir."
"Alasan."
Mirna menggerung dengan kasar dia menghempaskan tubuhnya di atas kasur membuat Afwan kaget setengah mati.
"Hati-hati, Mir dengan kandunganmu." Afwan mengingatkan dengan kaget.
"Aku tidak perduli. Lebih baik anak ini tidak terlahir kedunia dari pada melihat ayahnya yang plin plan dan tidak punya prinsip." Suara sesenggukan Mirna makin keras.
Afwan mengusap wajahnya kasar. Rasa lelah di sekujur tubuh dan lapar bercampur menjadi satu dengan perasaan jengkel dan bingung menghadapi sikap Mirna yang selalu uring-uringan setiap hari.
Jangankan pelukan dan senyum hangat menemaninya di meja makan seperti yang selalu dia dapatkan dari Aini, hanya secangkir teh pun perempuan ini enggan menghidangkannya. Hari-harinya dipenuhi curiga dan cemburu.
"Mirna...tolong, jaga ucapan dan prilakumu. Di perutmu ada bayi yang tidak berdosa," bujuk Afwan berlutut di sisi Mirna. Mencoba meraih jemari perempuan yang menjadi cinta pertamanya dan telah berhasil membutakan mata hatinya selama ini.
Demi Mirna Afwan rela kehilangan segala ketulusan dan kemanisan cinta seorang Aini. Demi perempuan ini pula Afwan rela sekian lama tak menyentuh Aini, perempuan lembut dengan hati seluas laut yang biru. Bodohnya aku, Afwan merutuki hatinya.
"Mirna, beri aku waktu...aku tidak bisa menceraikan Aini dalam kondisi Papanya masih sakit keras. Tolong, Mirna. Buang prasangka mu, demi bayi kita."
Afwan meraih tubuh Mirna, berusaha memeluknya dan memberinya keyakinan.
" Berjanjilah padaku,Mas. Kau akan segera meninggalkan Aini, demi anak kita."
"Maafkan, aku Mirna. Aku belum bisa."
Mirna kembali menggerung.
"Perempuan Jahan*m itu selalu mengganggu cinta kita. Dulu dia merebutmu dariku saat kau tak kuasa menolak menikahinya karena balas budi, sekarang kau menolak menceraikannya karena alasan Papanya sakit. Dia memang penuh muslihat."
"Cukup Mirna. Dia jauh lebih baik darimu, sayangnya aku baru menyadarinya setelah dia berlalu dari hidupku."
Suara Afwan penuh luka. Bayangan wajah Aini yang lembut dan tulus menari menoreh sejuta kenangan manis yang sulit dilupakan.
Mirna makin menggerung dan melemparkan apapun di dekatnya, membuat Afwan kewalahan menenangkannya.
❤️❤️❤️
Senja baru saja turun. Sinar peraknya menyapu pelataran rumah yang begitu sepi. Sebulan sepuluh hari Aini pergi dari hidupnya membawa berjuta luka yang dia torehkan dalam hatinya.
Hari ini Afwan pulang cepat. Entah mengapa perasaannya bertalu- talu dan berbunga. Tadi pagi Aini mengirim pesan akan ke rumah ini untuk satu keperluan. Tak dihiraukannya chat Mirna yang memberinya puluhan pesan agar segera pulang ke rumah yang ditempatinya dan cukup jauh dari rumah Afwan dan Aini.
Dada Afwan melayang sewaktu menangkap mobil Aini yang diparkir di halama rumah. Ada Aini di dalam rumah. Aduh, kenapa dadanya berdegup makin kencang?
Tangan kukuh Afwan bergetar saat membuka pintu rumah yang tidak dikunci. Entah mengapa dia begitu rindu pulang ke rumah ini dan mendapati Aini berada di dalamnya.
Biasanya Aini akan langsung menyambutnya dengan pelukan hangat, membawakan tas kerjanya, membuka dasi dan sepatunya. Menemaninya di meja makan dengan menu yang dia persiapkan sebelum dia pulang. Afwan menghela napas, mengapa hal-hal manis seperti itu begitu indah kini?
Mengapa Afwan rindu segala kehangatan dan kelembutan hati Aini di saat hati Aini telah membeku?
Afwan mengedarkan pandangan. Sepi, dia tidak mendapati Aini di ruang tamu dan ruang keluarga. Afwan bergegas menuju kamar, dia terpaku. Pintu tampak sedikit terbuka tapi ada perasaan ragu untuk membukanya, lebih tepatnya grogi.
"Aini, Aini.." Afwan memanggil lirih.
"Boleh, Mas masuk?"
"Masuklah, Mas." Suara lembut Aini sukses membuat d**a Afwan menggelepar.
Tuhan, aku rindu suara itu.
Dada Afwan berdesir. Sekian lama tak menemukan Aini di kamar ini, kini dia menemukannya. Rasanya kok amazing banget.
Sepasang mata bening Aini kini menatapnya.
"Maaf, Mas. Aku akan membawa semua pakaianku. Sepertinya aku tidak akan kembali ke rumah ini."
"A-apa maksudmu, Aini?" Afwan tercekat.
" Harapan Papa untuk sembuh sepertinya sangat tipis. Tapi..."
"Tapi apa, Aini?"
Aini terdiam, terlihat arakan Mega di matanya kian menebal.
"Mas jangan khawatir, jika Papa tiada, kau bebas menceraikanku. Kau bebas menikmati kebahagiaanmu bersama keluarga barumu," kata Aini pelan.
"Aini, jangan bicara begitu."
Afwan mendekat, berusaha meraih tangan lembut Aini.
"Papa akan sembuh, Papa akan kembali sehat." Suara Afwan dalam.
"Iya Mas, harapanku seperti itu. Hanya dia yang kumiliki saat ini," kata Aini terdengar sedih.
"Aku pun akan berjuang agar Papa cepat sembuh dan berjanji, jika dia telah sehat, tak akan ada lagi sandiwara cinta dalam hidupmu." Suara Aini dingin.
"Sandiwara mu selesai, Mas. Kau merdeka."
Kress, kenapa rasanya ada yang patah di hati Afwan?
"Apa maksudmu Aini?"
"Selesaikan urusan yang belum selesai antara kita. Aku ikhlas kalau di usia mudaku, aku harus menjanda. Aku hanya ingin melihatmu bahagia."
Duh, Tuhan.
Aini...bagaimana mungkin aku bahagia, jika semakin hari namamu makin bertahta di jiwaku?