Chapter 7

1230 Words
"Kamu bisa paksa Alfan minum obat lagi? Anak besar itu semakin keras kepala saja. Oh Tuhan ...." Nyonya Erisha memijit pelipisnya sebentar. Kemudian, pandangannya terhunus tajam padaku. Penuh selidik. "Kamu kenapa tidak ada di kamar Chayra?" Suasana mendadak tegang. "Jangan bilang ... kamu dari kamar Althaf." Lidahku kelu. Alasan belum aku persiapkan untuk menghadapi masalah ini. "Saya ...." Kepalaku memunduk mencari sisa-sisa ide yang sekiranya bisa digunakan. "Dia antar kopi, Ma." Suara Tuan Althaf muncul dari belakang tubuhku, melancarkan lagi napas yang sempat tertahan di d**a. "Sekalian, dia cerita semua tentang Chayra hari ini. Saya jarang bisa dekat lama dengan Chayra, jadi saya dapat semua informasinya dari Via. Bukannya memang begitu tugas pengasuh?" "Betul." Nyonya Erisha mengiyakan tegas. "Saya akan tambah gaji kamu, Via, kalau mau jadi pengasuh Alfan." Aku melongo, lalu menoleh pada Tuan Althaf yang sudah berdiri di sampingku. Meminta persetujuannya. "Ma, Alfan sudah 25 tahun. Dia tidak butuh pengasuh, dia butuh istri." Tuan Althaf menolak. "Mama belum menemukan perempuan yang selevel Selvy lagi. Sekarang, dia butuh pengasuh, dan Via sangat cocok untuk itu." "Ma ...." "Mama yang tahu kebaikan untuk keluarga ini, kamu tidak perlu ikut campur!" Nyonya Erisha menyela cepat ketika Tuan Althaf mencoba membela. "Via, ikut saya!" Sambil menatap lantai, aku mengekor di belakang Nyonya Erisha yang menuntun ke kamar Tuan Alfan. Mencapai belokan, aku berbalik sebentar, melihat ekspresi tidak rela dari Tuan Althaf. Menunduk, lagi. "Bubur Alfan sudah di dalam. Kamu tinggal bujuk dia makan, minum obat, dan pastikan dia tidur setelah itu. Setelah selesai, kamu bisa istirahat. Entah apa istimewanya kamu sampai dia hanya mau kamu yang mengurusnya," ucap Nyonya Erisha. "Baik, Nyonya." Setelah Nyonya Erisha pergi, pintu kamar aku ketuk dua kali. Lalu masuk sembari meminta izin. Tidak ada jawaban, hanya ada suara gumaman bernada bersama petikan gitar. Semuanya berhenti saat Tuan Alfan menyadari kedatanganku. Gitarnya di pindahkan ke bagian ranjang yang kosong. Dia tersenyum tipis padaku, yang malah memberi kesan aneh. Mengingat bagaimana pertemuan terakhir kali kami, dia seharusnya tetap sinis padaku kan? "Tuan, Anda harus makan bubur." Mangkok di atas meja aku raih, hendak kuberikan padanya, tetapi Tuan Alfan menyodorkannya kembali. "Aku sakit sudah seminggu lebih, dan selalu disodorkan bubur." Wow, suaranya bahkan sangat lembut dibandingkan sebelumnya. "Aku bosan bubur terus." "Tapi, Nyonya Erisha yang minta. Anda belum bisa makan sembarangan." "Aku mau makan, tapi dengan suasana berbeda. Kamu tau? Aku bosan makan sendiri." Makan dengan suasana berbeda. "Anda mau makan bubur dengan posisi terbalik, Tuan?" tanyaku, gemas dengan manusia ini. Dia tertawa. "Nggak. Bukan gitu. Maybe, kamu bisa suapin aku begitu?" "Tuan, Anda sudah 25 tahun. Chayra saja bisa makan sendiri." Ingin rasanya aku menunjukkan kesal, tapi sadar, dia adalah majikanku. "Aku malas makan sendiri." Dia mengambil bantal, dan menaruhnya di atas pangkuan. Yang benar saja .... Tapi, ini hanya suap saja kan? Terpenting sekarang, tugasku segera selesai. Lagipula, dalam pandanganku, dia memang anak kecil. Perlakukan saja dia begitu. "Baik." Aku mengiyakan dengan nada lesu. Tuan Alfan tersenyum lebar, bergeser sedikit untuk memberikan ruang untukku duduk. Dia begitu semangat menerima suapan pertama. Bahkan tersenyum bahagia. Sembari melayani pria ini, dering ponselnya terus berbunyi. "Anda tidak mau mengangkatnya, Tuan?" tanyaku, menjeda sebentar kegiatan menyuapi Tuan Alfan. "Males." Aku pun tidak ingin terlalu memikirkan tentang si pengirim pesan. Terus menyuapi Tuan Alfan sampai mangkok bersih. "Tuan Alfan minum obat ya." Aku meletakkan mangkok di atas meja. Laci dibuka, tempat obat-obatannya. Fokusku teralih pada lembaran kertas di laci. Setelah memberikan obatnya, aku mengeluarkan lembaran kertas tersebut. Matahariku datang Dari kejauhan Memberikan kehangatan dalam senyuman Mendekat untuk memberikan sejuta cinta Dia bergulir menjauh Menuju barat untuk bersembunyi ... "Gimana menurut kamu?" Aku melongo sebentar saat diajukan pertanyaan seperti itu. "Ah, maaf, Tuan." Kertas yang belum selesai terbaca, aku letakkan kembali ke tempatnya. "Tidak masalah. Menurut kamu bagaimana? Terlalu lebay, berlebihan, atau romantis? Aku mau nyanyiin itu ke seseorang." Oh, lagu. Mungkin petikan gitarnya tadi diciptakan untuk lagu tersebut. "Manis," jawabku lalu melirik kertas tersebut, "sepertinya." Well, aku bukan penikmat lagu. "Ini." Tuan Alfan memberikan obatnya lagi padaku, lalu kumasukkan ke dalam laci. "Tuan, Anda harus tidur sekarang." Tuan Alfan tidak membantah. Bantal aku perbaiki, lalu membiarkannya berbaring. "Via, bisa minta tolong? Salepnya, oleskan di wajah aku. Supaya bekas lukanya cepat hilang." Sebenarnya, aku cukup keberatan dengan itu. Tapi ... ya sudahlah. Namanya juga pengasuh. Penutup salep kubuka, pelan, aku mengoleskan di wajahnya. Saat diperhatikan lebih saksama, wajah Tuan Alfan tidak begitu beda jauh dengan Tuan Althaf. Terutama hidung dan alis. Sangat mirip. Namun, dengan bibir tipis milik Tuan Alfan, dia menjadi terkesan manis. "Selesai." Aku menjauhkan tangan. Barulah aku sadar, bahwa Tuan Alfan sedari tadi memperhatikanku. Kikuk? Tentu saja. Aku sampai harus menunduk lebih dalam lagi. "Terima kasih." Suara Tuan Alfan pun mirip dengan Tuan Althaf. Dan mendengarnya, aku tiba-tiba merasa bersalah. Seharusnya aku menyelesaikan ini sejak tadi supaya bisa menunaikan kewajibanku sebagai istri. "Saya permisi." Menunduk lebih dalam, aku berputar, lalu bergegas pergi. Lorong tampak sepi. Aku celingak-celinguk, sembari berjalan cepat menuju kamar Tuan Althaf. Membuka pintu, menemui pria itu sudah tidur di ranjangnya. "Via, kemari." Aku hendak menutup pintu, tetapi suara serak Tuan Althaf menghentikan. Aku masuk, baru menutup pintu. Menghampiri Tuan Althaf yang menepuk-nepuk bagian kosong tempat tidurnya. Setelah aku berbaring, Tuan Althaf membantuku melepas jilbab. Wajahnya menyeruak di leherku, menghirup kuat-kuat aroma di sana. Sementara aku menahan geli. Dia memelukku erat. Tidak lama dengkurannya sudah terdengar. Sebelum menyusul masuk mimpi, aku menggenggam tangan Tuan Althaf di perutku. Lalu terpejam. Sungguh, meski tersembunyi, aku suka ini. Suka Tuan Althaf dan perlakuan manisnya. *** Dua porsi sarapan nasi goreng aku sajikan di meja makan, untuk Tuan Althaf dan Chayra. Melihat keduanya makan lahap, aku merasa sangat bahagia. Sesederhana itu. Bahkan, aku tidak menyadari jika kakiku pegal untuk melihat Tuan Althaf menghabiskan sisa sarapannya. "Via, setelah Chayra berangkat, siapkan sarapan untuk Alfan juga, ya?" Lamunanku buyar oleh titah Nyonya Erisha. Aku menunduk. Tidak mengiyakan atau menolak, karena itu adalah tugas baruku. *** Pertama kali membuka pintu kamar Tuan Alfan, dia sedang sibuk mendengarkan sesuatu dari ponselnya. Entah apa, tetapi sepertinya dia sedang menelpon seseorang. Namun, saat aku menghampiri, dia langsung mematikannya. "Aku mau makan kalau kamu suapi seperti kemarin." Tidak tahukah dia bahwa aku menahan geli melihat sikapnya yang kelewatan manja ini? Belum lagi memikirkan mengenai perasaan Tuan Althaf saat tahu bahwa istrinya malah berduaan dengan pria lain, adiknya sendiri. "Boleh, Via?" ulang Tuan Alfan. Yang penting, tugas selesai dengan cepat. Napasku berembus kasar, lalu tersenyum paksa. "Iya, Tuan." Aku duduk di pinggir tempat tidur, mulai menyuapinya seperti kemarin. Melihat ekspresinya seperti anak kecil, aku semakin jijik. Setiap suapan aku jejali di mulutnya cepat, bahkan tidak menunggu dia menelannya. "Uhhuk." Aku meraih segelas air, dan membantu Tuan Alfan yang tersedak untuk minum. Sejenak, khawatir menguasaiku, tetapi tidak selanjutnya. Dia dengan kurang ajarnya mengusap tanganku yang memegang gelas. Kesal, jadi meskipun dia belum usai hausnya, aku menarik gelas dengan cepat. "Tugas saya banyak, Tuan. Habiskan buburnya cepat." Lanjut, aku menyuapinya dengan kasar. Setelah selesai obat di laci aku ambil. "Kamu sudah menikah, Via?" Tanganku yang sibuk mengobrak-abrik isi laci berhenti bergerak. Mata Tuan Alfan tertuju ke jari manisku. Mungkin, ini bisa menguntungkanku. Setidaknya, dia tidak akan menggoda lagi jika aku jujur. "Ya. Saya sudah menikah." Dengan bangga, aku menunjukkan tanganku. Lalu menyodorkan obat padanya. Tuan Alfan meminumnya segera. Aku bersiap untuk pergi. Muak dalam ruangan ini. "Boleh aku jujur, Via?" tanya Tuan Alfan sebelum aku menutup pintu. "Pertama kalinya, aku menyukai dosa ini. Mencintaimu." Astaga .... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD