Chapter 6

1535 Words
Pernikahan rahasia. Aku mendengkus mengingat bagaimana kehidupanku saat ini terjadi. Aneh, tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, tetapi bangga pada diri sendiri, karena selama empat hari ini, aku bisa menjalaninya dengan baik. Tuan Althaf tidak terlalu egois, bahkan lebih sering memperhatikanku. Dia tahu bahwa aku mungkin kelelahan esok harinya, sehingga berbagai cara, dia menyembunyikanku dari Nyonya Erisha agar bisa istirahat. Sedikit perubahan pun terjadi padaku. Misalnya saja sekarang, hanya memikirkan pria itu, senyumku tiba-tiba muncul tanpa alasan. Pengaruhnya benar-benar melekat di memori. Astaga, Via. Pintu lift terbuka. Tuan Althaf berdiri tepat di depan pintu. Sembari menunduk hormat, aku maju, akan melewatinya. Meski tubuh kami bersinggungan hanya beberapa detik, aku masih bisa menangkap bisikan singkatnya. "Siap-siap. Kita keluar bareng." Keluar? Aku berbalik, ingin menanyakan ke mana, tetapi pintu lift tertutup. Menyisakan senyumnya yang terekam dalam memori. Lagi. Senyum itu membuatku ikut menarik kedua sudut bibir. Lagipula, ini hari minggu. Keluarga Tuan Althaf selalu olahraga pagi. Mungkin, Tuan Althaf juga akan membawaku ikut bersama keluarganya. Menghampiri Nona Chayra di kamarnya, dia sudah siap dengan kaus hitam dan celana training senada. Aku mengikat tinggi-tinggi rambutnya, agar tidak mengganggu kegiatannya lari pagi. "Tante Via ikutan lari juga, kan?" tanya Nona Chayra. "Ya." Setelah selesai, kami bersama turun ke lantai bawah. Aku ke kamar sebentar untuk bersiap seperti yang lain. Mengenakan celana panjang abu-abu, kaus lengan panjang hitam, dan jilbab abu-abu, aku siap. Nyonya Erisha dan suaminya yang paling depan. Menyusul Tuan Althaf yang selalu didekati Nona Selvy. Meski aku berada di belakang Nona Chayra, tetapi obrolan santai mereka masih bisa kudengar. Tentang rencana pernikahan mereka yang sebentar lagi tiba. Rasa kesal membara dalam d**a, sehingga langkahku diperlambat. Biar saja ditinggalkan, terpenting aku tidak mendengar obrolan mereka. Katanya, mereka berdua saling membantu meyakinkan keluarga masing-masing agar membatalkan perjodohan, tetapi kenapa sikap Nona Selvy malah seperti bahagia bersama Tuan Althaf? Dia mendukung aku dan Tuan Althaf bersama, tetapi kenapa malah membuatku cemburu? Keluarga bahagia itu berbelok, semakin mengecil dalam pandanganku. Kakiku berhenti melangkah, terpaku di tempat. Bingung harus melakukan apa. Saat ini, aku enggan bertemu mereka. Tapi, siapa yang akan menjaga Nona Chayra? Ya, memang ayahnya ada. Tapi, Tuan Althaf memiliki sifat dingin yang keterlaluan, bahkan pada putrinya sendiri. Aku merasa tidak bisa mengandalkannya. Satu alasan lagi yang membuatku harus menyusul, aku sama sekali tidak mengenali daerah ini. Astaga. Seperti lomba lari, aku mempercepat ayunan kakiku hendak mengejar rombongan keluarga Althaf. Namun, sampai lelah berlari, aku tetap tidak menemukan jejak mereka. Dasar, Via ceroboh! Aku hendak berlari lagi, tetapi tanganku dicekal dari belakang. Langsung berbalik, dan mendapati Tuan Althaf pelakunya. "Kamu ke mana saja?" tanya Tuan Althaf, tegas. "Kaki saya tadi sakit, Tuan." Sembari menunduk dalam, aku menjawab lirih. Tidak bohong sepenuhnya, karena sakit hati membuat tenaga di kakiku melemas, tidak bisa lari. Tuan Althaf menurunkan Nona Chayra dari gendongannya. Membiarkan gadis kecil itu berjalan ke arah yang aku lalui sebelumnya. Tuan Althaf mendekat padaku, sekadar meraih tanganku untuk digenggamnya. "Seharusnya hanya kita berdua sekarang, tapi Chayra bisa jadi alasan kita bersama pagi ini," bisiknya. "Dia itu putri Anda, Tuan." Aku kurang setuju dari cara bicaranya yang seperti menganggap Chayra hanya alasan agar kami bisabersama, padahal semestinya, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nona Chayra. "M-hm." Kami berjalan seiringan. Setiap kakiku melangkah, jantungku juga seperti berdetak kian mengeras. Pandanganku menyapu sekeliling, berharap tidak ada yang bisa mendengar detakannya di dalam d**a. "Daddy! Tante! This way! This way! Come here!" Nona Chayra memekik kegirangan saat memilih jalan ke arah kanan. Dari jauh, dapat terlihat penjual ice cream. Pasti itu tujuannya. Dan, tebakanku benar. Tuan Althaf memesan dua ice cream cokelat untuknya dan Nona Chayra, serta satu rasa stroberi untukku. Aku tidak berharap ada adegan romantis di sini, karena ya ... inilah risiko dinikahi secara rahasia oleh pria dingin-istri sendiri pun diperlakukan seperti orang asing. Namun, meski sederhana. Aku merasa beruntung memiliki pria ini. Ya, tanpa perlu dia katakan, aku tahu, bahwa pria ini-suamiku-sangat mengerti bagaimana perasaanku yang tidak nyaman melihat kebersamaannya dengan Nona Selvy. Dia bahkan rela meninggalkan keluarganya, demi mencariku, membawaku kabur sebentar dari diskriminasi keluarganya. *** Berdiri di hadapan pintu ganda berukuran besar warna putih gading, senyum bahagiaku sirna. Sekarang, aku harus kembali menjadi pelayan dari Tuan Althaf. Nona Chayra diraih Tuan Althaf dan digendongnya. Tepat setelah kami masuk, seluruh perhatian tertuju pada kami. Tatapan tajam Nyonya Erisha yang mendominasi, membuat suasana menjadi tegang. "Kalian dari mana?" tanya Nyonya Erisha. "Chayra, Ma, mau beli ice cream. Jadi, saya bawa dia ke penjual ice cream bersama Via." "Tapi, kenapa harus Via. Kamu bisa mengajak Selvy kan? Kalian bisa menjalin hubungan lebih dekat kalau kamu tidak mengajak pelayan ini!" Terdengar datar, tapi kalimat Nyonya Erisha begitu tajam. Menusuk tepat di lubuk hati. Sampai, aku berulang kali harus menggumamkan sabar dalam hati, sembari memberikan janji palsu pada jiwa yang mulai goyah oleh sikap Nyonya Erisha. "Tante, aku yang nggak mau ikut Althaf." Selvy tiba-tiba bersuara dalam suasana kikuk ini. Sedikit, wajahku tengadah untuk melihatnya tersenyum hangat padaku. "Althaf dan aku kan punya banyak waktu, Tante, buat lebih kenal lagi. Lewat satu kesempatan, pastinya nggak masalah. Segera, kami akan siap untuk pernikahannya." Meski sedikit lega pada awalnya, kalimat terakhir Nona Selvy nyatanya lebih menyakitkan dari Nyonya Erisha. Aku bingung harus bagaimana pada wanita anggun itu; membencinya, atau simpati. *** Sudah setengah jam sejak aku sudah menidurkan Nona Chayra, dalam artian, sudah 33 menit aku berada di kamar Tuan Althaf yang sibuk dengan pekerjannya. Hanya dalam ruangan bercat abu-abu ini, aku merasa seperti istri asli. Walaupun mengenakan pakaian pelayan. Bisa menyaksikan Tuan Althaf yang fokus pada lembaran kerja dan layar monitor, membuatku merasa bangga. Apalagi, pria itu sangat menyukai kopi buatanku. "Kenapa belum tidur?" tanya Tuan Althaf yang kedua kalinya, masih tanpa menoleh padaku. "Belum ngantuk." Dari ranjang, aku berpindah ke sofa tempatnya duduk. Bersandar, memperhatikan mata tajam milik Tuan Althaf. Satu ... dua ... tiga .... Lalu aku melirik jam. Pria ini hanya mengedipkan mata tiga kali dalam lima menit, saking fokusnya. Perhatianku turun ke lehernya, memperhatikan jakun Tuan Althaf yang sering naik-turun menelan saliva. "Kamu haus?" tanyaku. "Tidak." Dia menyesap seteguk kopi yang mulai dingin. Hening lagi. Namun, terasa begitu intim antara kami. Karena sekarang adalah waktu yang tepat untuk melihat mahakarya Tuhan pada tubuhnya. Sempurna. Rahang tegas. Hidung mancung. Alis tebal yang menaungi mata indahnya. Bibir penuh ... yang menyegarkan. d**a bidang yang hangat setiap kali kupeluk. Lengan kokoh, yang menjanjikan kenyamanan setiap kali aku berada dalam lingkarannya. Dan jemari .... Bahagiaku sirna. Melihat cincin yang tersemat di jari manis Tuan Althaf bukanlah cincin pernikahan kami, tetapi cincin pertunangannya dengan Nona Selvy. "Kenapa?" Tuan Althaf seperti mengetahui dengan baik mengenai diriku, bahkan saat aku merasa tidak nyaman seperti ini, dia bisa langsung tahu. Dia menoleh padaku. "Nggak." Aku menggeleng kasar, berusaha memberikan keyakinan palsu mata tajamnya bahwa aku baik-baik saja. "Nggak papa." Lalu aku berdiri, merapikan rok sebentar. "Althaf, kalau kamu nggak perlu aku di sini, mungkin sebaiknya aku ke kamar saja. Aku bisa istirahat di sana, atau bantu Mbak Rista," jelasku. Aku tidak ingin menunggu tanggapannya. Siap untuk berlari dari ruangan ini, tetapi tarikan kuat Tuan Althaf lebih cepat daripada cara kerja otakku sendiri. Kurang sedetik, aku kembali duduk di sofa, menabrak lengannya dengan kasar. "Lihat." Dia menunjuk layar laptopnya yang didominasi warna gelap. "Setelah Chayra tidur, sampai jam 12, kamar ini adalah tempat kamu sebagai istri saya. Dan saya hanya ingin melihat kamu selama sisa waktu kita sebagai suami-istri." "Hubungannya sama layar?" Aku bertanya bingung. "Saya bisa perhatikan kamu sambil kerja." Aku melihat ke layar kembali, dan memang, pantulan diriku dan Tuan Althaf yang tersenyum, tampak jelas di sana. "Tetap di sini, supaya saya bisa lihat kamu." Aku mengangguk pelan mengiyakan keinginannya, kemudian menunduk. Tanpa sengaja-lagi-melirik ke arah cincin berwarna perak di jari manisnya. "Maaf." Tuan Althaf menyadarinya segera, kemudian berdiri, menuju laci dan mengeluarkan cincin pernikahan kami di sana. Mengganti cincin pertunangannya dengan mudah. Sayang sekali, kecewa dalam hatiku tidak bisa diganti dengan bahagia semudah dia melepas cincinnya. Tuan Althaf kembali bekerja. Ragu-ragu, aku menempatkan kepalaku bersandar di lengannya. Dia sama sekali tidak keberatan. "Kalau kalian nggak mau menikah sama Selvy, kenapa nggak bilang secara langsung saja," bisikku lirih. Tangan kiri Tuan Althaf yang kebetulan sedang beristirahat, aku raih untuk digenggam erat. Rasa hangatnya langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Tuan Althaf mengecup puncak kepalaku singkat. "Kalau buru-buru, saya tidak tega menyakiti hati Mama. Dia segalanya bagi saya. Kamu mengerti, ya? Segera, saya akan memberikan pengertian secara perlahan pada Mama." Kepalaku mengangguk tanpa minat. Lengannya kupeluk erat. Mata terpejam. Meski dalam posisi duduk, kenyamanan tetap aku rasakan. Sampai, aku merasa pandanganku berputar. Hampir mencapai mimpi, jika suara Nyonya Erisha tidak terdengar. "VIA ... VIA!" Aku melompat dari sofa. Kelimpungan mencari jilbab karena kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah tidur beberapa menit. "Ini." Tuan Althaf muncul di depanku, memasangkan jilbab dan memperbaikinya sampai rapi. Kemudian aku keluar segera. "Iya, Nyonya." Nyonya Erisha yang semula membelakangiku, kemudian berputar badan. "Kamu bisa paksa Alfan minum obat lagi? Anak besar itu semakin keras kepala saja. Oh Tuhan ...." Nyonya Erisha memijit pelipisnya sebentar. Kemudian, pandangannya terhunus tajam padaku. Penuh selidik. "Kamu kenapa tidak ada di kamar Chayra?" Suasana mendadak tegang. "Jangan bilang ... kamu dari kamar Althaf." Lidahku kelu. Alasan belum aku persiapkan untuk menghadapi masalah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD