Mereka terlihat begitu sibuk dengan berbagai macam formula yang sedang mereka teliti. Ini bukanlah sebuah hal yang mudah. Ini sudah hampir tahun ke lima mereka melakukan penelitian tapi tidak juga mendapatkan hasil yang optimal. Semuanya gagal, tidak sempurna, dan cukup menyeramkan. Bagaimana tidak menyeramkan? Jika efek samping dari penyuntikan itu mereka bisa merasakan kesakitan yang luar biasa. Bukan hanya itu, mereka bahkan bisa menemui ajal karena suntikan awet muda itu.
Peneliti A terlihat sedang menggerakkan kepalanya dengan perlahan ke arah kanan dan kiri. Dia meregangkan kedua tangannya ke ataas. Ini sudah hampir tengah malam dan mereka masih berkutat dengan serum yang tiada habisnya. Sedetik kemudian dia menguap, menutupnya dengan satu tangan. Kemudian melepaskan kacamata yang dia kenakan. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi yang dia duduki.
“Ah, aku lelah! Apa kalian sungguh tidak akan pulang?” tanya dia pada semua rekannya.
“Kau yakin akan pulang dalam kondisi ini? Ancaman profesor Lea terlalu membuatku merinding. Aku tidak ingin berakhir seperti mereka.” Peneliti E menyahutinya. Sementara itu, beberapa rekannya yang lain hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan ucapan E.
“Halah, itu hanyalah gertakannya saja. Dia tidak mungkin setega itu pada kita. Kalau kalian tidak pulang, maka aku akan pulang sendiria. Aku sudah sangat lelah!” jawabnya acuh. Dia menganggap ancaman Lea hanyalah sebuah gertakan saja. Dia sama sekali tidak menaruh curiga pada profesornya itu. Dia terlihat tenang dan santai saja mengemasi barang miliknya ke dalam tas. Sambil sesekali dia melirik ke arah teman-temannya yang masih saja sibuk dengan formula yang masih sangat belum sempurna itu.
A menghela napas panjang, dia menggelengkan kepalanya dengan pelan.
Bagaimana bisa mereka mengira ancaman itu nyata? Sangat konyol!
Kemudian dia pun meraih tas dan menggunakannya.
“Kalian benar-benar tidak akan pulang?” ucapnya lagi. Da ingin memastikan, apakah ada salah satu dari mereka yang akan ikut pulang bersama dengan dirinya.
“Tidak!” jawab kesembilan peneliti itu serempak. Mereka bahkan tidak menoleh ke arah A. Hanya terus fokus dengan formula mereka masing-masing. Bahkan, ada yang tetap menempelkan mata mereka pada lensa mikroskop yang sedang dia pakai.
A mendecih kesal. Bibirnya mengerucut. Dia bahkan mengentakkan kakinya dengan keras. Mengambil barang-barang dengan keras hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu konsentrasi rekan-rekannya. Tidak ada satu pun dari mereka berdiri atau pun setuju dengan keinginannya. Pada akhirnya, dia pun memutuskan untuk tetap pulang sendirian. Dia sudah sangat lelah seharian bekerja tanpa henti. Dia juga butuh istirahat untuk merilekskan badannya. Kewarasan dari seorang peneliti sangatlah penting. Jika tidak fokus sedikit saja. Semuanya bisa fatal. Gagal lagi dan lagi. Malah semakin runyam nantinya.
A berjalan keluar dari laboratorium. Dia sama sekali tidak mengetahui. Bahwa setiap gerakannya telah diawasi dengan sangat ketat. Kamera-kamera pengintai telah dipasang di berbagai penjuru. Gerakan sekecil apa pun akan tertangkap oleh kamera dan terekam dengan sempurna. Langkah kakinya menuju rumah malam itu menjadi sebuah petaka baginya. Profesor Lea sedang berdiri di depan banyak layar yang menunjukkan gerak-gerik para peneliti. Termasuk gerakan Lea yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari lab. Lea tertawa sinis, dia mendapatkan sebuah objek baru untuk penelitiannya. Si A telah sangat berani menentang perintahnya. Maka, dia harus segera dihukum. Sebelum peneliti lain mengikuti langkahnya untuk pulang. Lea harus menghukumnya sesuai dengan apa yang sudah dia ucapkan. Agar tak ada seorang pun yang akan meremehkan perkataannya.
“A, kau sudah salah memilih jalan. Maka, terimalah mimpi buruk yang akan datang padamu besok pagi!” ucapnya dengan suara pelan tapi terdengar begitu mengerikan. Tidak ada belas kasih sama sekali dalam dirinya. Perasaannya telah mati. Tak ada yang bisa menghentikan kekejamannya. Setelah kematian sang kekasih. Tak ada satu pun yang bisa menyentuh hatinya. Terlebih mendekat kepadanya saja tak ada yang berani.
Di dalam ruang lab, para peneliti masih saja sibuk. Tapi, ada juga beberapa diantara mereka yang tertidur karena kelelahan. Tapi, kemudian terbangun saat suara alarm berbunyi. Mereka selalu memasang alarm untuk menunggu reaksi dari formula yang mereka buat.
F mengulet, meregangkan kedua tangannya ke atas.
“Uaaaaah,” ucapnya. Melegakan diri dari tidur yang tidak seberapa nyenyak.
Sebuah kertas mendarat di kepala F. Membuat dia menoleh ke sumber asal si kertas.
“Apa?” tanya dia dengan nada sinis.
“Enak sekali kau bisa tidur di saat-saat seperti ini!” ucap B tidak terima.
“Ya, tidur tinggal tidur. Profesor tidak melarang kita untuk tidur di sini. Dia hanya melarang kita untuk pulabng!” sahut F dengan nada tidak suka. Dalam pikirannya, kalau mereka ingin tidur kan tinggal tidur. Kenapa malah merasa iri dengan apa yang sudah dia lakukan. Padahal, waktu tidurnya juga tidak seberapa lama.
B mencebik, tak meladeni ucapan F. Karena dia tahu. Percuma saja mereka berdebat. Tak akan menghasilkan apa pun. Malah memperlambat hasil dari penelitian yang sedang mereka lakukan. Kemduian dia kembali fokus dengan catatan yang ada di mejanya. Memilah dan memilih. Kemudian dia menggarisinya dengan sebuah pena berwarna biru.
Pagi yang sangat cerah, mewakili perasaan A yang bisa tidur nyenyak semalam. Hari ini, dia berangkat lebih pagi. Sambil memakan roti isi, dia berjalan menuju tempat kerjanya. Perasaannya begitu segar dan senang. Dia tidak tahu, ada hal yang akan mengintai dirinya saat dia sampai di tempat kerja. Dia masih terlihat sangat menikmati roti isinya. Hingga akhirnya dia pun sampai di laboratorium.
“Selamat pagi!” teriaknya menyemangati kawan-kawannya yang ternyata masih saja berkutat di depan pekerjaan mereka masing-masing.
A meneliti ke seluruh ruangan. Dia mengedarkan pandangan. Melihat satu per satu wajah rekannya. Dia mengernyit, wakah mereka tampak begitu lelah. Seolah mereka tak tidur semalaman.
“Kalian masih belum istirahat juga?” tanya A. Sembaru meletakkan tas miliknya. Kemudian dia memakai jas putih dan juga kacamata miliknya. Duduk di tempat dia biasa bekerja. Masih tak ada yang menyahut. Mereka fokus dengan pekerjaan masing-masing.
“Kau terlihat begitu segar!” suara seorang wanita mengagetkan mereka semua. suara rendah dan lembut itu cukup menyeramkan bagi mereka. Karena, sedetik kemudian bisa saja suara itu bisa berubah menjadi sebuah hal buruk.
A menoleh ke sumber suara. Dia tentu saja merasa yang sedang dibicarakan oleh suara itu adalah dirinya. Sebab, semua rekannya tidak ada yang pulang. Bahkan tidak ada satu pund ari mereka yang tidur semalam. Kalau bukan dia yang dimaksud oleh wanita itu, siapa lagi?
Dia menatap wanita itu dengan hormat. Dia bahkan menundukkan kepalanya setelah menyapanya dengan sebuah senyuman.
“Tidurmu nyenyak?” tanya Lea padanya. Wanita itu berjalan perlahan ke arah tempat duduk A. Suara ketukan sepatunya di lantai membuat suasana hening itu kian terasa mencekam. A merasa tenggorokannya seperti tercekat. Dia tiba-tiba tidak bisa bernapas dengan normal. Dia menelan ludah, sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan dari Lea.
“I-iya,” jawabnya tergagap. Tentu saja, dia merasa merinding dan takut. Tatapan Lea padanya sama sekali berbeda dari biasanya. Senyuman itu, seolah sebuah malapetaka yang akan haddir dalam hidupnya hari itu.
“Wah, sepertinya itu akan bagus untukmu. Siapa tahu dengan tidur nyenyak, serum itu akan berfungsi dengan sempurna pada tubuhmu. Bawa dia!”
Deg!
A menoleh ke sekitar. Rekan-rekannya semuanya juga tercengang. Sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi. Mereka tegang, wajah dan rahang mereka mengeras. Mereka tidak terima dengan sebuah perintah yang tidak manusiawi itu. Padahal, A sudah bekerja padanya selama lima tahun. Tapi, semua itu seolah sama sekali tidak berarti di mata Lea. Sebuah kesalahan tetap menjadi sebuah kesalahan.
Beberapa orang berbadan besar mendekat dan menyeret A dengan paksa.
“Ada apa ini Prof? Kenapa kamu melakukan ini padaku?” teriak A tidak terima karena diperlakukan seperti itu. Dia mentap ke arah Lea dengan tajam. Menunggu ajwaban atas perlakuan kasar yang telah dia berikan.
“Kau sendiri yang telah menggali lubang kuburanmu sendiri. Kau tidak mendengarkan ancamanku. Tapi, setidaknya kau telah tidur dengan nyenyak semalam. Iya kan? Maka, hukuman ini sama sekali tidak berat untukmu. Jika ini berhasil, bukankah akan membuat namamu sebagai peneliti kian melambung tinggi?” ungkap Lea panjang lebar. Sembari berjalan mendekat ke arah A. Senyum di wajahnya masih juga terhias di sana. Senyum licik dan juga mematikan itu sungguh menyeramkan.
Lea meraih wajah A. Dia mencengkeramnya dengan sangat keras. Hingga membuat bibir gadis itu mengeerucut secara paksa. Cengkeramannya juga membuat sebauh goresan dari kuku panjangnya di wajah A. A meringgis kesakitan. Tapi, dia tahu. Percuma juga dia melawan. Kekuatan para penjaga berbadan besar itu sama sekali tidak sebanding dengan kekuatannya. Dia memangbharus pasarah dan menerima semuanya. Tidak ada pilihan lain, selain memelas dan memohon ampun pada Lea.
“Prof, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan pulang lagi. aku sungguh-suungguh Prof. Berikan aku kesempatan sekali saja!” pinta A dengan bercucuran air mata. Suaranya bergetar dan sangat jelas bahwa dia sedang merasa ketakutan.
Lea masih saja mencengkeram wajah A. “Ampun ...? Janji ...? Untuk apa ...? Aku tidak membutukan semua itu!” ucapnya tanpa belas kasih sama sekali. Dia melepaskan cengkeramannya dengan keras. Membuat kepala A sedikit terhuyung ke belakang. Kedua tangannya masih dipegangi dengan erat oleh kedua orang berbadan besar itu.
Sementara itu, di sisi lain lab. Rekan kerjanya yang lain hanya bisa erasa prihatin dengan kejadian yang menimpa A. Itu adalah sebuah kesalahannya sendiri. Maka, dia memang sudah pantas mendapatkan hukuman. Tapi, dijadikan objek percobaan dalam penelitian ini ... terdengar sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Tapi, mereka semua hanya bisa diam dan merenung. Mereka menyaksikan sendiri. A diseret dengan paksa dan dimasukkan ke dalam ruangan kaca. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan sangat kuat. Dia tidak akan bisa melepaskan diri dari ikatan itu. A meronta-ronta. Berteriak meminta tolong dan meminta belas kasihan ddari rekan-rekannya. Tapi, tentu saja mereka tidak bergeming. Mereka terlalu takut untuk bersuara. Salah-salah, mereka akan menjadi objek penelitian sama seperti A.
“Jadi, apakah ada di antara kalian yang ingin membantunya?’ tanya Lea tanpa menoleh ke arah mereka. Kedua netranya hanya melihat dengan fokus ke arah A yang sedang meronta dan menangis ketakutan.
Tidak ada yang menjawab. Semua diam.
“Kau lihat itu, mereka tidak ada yang peduli padamu! Mereka tidak sebodoh kamu yang akan melakukan kesalahan dan berakhir menjadi kelinci percobaan!” ucap Lea dengan suara yang khas. Dia tentu menyelipkan penekan dalam setiap kata yang dia ucapkan. Dia berjalan ke arah dinding kaca. Memandangi gadis yang sedang terbaring meronta. Senyum liciknya terhias di sana.
“Suntikkan serum yang sudah dia racik!” sebuah perintah meluncur dari bibirnya. Bibir tipis milik Lea memang sangatlah berbahaya. sebuah perintah darinya, bisa menajdi sebuah malapetaka bagi para peneliti lainnya.
Karena merasa tidak didengarkan oleh para peneliti lainnya. Lea menoleh dan melihat ke arah mereka dengan tatapan tajam.
“Kalian tidak mau?” pertanyaan itu dia ucapkan dengan nada pelan. tapi penuh penekanan dan sangat membuat bulu kuduk meremang. Itu seperti sebuah ancaman secara nyata.
“Baiklah, mungkin kalian merasa tidak tega karena sudah bekerja cukup lama dengannya. Kalau begitu, aku sendiri yang akan menyuntikkan serum yang sudah dia hasilkan padanya.” tak banyak bicara lagi. lea bergegas mengambil serum di meja kerja A. Dia mengambil dan memasukkannya ke dalam sebuah jarum suntik. Kemudian memastikan ukurannya sempurna. Kaki jenjangnya berjalan menuju ruangan. Suara sepatu yang dia kenakan semakin menambah suramnya ruangan tersebut.
“Bagaimana dengan A? Apakah dia akan selamat? Apakah serum yang dia kerjakan sudah cukup baik?” B berbisik pada F yang berdiri di sampingnya.
F hanya menggeleng dengan perlahan.
“Aku tidak yakin, dia pulang awal dan entah bagaimana hasil serum yang dia miliki.” F juga berbisik pada B. Semuanya gusar. Mereka tertekan dan juga ketakutan. Dijadikan objek percobaan dalam penelitiannya sendiri. Rasanya seperti sebuah neraka. Tentunya karena hasil yang didapatkan belum juga sempurna. Malaikat pencabut nyawa rasanya telah hadir di dalam ruangan itu. Menambah dingin dan mencekamnya ruangan tersebut.
“Tenanglah, ini adalah serum yang kau kembangkan. Maka, kau yang lebih tahu hasilnya akan seperti apa. Apakah ini akan menjadi formula terbaik? Atau kau akan berakhir seperti objek lainnya?” ucap Lea pada A.
“Tolong Prof, maafkan aku,” pintanya dengan air amta yang terus mengalir.
Lea tidak mempedulikannya. Dia tetap berjalan dan menyuntikkan serum itu ke nadi A. Serum itu perlahan masuk hingga tidak menyisakan sedikit pun serum di jarum suntik. Semuanya masuk dengan sempurna. Lea bergegas keluar dari ruangan. Dia sama sekali tidak mendengarkan sumpah serapah dan juga kutukan yang diucapkan oleh A. Dia hanya tidak sabar menunggu hasilnya. Apakah itu akan berhasil? Atau malah membuat penelitian yang dilakukan A hanya berakhir sia-sia saja?