Kedatangan Tamu

1276 Words
** : unianhar Ily masih terdiam mencerna apa yang dikatakan bu Rani dan kedua orang yang tidak pernah Ily lihat sebelumnya. Ily mendengarkan kedua sisinya menyuarakan pendapatnya. Satu sisi ia menerima apa yang mereka katakan dan sisi lain Ily menolak keras, mungkin saja kedua orang didepannya berniat jahat. Mereka mengaku sebagai keluarganya, membawanya pergi kemudian menjualnya. "Nak, kamu kenapa?" Ily melihat pria yang lebih tua dari orang disebelah menatapnya dengan raut wajah khawatir. Kulit yang sudah keriput makin keriput saat Ily hanya diam tanpa suara. "Ily" Ily melihat bu Rani disampingnya. Bu Rani memegang tangannya dan bertanya apa yang terjadi. Ily menggeleng seakan menjawab pertanyaan bu Rani, karena memang dia tidak apa-apa. Ily kembali melihat kedua orang yang berbeda generasi itu. Mereka mirip. Dan jelas saja mereka mirip, keduanya ayah dan anak. Dari penampilannya Ily bisa lihat jika mereka berasal dari keluarga highclass. Mereka juga membalas tatapan Ily dengan mata yang memancarkan kerinduan dan kebahagian secara bersamaan. Dan senyum dari pria yang lebih tua tak pernah pudar ketika melihatnya. "Apa kamu nggak mau menyapa ayah dan kakekmu?" Tanya bu Rani pelan, mungkin Ily masih syok mengetahui jika keluarganya datang mencarinya. Ayah? Kakek? Apa mereka benar-benar ayah dan kakeknya? Ily tidak bisa memungkiri jika dia senang memiliki keluarga selain bundanya tapi Ily juga tidak ingin percaya secepat itu. Jika mereka memang keluarganya, kenapa selama ini mereka tidak pernah menemuinya? Saat Ily kembali dari cafe bu Rani memperkenalkannya pada kedua orang didepannya. Sempat Ily berpamitan untuk kebelakang karena menurutnya tidak enak bergabung mendengarkan pembicaraan orang dewasa tapi bu Rani menahannya. Katanya ini berhubungan dengannya. Tidak lama setelah itu, pria yang bernama Aryan Thomas berdiri dan mendekati Ily. Meski telah berusia 51 tahun pria itu masih terlihat muda dan tampan. "Putriku" ucapnya mengelus kepala Ily dengan sayang. Dia tersenyum, bahagia, sedih, kecewa, dan merasa bersalah ia rasakan saat melihat gadis yang ada didepannya. Dia bahagia menemukan putrinya yang dibawa pergi darinya, sedih karena tidak melihat putrinya tumbuh, dia kecewa pada dirinya sendiri karena membiarkannya pergi dan perasaan bersalah tak lepas mengetahui putrinya tinggal di panti asuhan. "Bukan, aku bukan putri bapak" kata Ily merasa itu benar. Ia tidak punya ayah kalaupun punya, dia tidak tau apakah ayahnya itu masih hidup atau sama seperti ibunya "Ya, kamu putri kandungku." Perjelas Aryan langsung memeluk Ily erat, air matanya tak bisa terbendung. Putri yang selama ini ia rindukan telah hadir didepannya. Perasaan hangat dan nyaman yang mereka rasakan. Dan Ily merasa kehilangan saat Aryan melepaskan pelukannya. "Anda salah pak, ak---" "Benar" Ily menoleh kesamping melihat Abimanyu Thomas, ayah dari Aryan Thomas berbicara. Dia membenarkan Ily adalah putri Aryan dimana dia adalah cucunya. Ily terdiam memperhatikan keduanya. Apa ini sebuah jebakan? Tapi untuk apa mereka menjebaknya? Tidak. Ily meyakinkan dirinya jika dia bukan siapa-siapa hingga bisa dijebak. "Kembalilah nak pada kami!" Bujuk Abimanyu pada cucu perempuan satu-satunya itu "Kemana?" Tanya Ily bingung. Aryan tersenyum begitupun Abimanyu dan bu Rani. "Rumahmu, ke kediaman Thomas. Mereka sudah menunggu kamu" Ujar Abimanyu "Mereka? Siapa?"Lagi-lagi mereka tersenyum. Tidak mudah untuk meyakinkan gadis didepannya. "Keluargamu, keluarga kita." Kali ini Aryan yang menjawab putrinya itu. Keluarga? Ily memutar otaknya untuk berpikir. Mendengar nama keluarga membuatnya antusias tapi kembali lagi pada kecurigaannya. Dia tidak harus percaya pada orang yang baru dikenalnya, kan? Ily berdehem. "Maaf kayaknya bapak salah orang, aku bukan putri yang bapak cari." Abimanyu dan Aryan menghela napas , sulit untuk meyakinkannya. Namun mereka tidak masalah tentang itu, mereka harus membuat Ily percaya dan ikut bersamanya. Dengan senang hati Aryan kembali memperjelasnya. "Apa buktinya jika aku putri dan cucu  Anda?" Kepintaran dan kekritiskannya ia gunakan untuk tidak mudah percaya Abimanyu menyerahkan map coklat pada Ily. Ily membukanya. Hasil tes DNA terbaru, sebuah foto yang memperlihatkan bundanya, Maya mencium punggung tangan seorang pria yang tak lain adalah pria didepannya, Aryan. Serta fotocopy akta kelahirannya yang jelas tertulis jika Aryan Thomas adalah ayah kandungnya. Ily meletak map itu pada meja dengan tangan gemetar. Kenapa hal kecil seperti akta kelahiran ia tidak tau? Ketika masih kecil Ily pernah bertanya pada Maya, bundanya mengenai nama ayahnya, dan Maya hanya menjawab jika ayahnya bernama Aryan. Cuma Aryan, tidak ada embel-embel nama belakangnya. Ily tidak pernah lihat ataupun mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan akta, ibunya tak mengizinkannya mengetahui apapun selain nama ayahnya adalah Aryan. Maya selalu menangis jika Ily bertanya dan saat itulah Ily berhenti bertanya dan tidak ingin mengetahui apapun lagi tentang ayahnya. Dia tidak ingin bundanya sedih. "Apa ini benar?" Lirihnya meremas kepalan tangannya Aryan meraih tangan putrinya yang gemetar dan membawanya kembali kepelukannya. Ia mengusap-usap bahu putri untuk menenangkannya, matanya ikut berkaca-kaca. Katakanlah jika ia cengeng, ia tidak perduli. Ily tidak tau apa yang dirasakannya. Senang, marah, kecewa, dan bingung yang ia rasakan. Ily menjauhkan tubuhnya dan berdiri menjauh. Saat bu Rani memanggilnya Ily berbalik melihat Aryan yang mengaku sebagai ayahnya menatapnya sendu begitupun Abimanyu. "Aku mau sendiri dulu" ucapnya meninggalkan mereka yang terdiam.                                * * * Ily menatap selembar kertas yang sama persis Aryan perlihatkan padanya, hanya saja Aryan versi copyannya dan ditangan Ily yang asli. Benar saja disana tertulis jika Aryan Thomas adalah ayahnya. Ily tak habis pikir kenapa bundanya menyembunyikan tentang ayahnya padanya, jelas-jelas Ily putrinya. Dia juga berhak tau mengenai ayahnya. Tapi Ily yakin pasti ada sesuatu kenapa bundanya melakukan itu, dan Ily ingin tau. Ily yakin ayahnya, Aryan tau semuanya. Dan ia ingin bertanya padanya sekaligus mengapa pria itu tidak pernah menemuinya.                                * * * "Besok kita pulang!" Kedua pria yang asik main game menoleh padanya, "Nggak ada tapi-tapian!" Lanjut Axel saat Saka dan Leon ingin protes. Menurutnya tidak ada gunanya tetap di Malang jika tidak ada tujuannya, meski awalnya mereka bertujuan mencari adik sepupu Saka tapi tetap saja tidak ada gunanya jika tidak ada petunjuk apapun. Ibarat sebutir pasir putih bercampur dengan pasir hitam, bahkan peluangnya untuk melihat pasir itu nol besar. Semuanya sia-sia saja. "Kok gitu sih, Xel? Lusa aja, ya?! Kan kita juga libur" bujuk Saka, mereka sudah ada di Malang jadi apa susahnya jika dia melanjutkan rencananya, lebih baik berusaha daripada tidak sama sekali "Iya nih, lo pikir perjalanan kemari itu dekat apa?!" Leon setuju dengan Saka, meski tujuan mereka berbeda. Saka sudah berjanji akan membayarkan biaya liburannya jadi dia harus membela sahabatnya itu. "Sekarang kalau gitu!" "Eiitt!" Leon menaikkan jari telunjuknya kemudian dia gerakkan kekiri dan Kanan seakan tidak setuju "Yaudah besok!" Pasrah Saka kesal. Axel mengangguk berjalan menuju tas ransel hitam dari merek ternama yang ada diujung kamar hotel milik Saka. "Lo mau ngapain?" Tanya Leon melihat sahabatnya yang berwibawa itu membuka pakaiannya "Kerokin Dara" Leon melotot karena Axel menyebut nama pacar barunya "Otak lo kemanain? Nggak liat gue ganti baju?!" Lanjutnya sarkas "Lo mau kemana ganti baju segala?" Tanya Saka. Axel menghentikan aktivitasnya dan menoleh kearah kedua sahabatnya. "Ganti baju kalian! Kita kembali sekarang!" Titahnya membuat Saka dan Leon berpandangan "Kan perjanjiannya besok" Saka gemas ingin menabok pria cuek yang berdiri tidak jauh darinya "17 menit yang lalu jamnya melewati pukul 12, kita sepakat saat jarumnya berada pada pukul 11:59." Axel masih menatap jam rolex yang terpampang ditangannya kemudian melihat kedua sahabatnya yang cengo, "Itu berarti perjanjiannya tepat hari ini." Sambungnya santai tanpa beban. "Apa?!" "Maksud lo?!" Saka dan Leon berucap bersamaan. "Bersiap sekarang! Kalau nggak gue  tinggal" Axel berjalan membuka pintu hotel menenteng tasnya. "Lo naik apa? Jam segini nggak ada kendaraan" ejek Saka tersenyum kemenangan. Axel tersenyum sinis menaikkan tangannya untuk memperlihatkan kunci mobil ditangannya. "Cepat atau kutinggal?!" Axel membuka pintu. Saka melotot melihat Axel menghilang dari balik pintu. "ITU KUNCI MOBIL MILIK GUE, AXEL! "Ck, gue harus ikut sama dia. Lebih baik gue nggak usah liburan deh daripada pulangnya jalan kaki" Leon meninggalkan Saka yang masih berdiri tak percaya. Mereka memang sahabat terbaik. Bersambung. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD