Bab sembilan.

1005 Words
Hari ini Ilham sudah di perbolehkan pulang ke rumah setelah dua hari di rawat. Keadaannya sudah jauh lebih baik. Mereka merasa bersyukur karena ternyata Tuhan masih mengirimkan banyak orang baik yang mau membantu. Sehingga keadaan Ilham sudah lebih baik. Tinggal Arfan memikirkan cara supaya Ilham tidak kekurangan asupan gizi agar pencernaannya membaik. "Fik, Hari ini Abang mau kerja dulu". Pamit Arfan. "Ilham nggak papa kan kalo Abang tinggal?" Tanya Arfan pada Ilham. "Iya bang. Ilham sudah lebih baik sekarang. Makasih ya bang". Ucap Ilham berterima kasih. "Sama-sama Ham. Abang senang kamu sudah lebih baik". Arfan mengusap kepala Ilham. "Maafin Ilham ya bang, selalu nyusahin kalian berdua". Suara Ilham tercekat di tenggorokan. Air matanya jatuh membasahi pipi. "Sudah. Abang nggak merasa kamu susahin. Ucap Arfan menenangkan Ilham. "Ia Ham. Aku sama bang Arfan nggak pernah merasa kamu susahin. Kamu udah kamu anggap sebagai adik kandung kami sendiri. Walaupun kita tidak sedarah". Fikri menambahkan. Fikri memang sangat menyayangi Ilham. Flashback On. Dua tahun yang lalu pertemuan pertama Arfan dan kedua adik angkatnya. Saat itu Arfan sedang berjalan sehabis dari makam ibunya. Saat melintas di jalan yang lumayan sepi. Ia melihat sebuah asap membumbung ke atas. Ia berlari ke arah asap itu. Setelah mendekat, ternyata sebuah kecelakaan. Sebuah mobil sedan dalam posisi terbalik. Arfan menuju ke arah mobil untuk melihat isinya. Sepasang suami istri dan seorang bayi dalam pangkuan, terkapar tak berdaya. Darah mengucur dari kepala mereka. Posisi jalan yang sepi tidak ada lalu lalang kendaraan ataupun orang yang lewat. Arfan berlari menuju pos polisi terdekat. "Pak". Panggilannya di sela-sela nafasnya yang ngos-ngosan. Ia berdiri dengan memegang lututnya untuk menetralisir nafasnya. "Ada apa?" Tanya seorang polisi yang bertugas jaga. Ia duduk di meja sambil menikmati segelas kopi panas. "Ada, ada..." Ucapan Arfan terputus karena nafasnya belum normal. "Ada apa? Ngomong yang jelas". Tanya polisi itu membentak. "Ada kecelakaan pak. Sebuah mobil sedan terbalik di sana". Arfan menunjuk dengan tangannya. "Yang betul?". "Iya pak. Tidak ada siapa-siapa jadi saya datang ke sini". Ucapnya. "Sebentar. Saya panggil teman-teman yang lain". Ucap polisi itu. Ia masuk ke dalam pos dan memberi tahu teman-temannya. Empat orang polisi mengajak Arfan ikut serta untuk menunjukkan titik tempat kecelakaan. "Di depan situ pak". Arfan menunjuk sebuah tempat. Mobil berhenti tepat di sebuah jalan tempat mobil itu terbalik. Polisi segera mengevakuasi korban. Sepasang suami istri dan bayi mereka sudah tidak bernyawa. Mereka menunggu tim forensik datang dan ikut mengevakuasi. Arfan di tahan sebentar untuk di mintai keterangan. "Apa kamu melihat kejadiannya dik?" Tanya polisi dengan name tag 'Zufri'. "Tidak pak. Tadi saya habis dari makam ibu saya. Waktu lagi jalan saya lihat kepulan asap tipis. Saat saya mendekat ternyata ada kecelakaan ini". "Jawab Arfan. "Apakah waktu kamu sampai di sini memang posisinya sudah seperti ini. Termasuk para korban sudah tidak bernyawa?" Tanya polisi itu lagi. "Saya hanya tau posisi sudah seperti ini. Saya tidak memperhatikan keadaan korban pak". Imbuhnya. "Posisi apakah tidak ada orang lain ataupun pengendara lain yang lewat?" "Tidak ada pak. Maka dari itu saya berlari menuju pos polisi terdekat". "Baiklah dik terima kasih atas kerjasama kamu". Beberapa jam evakuasi pun berakhir. Polisi sudah mengerahkan alat berat untuk membawa mobil yang terbalik itu. Para korban pun sudah di bawa ke rumah sakit terdekat. Pihak kepolisian juga sudah menghubungi keluarganya. Arfan sudah di suruh kembali oleh polisi. Tapi entah kenapa perasaannya tak enak. Ia terus memantau dari jarak yang tidak jauh. Begitu para polisi itu pergi, Arfan kembali mendekat ke bekas mobil yang terbalik. Rungunya mendengar suara rintihan. Arfan mencari ke sana kemari. Setelah sekian lama mencari ia menemukan tubuh seorang bocah berusia sekitar enam tahun di rerumputan yang terletak lumayan jauh dari posisi mobil yang terbalik. "Dek, kamu nggak papa?" Tanya Arfan panik. Bocah itu hanya memiliki beberapa luka goresan di tubuhnya. Beruntung ia terlempar ke arah rerumputan yang cukup tebal. Jadi tidak ada luka yang parah. Hanya karena syok ia jadi tidak sadarkan diri. "Aku nggak papa kak". Jawabnya sambil sesekali merintih. "Aku bawa kamu ke pos polisi ya. Biar kamu di bawa ke rumah sakit". Ajak Arfan. "Jangan kak". Anak itu menggeleng kuat. "Aku nggak mau". "Kenapa? Biar kamu bisa di obati". Ucap Arfan membujuk. "Aku nggak mau kak. Kalo aku ketahuan masih hidup, keluarga itu pasti akan mencelakaiku". Raut wajah anak itu terlihat ketakutan. Melihat ketakutannya, Arfan merasa iba. Ia tidak bertanya lebih jauh. Sepertinya anak ini mengalami trauma. "Ya sudah. Aku nggak bakal bawa kamu. Tapi nama kamu siapa?" Tanya Arfan. "Ilham kak, nama aku Ilham". Jawab Ilham. "Kasihan sekali kamu. Kalau kamu nggak pulang, kamu mau ke mana?" Tanya Arfan. "Emm. Aku boleh ikut kakak?" Tanya Ilham ragu-ragu. "Tapi kehidupan kakak sangat tidak memungkinkan dek". Ucap Arfan. Tidak mungkin baginya membawa Ilham. Karena hidupnya jauh dari kata layak. "Aku mohon kak. Aku benar-benar nggak tau mau ke mana. Aku nggak mungkin kembali sama mereka. Aku bakalan terima apa pun keadaannya kak. Aku janji nggak akan mengeluh". Ucap Ilham. Ia menangis sesenggukan. Ia takut Arfan menolaknya. Mau ke mana lagi dirinya kalau Arfan menolaknya. Arfan mengembuskan nafasnya berat. "Baiklah". Bagaimanapun ia iba melihat keadaan Ilham. "Kamu bisa jalan?" Tanya Arfan. Ilham mengangguk. "Rumah kakak masih jauh dari sini dek. Ya bukan rumah sih. Cuma sebuah gerbong tua". Ucapnya. "Aku nggak masalah kak". Ucap Ilham yakin. "Baiklah. Kita jalan pelan-pelan saja ya". Mereka berjalan menyusuri jalanan aspal yang lenggang. "Kamu capek?" Tanya Arfan saat melihat Ilham kelelahan. Ilham hanya mengangguk. Krucuk. Terdengar bunyi perut Ilham. "Kamu lapar?" Ilham mengangguk lagi. Ada rasa malu tergambar di wajahnya. Arfan merogoh kantong celananya. Ada uang dua lembar sepuluh ribuan. "Kita cari warung dekat sini ya". Ajaknya. Ilham mengangguk senang. Sebuah warung pecel tampak di depan sana. Arfan mengajak Ilham untuk mampir. Perutnya juga terasa perih. "Bu pecelnya satu porsi berapa?" Tanyanya. "Tujuh ribu le". Jawab ibu penjual pecel. "Saya mau dua ya Bu. Air minumnya air putih saja". Arfan mengajak Ilham duduk di dalam warung sambil menunggu pesanan mereka. "Ini le pecelnya". Ibu penjual pecel dengan tubuh bulat berisi membawa dua buah piring berisi pecel. "Makasih Bu". Mereka berdua menikmati makanan mereka dalam diam.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD