Bab empat

1087 Words
Setelah berpikir, akhirnya Arfan mengalah untuk membawa Ilham ke rumah sakit terdekat. Arfan berlari dengan menggendong Ilham yang sudah sangat lemas. Mereka panik, sangat panik. Dengan uang seadanya dan bermodalkan nekat, Arfan membawa Ilham berobat. "Suster, tolong adik saya suster". Arfan mendekat ke meja resepsionis. Seorang petugas jaga melihat keadaan Ilham yang sudah lemas. "Masnya selesaikan pendaftaran dan pembiayaan baru pasien bisa kami tangani". Jawab seorang petugas resepsionis, tanpa belas kasih ataupun melihat seberapa gawat keadaan pasien. "Saya mohon tolong adik saya dulu suster". Pinta Arfan memelas. "Maaf mas, peraturan rumah sakit seperti itu adanya. Kalau masnya mau adiknya secepatnya di ambil tindakan segera patuhi peraturan kami". Jawab petugas itu acuh. Arfan membuang nafasnya kasar. Kenapa dunia begitu kejam pada orang miskin seperti dirinya. Apakah nyawa mereka tidak berharga? Apakah nyawa mereka tidak lebih berharga dari pada lembaran kertas yang bernominal. Arfan meletakkan Ilham di lobi. Kemudian mengurus pendaftaran Ilham. "Mohon isi data dirinya mas". Seorang resepsionis wanita menyerahkan selembar formulir. "Ada kartu keluarga atau kartu identitas lain yang di bawa?" Arfan terdiam. Untuk sekedar memiliki kartu identitas pun mereka tak punya. Arfan menggeleng lemah. "Jadi gimana mas?" Ia berbicara lantang, berpikir bagaimana mungkin bisa ada orang yang sampai tidak punya kartu identitas. "Ada apa ini?" Seorang dokter cantik dengan memakai pasmina hitam datang menyapa. Arfan membaca name tag dokter itu, "Az-Zahra". Petugas yang berjaga di bagian resepsionis mengangguk menyapa dokter cantik itu. "Ini dok, masnya datang dengan membawa adiknya yang sakit. Dan minta di obati. Tapi saat saya minta untuk mengisi form data diri, katanya nggak punya kartu identitas dok". Jelas wanita yang ber name tag shinta. "Bisa saya lihat dulu adiknya mas?" Tanya dokter Zahra lembut. Arfan mengangguk. Dan menunjukkan tempat Ilham yang sedang terduduk lemah. Dokter mengeluarkan stetoskop dan memeriksa detak jantung. "Siapkan ruang rawat sus. Detak jantung pasien lemah, kulit kering. Sepertinya pasien juga dehidrasi". Perintah dokter cantik itu. "Tapi dok, bagaimana dengan peraturan?" Shinta berusaha mencegah. "Apa lebih penting peraturan dari pada nyawa anak ini. Saya yang akan bertanggung jawab. Siapkan semua sesuai perintah saya". Ucap dokter Zahra dengan sorot mata tegasnya. "Ba baik dok". Beberapa perawat mengambil brankar untuk membawa Ilham ke UGD. Ada raut kelegaan dari wajah Arfan. Ternyata masih ada orang baik. Sebaik dokter Zahra. Segala hal terlupakan dari benak Arfan. Fikirannya fokus dan hanya tertuju untuk Ilham. Arfan dan Fikri menunggu di lobi UGD. Sementara dengan cekatan para petugas medis memasangkan selang infus untuk Ilham. Beberapa alat pertolongan pertama sudah menempel di tubuh ringkihnya. Dokter Zahra keluar dari ruang UGD setelah penanganan pertama untuk Ilham selesai. Arfan dan Fikri berdiri bersamaan dengan keluarnya dokter Zahra. "Bagaimana keadaan adik saya dokter?" Tanya Arfan panik. "Mas bisa ikut ke ruangan saya. Akan saya jelaskan". Arfan mengangguk. "Kamu tunggu di sini dulu ya". Perintah Arfan pada Fikri. Fikri mengangguk patuh. Arfan mengikuti langkah dokter Zahra di belakangnya. Sebuah papan nama kecil di atas pintu bertuliskan 'Ruang dokter jaga'. Arfan masuk je dalam mengikuti dokter Zahra. "Silakan duduk mas". Ucap dokter cantik dengan dua lesung pipitnya. Sepersekian detik ada yang bergetar di dalam d**a Arfan. Dengan cepat Arfan menunduk. Menata rasa dan menjaga pandang. Menepis secuil rasa yang berusaha masuk. Arfan menggeser kursi di depan meja dokter Zahra. "Untuk sekarang ini, kita sudah memberi pertolongan pertama. Berhubung sekarang lab sudah tutup jadi kita tidak bisa melakukan pemeriksaan. Kita akan melakukan pemeriksaan lengkap besok". Ujar dokter Zahra. "Apakah penyakit adik saya parah dok?" Tanya Arfan dengan raut khawatir yang jelas tergambar di wajah kusamnya. "Saya belum bisa menyimpulkan mas. Tapi sebelumnya saya mau tanya, adiknya sudah sakit berapa hari?" "Kurang lebih lima hari dok". Arfan berusaha menutupi kesedihannya. Ia tidak mau di kasihani. "Selama itu apa tidak pernah di berikan obat?" "Tidak pernah dok. Saya.. Saya tidak berani memberikan sembarang obat dok". Arfan beralasan lain. Ia tidak ingin dokter cantik itu tau tentang keadaannya yang menyedihkan. "Kenapa tidak lekas di bawa berobat mas?" Dokter Zahra masih terus bertanya. "Karena. Karena saya tidak memiliki biaya untuk membawa adik saya dokter". Akhirnya alasan sebenarnya yang di sembunyikan oleh Arfan di ungkapkannya. Dokter Zahra menarik nafas lalu menghembuskan perlahan. "Sebelumnya maaf mas". Dokter Zahra berkata hati-hati. "Untuk identitas juga apa benar tidak ada?" Arfan hanya menggeleng. "Begini mas. Bukan saya mau mencampuri urusan mas. Saya punya teman yang mungkin bisa membantu membuatkan identitas untuk mas dan adik-adiknya". Dokter Zahra menawarkan. "Dan masnya nggak usah khawatir, urusan biaya gratis". Arfan menimbang. Tentang pilihan menerima atau menolak. Apakah ini bisa di bilang melukai harga dirinya? "Bagaimana mas, apa mas setuju?" Tanya dokter Zahra lagi karena Arfan diam cukup lama. "Masnya sudah tau sendiri kan, bagaimana sulitnya kepengurusan segala sesuatu jika kita tidak punya identitas?" Dokter Zahra mencoba memberi pengertian dengan hati-hati. Akhirnya Arfan mengangguk. Semua demi kebaikan. Dokter Zahra tersenyum. "Kalau begitu mas bisa menuliskan nama, tanggal lahir, mas dan adik-adiknya untuk keperluan pengurusan identitas". Dokter Zahra menyerahkan selembar kertas dan sebuah pena. Arfan menulis semua yang di perintahkan. Tanpa ada satupun yang terlewat. Jangan tanya bagaimana model tulisannya. Yang pasti tidak secantik tulisan orang yang berpendidikan tinggi. "Sudah dokter". Arfan menyerahkan kembali kertas yang sudah di isinya. "Baiklah. saya bisa minta nomor HP masnya. kalau sudah jadi bisa di ambil". "Saya tidak punya HP dok". "Ah, maaf. Kalau begitu alamat lengkap masnya. Biar bisa saya antar". Ada rasa malu ketika harus memberitahukan alamatnya. Namun akhirnya di katakannya juga. "Baiklah mas. Adiknya akan di pindahkan ke ruang rawat. Masnya bisa menemani ya". Ucap dokter Zahra. Arfan mengangguk dan berdiri. "Terima kasih dokter". Arfan berdiri lalu pergi meninggalkan ruang dokter jaga. "Gimana bang?" Tanya Fikri panik saat melihat kedatangan Arfan. "Nggak gimana-gimana. Ilham bakal di pindahkan. Kita bakalan jagain Ilham di bangsal". Ucap Arfan. Fikri mengangguk lega. Tidak berapa lama beberapa perawat mendorong brankar tempat Ilham berbaring. Arfan dan Fikri mengikuti langkah mereka hingga tiba di sebuah bangsal yang berisi lima orang pesakit anak-anak. *** Sinar mentari menyapa pagi. Pagi ini Arfan dan Fikri bisa merasa lebih tenang karena Ilham sudah mendapatkan perawatan. "Fik, pagi ini abang mau ke tempat kerja dulu. Abang mau izin". Arfan memberitahukan rencananya. "Iya bang. Ilham biar aku yang jagain dulu". Arfan berjalan menyusuri lorong rumah sakit untuk menuju ke tempat kerjanya. Tiba-tiba rungunya mendengar sesuatu yang membuatnya menghentikan langkahnya. "Heh, sudah dengar belum?" Seorang perawat wanita berbisik pada temannya. "Dengar apaan?" Seorang lagi menyahut. "Dokter Zahra semalem nolong orang lagi sampai melanggar aturan rumah sakit". "Hah? Masa? Padahal dulu pernah di panggil sama dewan rumah sakit. Sekarang di ulang lagi".. Degh. Jantung Arfan berhenti sejenak. 'Dokter Zahra. Dokter yang semalam menolong Ilham'. Batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD