Bab tiga

1319 Words
Dua hari berlalu semenjak Fikri yang diam-diam mengemis. Uang hasil mengemis yang dia kumpulkan sudah mencapai dua ratus lima puluh ribu. "Kamu sabar ya Ham, Mudah-mudahan besok uangnya cukup untuk bawa kamu berobat". Ucap Fikri, ia mencoba memberi semangat untuk adik angkatnya yang sedang sakit. Tubuh Ilham semakin kurus dan lemah. Tapi apa yang bisa di lakukan oleh mereka yang tak berdaya ini. Fikri menyeka air matanya yang luruh di pipi. Rasa hati sungguh tak tega melihat keadaan Ilham yang sangat lemah. Walaupun saudara kandung, namun lamanya mereka bersama berbagi suka duka yang membuat rasa mereka membaur. Fikri membuka kotak sterofoam yang berisi makanan yang tadi sempat di berikan oleh orang yang sedang lewat. Lumayan, sekotak makanan ini bisa membuat mereka mengganjal perut di siang hari. Karena mereka hanya bisa sarapan kue yang di bawa Arfan dan makan bersama di sore hari dengan nasi bungkus yang di bawa Arfan juga. Sehingga siangnya, mereka selalu menahan perut yang terkadang melilif meminta di isi. "Makan dulu Ham". Fikri membantu Ilham untuk duduk agar ia bisa menikmati makanan bersama. "Wah ayam Ham. Kita bisa makan enak". Ucap Fikri lagi dengan mata berbinar. Ya, pasti bahagia bukan kepalang, bisa mendapatkan lauk yang tergolong mewah bagi kalangan mereka. 'Maafin aku bang'. Batin Fikri dengan rasa bersalah. Mereka berdua menyantap makanan. Dengan telaten Fikri menyuap makanan ke mulut Ilham. Fikri makan dengan berurai air mata. Berkali-kali di seka air mata itu, namun lajunya seakan tak mau berhenti. Selesai makan, dengan cepat Fikri membersihkan sisa-sisa makanannya. Agar tak ketahuan oleh Arfan. Pasti akan banyak pertanyaan dari Arfan tentang asal muasal makanan yang di dapat Fikri. Setelah membuang sampah, Fikri kembali duduk menjaga saudaranya yang sedang sakit itu. Dua jam lebih, Arfan telah pulang dari kerjanya. Gurat lelah jelas tergambar dari wajahnya yang sebenarnya tampan itu. Rahang kokoh dengan jambang halus yang tumbuh menambah kesan macho. Dengan kulit eksotis yang memang di dapatkan karena pekerjaannya yabg terus berada di bawah terik matahari. Arfan segera membersihkan diri. Lalu bergantian dengan Fikri. Seperti biasa mereka menyantap makan yang di bawa Arfan. Malam ini, kedua bocah itu telah tidur. Mata Arfan seolah enggan terpejam. Otaknya yang di penuhi oleh pikiran tentang hidupnya yang membuat matanya enggan terpejam meski lelah tubuhnya mendera. Ia duduk di bibir gerbong dengan menatap langit yang di penuhi bintang. "Ya Tuhan. Bintang itu, sungguh nyaman hidupnya. Ia tak pernah memiliki beban kehidupan seperti diriku". Kembali gelengan kepalanya menepis pikiran buruk yang hendak merasuk ke dalam hati. "Tuhan, aku memang jauh, sangat jauh darimu. Tapi aku percaya, pasti akan ada hari bahagia yang akan ku rasakan nanti". Arfan menyugesti diriinya. Dinginnya angin malam memaksa Arfan masuk ke dalam gerbong dan mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah. Ia harus tetap kuat dan semangat untuk hari esok. *** Pagi ini, kegiatan berjalan seperti hari yang sebelumnya. Arfan yang masih belum tau jika adik angkatnya itu ternyata telah menjadi pengemis. Arfan yang hanya tau, semua berjalan seperti biasa. Dengan dirinya yang berusaha membanting tulang. Hari ini, pendapatan Arfan dari kuli panggul cukup lumayan. Empat puluh lima ribu. Ada lima belas orang yang meminta bantuannya. Mungkin bagi sebagian besar orang, uang empat puluh lima ribu tidaklah berharga. Tapi, di tangan orang yang sangat membutuhkan, nominal itu merupakan angka yang besar. Dengan senyum cerah, Arfan pulang dan membawa tiga bungkus nasi kuning untuk sarapan dirinya dan kedua adiknya. "Abang berangkat kerja dulu ya. Jaga Ilham. Semoga besok abang sudah dapat uang untuk biaya berobat Ilham". Ucap Arfan mengusap kepala adiknya. "Iya bang". Jawab Fikri apa adanya. Arfan lega, karena Fikri sudah lebih tenang. Emosinya stabil tidak seperti tiga hari yang lalu. Fikri melihat punggung Arfan yang menjauh dari balik pintu gerbong. Hingga saat bayangan abangnya sudah tak lagi terlihat, barulah Fikri pergi ke tempat biasa ia mengemis. Sebenarnya bukan keinginannya seperti ini. Tapi ini semua demi Ilham. Batinnya terus menjerit melihat Ilham yang tidak berdaya. Jangankan obat, sekedar untuk tau sakit apa yang di derita Ilham saja mereka tak mampu. Dengan segenap kekuatan, Fikri menggendong Ilham di punggungnya. Membawanya menempuh jarak ratusan meter untuk menjadi peminta-minta. *** Hari ini Fikri terlalu asyik mengumpulkan hasil mengemisnya hingga ia lupa jika waktu sudah merangkak menuju sore. Matahari kian menepi. Dengan terburu-buru Fikri kembali ke gerbong tempat mereka tinggal. Berusaha secepatnya sebelum Arfan yang kembali terlebih dulu. Dengan sisa-sisa tenaganya, Fikri mempercepat langkahnya. Rasa takut dan lelah membaur menjadi satu. Sementara Ilham semakin tidak berdaya. Ada kelegaan saat ia melihat bayangan gerbong tua itu sementara bayangan Arfan belum terlihat. "Syukurlah bang Arfan belum pulang". Ucapnya dengan raut bahagia. Uang yang di kumpulkan tiga hari ini mungkin cukup untuk biaya berobat Ilham. Nafasnya terengah-engah begitu ia sampai di gerbong. Dengan susah payah Fikri mengangkat bobot tubuhnya dan bobot tubuh Ilham. Saat tengah kesulitan tiba-tiba saja. "Dari mana kalian?" Ucapan Arfan mengagetkan Fikri. Wajahnya berubah pias. Sangat tampak raut ketakutan dari wajahnya. Ia membalik badan untuk melihat Arfan. "A abang". Ucap Fikri tergagap. Di sela nafasnya yang kelelahan bercampur dengan ketakutan dan kegugupan, suara Fikri bergetar. "Dari mana kalian?" Tanya Arfan sekali lagi. Masih dengan menahan intonasinya agar tidak meninggi. "Dari . Dari". Fikri bingung. Bingung bercampur takut, hendak menjawab apa. "Jawab abang Fikri". Arfan menatap mata Fikri. Membiarkan anak itu mempercayainya. "Maaf". Hanya kalimat itu yang Fikri ucapkan. "Jawab abang. Kenapa minta maaf?" Kesabaran Arfan mulai di ambang batas. Lelahnya setelah bekerja seharian membuatnya lebih gampang tersulut emosi. "Maaf abang". Air mata Fikri mulai meluncur. Menerobos pertahanan hatinya. Melihat Fikri yang menangis, Arfan memilih pergi sejenak. Ia tak mau jika nanti akan menyulut emosinya. "Abang mau mandi dulu". Arfan membantu membaringkan Ilham di tempatnya. Arfan membiarkan Fikri yang masih menangis. Selepas mandi, Fikri sudah jauh lebih tenang. "Kemarilah". Arfan menepuk sebuah tempat di sisinya. Dengan ragu, Fikri perlahan mendekat. "Sekarang Fikri bisa cerita sama abang". Ucapnya pelan. "Maafin Fikri bang. Fikri nggak tega lihat keadaan Ilham". Ucapnya terjeda. "Iya". Arfan menyahut pelan. "Fikri bawa Ilham untuk cari uang. Supaya Ilham bisa berobat". Degh Jantung Arfan seperti berhenti sejenak. Lalu memompa lebih cepat. "Cari uang dengan cara apa?" Tanya Arfan di sela emosinya yang mulai membuncah. Ia masih menahan diri dengan melembutkan suara. "Fikri bawa Ilham untuk mengemis bang". Ucapnya pelan. Sangat pelan, tapi masih terdengar jelas di telinga Arfan. "Apa?". Suara Arfan meninggi karena ia begitu kaget mendengar jawaban Fikri. "Ya Tuhan, Fikri". Arfan meremas rambutnya frustrasi. "Kenapa kamu lakukan itu?" Arfan mencoba meredam emosinya. "Fikri bingung bang. Fikri kasihan lihat keadaan Ilham. Fikri nggak tega. Ilham sakit, Fikri ikutan sakit bang". Ucapnya dengan berderai air mata. "Tapi tidak dengan mengemis Fikri". "Lalu dengan apa bang? Apa yang aku bisa lakukan untuk bisa dapat uang". "Fikri dengar abang". Arfan meremas bahu Fikri. "Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin harga diri. Cukuplah dunia merendahkan kita, tapi jangan pernah kita mempermalukan diri kita. Mengemis itu bukan solusi. Mengemis hanya akan membuat kita semakin terhina". Ucap Arfan mencoba memberi pengertian. Fikri hanya bungkam. Tak menjawab. Bagaimana pun, yang di katakan Arfan benar. "Jangan melakukan itu lagi oke". Fikri hanya mengangguk. Khek khek. Nafas Ilham tersengal. Seperti oksigen yang membatasi masuk ke dalam rongga d**a Ilham. Mereka berdua yanv sedang berbincang langsung berlari mendekat ke tempat Ilham. "Ham, Ilham". Arfan mulai panik. "Bang, Ilham kenapa bang". Fikri juga ikut panik. "Ya Tuhan". Arfan mendekap tubuh ringkih Ilham. "Ayo bang, kita bawa Ilham berobat". Fikri mendesak. "Tapi abang belum gajian". Ucap Arfan. Ada kebimbangan bercampur dengan ketakutan. Takut melihat keadaan Ilham. Takut terjadi sesuatu pada anak itu. Tapi di sisi lain. Ia belum mempunyai uang yang cukup. "Aku punya uang bang". Fikri mengeluarkan uang yang di simpannya. "Abang nggak mau pakai uang itu". Arfan menolak tegas. "Tapi keadaan Ilham jauh lebih penting bang". Fikri memohon. "Nggak Fik, abang nggak mau pakai uang itu". Arfan mempertahankan argumennya. "Bang, aku janji nggak akan ngemis lagi. Tapi aku mohon bang. Keadaan Ilham yang lebih penting sekarang". Mohon Fikri dengan berurai air mata. Arfan terdiam. Ia sedang menimbang keputusan apa yang akan di ambilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD