Tuduhan

1015 Words
Jun Liu dan David saling tatap. Tak ada satupun dari mereka yang memalingkan wajah. Kekesalan Jun Liu telah menumpuk kepada David dan begitupun sebaliknya. Dua orang dengan sifat yang saling bertolak belakang ini bersitegang. Tatapan mereka seolah menunjukkan bahwa mereka sedang berhadapan di medan perang. "Kenapa kau diam? apa karena topengmu telah terbuka?" tanya Jun Liu kemudian. "Paman Jun, hentikan omong kosong mau. Kita harus segera mencari cara bagaimana keluar dari tempat ini. Bukan waktunya untuk saling menuduh satu sama lain, hanya tinggal satu jam lagi, kau ingin salah satu dari kita mati?" "Hahaha, kau pintar sekali mengelak. Aku sangat salut atas caramu menarik simpati semua orang." "Paman Jun, percaya atau tidak, aku bukan pembunuh. Sekarang berikan kertas itu, kita harus segera membuka pintu." "Baiklah, kita lihat bagaimana kau bisa bertahan selanjutnya. Aku mengawasimu," Jun Liu akhirnya memberikan kertas di tangannya kepada David. David memeriksa kertas tersebut. Itu adalah kartu ucapan natal. Jika itu memang merupakan petunjuk untuk membuka pintu, sudah jelas bahwa hutan pinus ini bukannya menggambarkan penebangan kayu, melainkan perayaan natal. "Apa jawabannya tanggal dua puluh lima?" gumam David kemudian, "Tapi ini terlalu mudah, walau cara mendapatkan petunjuknya yang sulit." "Kenapa kau bergumam sendiri? harusnya kau lebih tahu karena kau pembunuhnya," ucap Jun Liu memecah konsentrasi David. "Hentikan Paman Jun, sudah kukatakan aku bukan pembunuh. Dan aku beritahu, pembunuh sekalipun juga ikut bermain, dia tak serta merta tahu semua kode sandi yang ada di pintu. Pembunuh iu juga bagian dari kita yang harus kita selamatkan, karena dia bahkan tidaj menginginkan ada disini." "Hahaha, benarkah? pembunuh harus diselamatkan? lalu bagaimana dengan dua orang lainnya yang sudah tewas gara-gara pembunuh itu?" "Kyle tewas karena sistem, dan Travis ..." "Travis dibunuh. Pembunuh itu membunuhnya, dan saat itu, orang yang posisinya paling dekat dengan Travis adalah kau." "Berhentilah menebak dengan tidak jelas. Aku harus menyusuri tempat ini sedikit lagi untuk mencari peunjuk lain. Jika kau tidak bisa membantu, lebih baik diam." David beranjak, Jun Liu sangat geram melihatnya. Namun, untung saja dia bisa menguasai emosinya saat ini. Jun Liu mendengus sambil meludah ke tanah. "Tunggu saja. Aku pasti akan membunuhmu." *** "Kau mendapatkan sesuatu?" tanya Marry kepada Mashi yang berdiri rak bergerak hampir selama sepuluh menit. Mereka berdua telah menelusuri bagian barat dengan teliti, dan si Aneh Mashi berdiri tanpa bergerak seperti ini, pasti ada sesuatu yang dia pikirkan. "Hei, kau sudah berdiri sangat lama, kau sebenarnya memikirkan apa?" tanya Marry lagi. "Kenapa sangat mudah sekali?" gumam Mashi yang membuat Marry kebingungan. "Apanya yang mudah?" tanya Marry tak mengerti. "Mencari petunjuknya butuh waktu lama, namun jawabannya hanya ini?" sambung Mashi yang hanya menambah kebingungan Marry. "Kau ini sedang bicara apa?" Mashi bahkan tak menoleh ke arah Marry. Dia malah berjongkok, dan bersandai di sebuah batang pinus yang agak besar. "Apa yang kau lakukan? bukankah kita harus mencari petunjuk?" Marry tak habis pikir. Dia tahu Mashi adalah anak yang aneh. Namun, keanehannya benar-benar tak masuk akal. "Mashi ..." "Siapa yang mencari berkeliling di hutan sebelumnya?" tanya Mashi tiba-tiba. "A-Aku tidak tahu. Aku tertidur cukup lama. Terakhir bukankah Jaden?" jawab Marry sambil berpikir. "David juga berkeliling mencari kayu bakar. Lalu, ada Jun Liu yang dari awal entah kemana," gumam Mashi lagi. "Sebenarnya ada apa?" Marry kembali bertanya untuk ke sekian kalinya. "Lihatlah, mustahil orang tidak melihat itu," Mashi menunjuk sebuah hiasan gantungan kecil yang di letakkan ke sebuah pohon pinus muda, "Mustahil benda ini tak terlihat jika mereka keluar selama berjam-jam." "Ini ... bukannya hiasan natal?" Marry mendekat ke pohon pinus tersebut lalu mengambil hiasan dari sana," jadi ini adalah petunjuk?" "Warnanya berkilau dan sangat jelas di kegelapan malam. Dari jauh saja benda ini pasti akan terlihat. Tapi mengapa orang yang keluar sebelumnya tidak menemukan benda ini?" "Mungkin ... mereka tidak mencari sampai kemari," Mendengar tanggapan Marry, Mashi mengangguk pelan, "Bisa jadi. Namun, setidaknya benda ini bisa terlihat dari jarak yang cukup jauh. Jika berjalan menghadap pohon ini, setidaknya dari jarak lima atau enam meter benda ini bisa terlihat dengan sendirinya," "Benarkah? tapi aku tidak melihat benda ini. Kau yang menemukannya, Aku tak melihat dari jauh sekalipun." "Kau tak melihatnya?" Mashi menatap Marry tajam, hingga wanita berusia awal tiga puluhan itu menjadi gugup. "A-Aku fokus mencari di tempat lain, dan aku benar-benar tak melihat benda itu," "Baiklah, bisa diterima. setidaknya aku melihatnya. Orang seperti David, dan Jaden tak mungkin melewatkan benda ini. Atau dia sengaja mengabaikan aoa yang dia lihat," Mashi menatap Marry penuh kecurigaan. "Kau ... mengapa menatapku begitu, kau mencurigaiku?" "Menurutmu bagaimana?" "Aku benar-benar taj melihat benda itu! kau mencurigaiku atas dasar apa?" "Kenapa kau terlihat sangat gugup?" "A-Aku? aku tidak gugup. Lagipula menurutmu aku pembunuh yang dimaksud?" "Aku tidak bilang begitu." "Tapi kau seperti menuduhku," "Aku tidak menuduhmu," "Kau ini ..." Marry menarik nafas panjang, lalu menatap Mashi tajam, "Terserah kau saja. Kau memang orang aneh. Lalu sekarang bagaimana? membawa benda ini kembali ke pondok?" "Kau, bagaimana rasanya kehilangan suamimu?" pertanya Mashi membuat Marry terbelalak. Dia tak habis pikir bahwa pemuda itu mengajukan pertanyaan secara tiba-tiba, "Jangan salah paham. Aku hanya ingin tahu." "Kau ini gila atau apa? aku kehilangan suamiku dan kau masih bertanya soal perasaanku?" "Aku wajib mencurigai semua orang. Kau tidak terkecuali," "Lalu kau pikir aku membunuh suamiku sendiri?! dasar manusia tidak waras. bagaimana aku bisa melakukan itu!" "Aku tidak tahu," Mashi mengangkat bahunya, membuat Marry semakin tak habis pikir. "Lalu, kau? kau bisa saja menjadi pembunuh. Bekerja keras untuk membuka pintu, agar orang-orang tidak mencurigaimu." "Jika kau mencurigaiku aku tidak melarangnya. Siapapun boleh mencurigai orang lain disini," "Mashi ..." "Ketika kami tertidur, apa yang kau lakukan?" "Maksudmu apa?" "Aku, Kevin dan Jaden, bicara hingga larut malam, kami tertidur, dan tak tau apa yang selanjutnya terjadi. Bisa saja kau bangun dan melakukan sesuatu dengan benda-benda petunjuk ini." "Hah, imajinasimu sungguh tak terduga. Aku tidak melakukan apapun, aku tertidur hingga semua orang terbangun." "Hmm, ya sudah jika kau mengaku begitu." "Aku tidak sekedar mengaku, aku benar-benar tidak pergi ke luar pondok saat itu," "Baiklah, kau tak perlu terlalu meyakinkanku." "b******k, kau ... bukankah kau pendiam yang tak banyak bicara? kau melakukan ini untuk menyerangku, kan? karena aku wanita lemah yang tak bisa membela diri?!

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD