Kode

1007 Words
David berlari ke arah suara peluit. Beberapa menit kemudian, suara peluit menghilang. David terhenti, dia merasakan ada hal yang aneh. Tiba-tiba sirine memekakkan telinga berbunyi. Semua orang panik dan berlarian. Terutama Kevin yang sangat tahu arti dari sirine tersebut. "Ada yang tewas," gumam Kevin sambil mencari jalan keluar. Tak berapa lama Kevin berlari, dia bertemu Jaden, Mashi, Sunny, dan Jun Liu yang datang beberapa menit setelahnya. "B-Bagaimana kita bisa menemukan satu sama lain begini saja?" terdengar suara Marry, dia juga baru saja tiba sambil berlari, dan menatap orang-orang di depannya. "Sirine itu ...." "Ada yang tewas." ucap Mashi singkat, dengan wajahnya yang masih datar. "T-Tapi kota semua disini," Marry berpikir sejenak, "S-Suamiku, kalian melihat suamiku?" "Suamimu yang bodoh, dan David yang sok perhatian itu, tidak terlihat dimanapun," ucap Jun Liu masih dengan kalimatnya yang menusuk. "Marry, tenanglah. Travis akan baik-baik saja," Sunny mendekat lalu mengusap pundak Marry untuk menenangkan. "Tapi, kenapa dia belum datang juga hingga sekarang?" Cklek, tiba-tiba pintu terbuka. Semua orang menoleh ke arah pintu tersebut. Dari pintu itu keluar David. Semua orang merasa lega, namun tidak dengan Marry. Dia menatap David dengan matanya yang bergetar. "Maaf," hanya itu kata yang keluar dari mulut David. Dia tertunduk lemah, dan memberikan cincin penuh darah kepada Marry. Cincin tersebut tak lain adalah cincin pernikahan milik Travis. Marry mulai meneteskan air mata. Dia berusaha untuk tidak mempercayai apa yang dia lihat. "I-Ini tidak mungkin. Dimana suamiku? katakan dimana suamiku!" Marry mengamuk. Beberapa menit kemudian, layar hologram yang menyebalkan muncul. "Travis Worth terbunuh. Pemain yang tersisa adalah, Kevin Mc Grown, Jun Liu, Jaden Jeong, Sunny Sorch, Marry Sane, Takata Mashi, dan David Beck. Pembunuh mendapatkan kesempatan lebih besar untuk menang. Teruslah bermain. Jika ingin selamat, temukan pembunuhnya." "Sialann!" Dor! Jun Liu menembak hologram tersebut dengan senjata yang dia temukan. Namun, percuma saja, hologram tu menghilang setelah menampilkan pengumuman yang menbuat jantung Mary hampir lepas. Dia terduduk lalu menangis sejadi-jadinya. "Ini tidak benar. I-Ini, hiks ... Travis, tidak! tidakk!" Pada saat bersamaan. Mashi berhasil membuka ruangan selanjutnya. Mashi menatap Marry. Walau dia tidak bicara, namun matanya memperlihatkan keprihatinan. Mashi melangkah ke ruangan selanjutnya diikuti Kevin, dan Jun Liu, sementara Marry masih terduduk di lantai dengan lemah. "Marry, ayo pergi. Waktu tersisa sepuluh menit lagi. Kika pintu itu tertutup, kau akan dalam bahaya disini," ajak David, mencoba bicara selembut mungkin. "Tidak. Aku tidak akan kemana-mana. Dimana Travis terbunuh? aku harus kesana, aku harus menemui Travis!" Marry berdiri, dia hendak beranjak, namun Sunny menahannya. "Tenanglah Marry. Kau mau mati? kau pikir itu yang diinginkan suamimu?" mendengar perkataan Sunny, Marry terdiam. Sunny menarik Marry menuju ke ruangan selanjut, pintu ruangan tersebut mulai menutup. Oleh karena itu, dia bergegas sambil membawa Marry yang masih menangis sesenggukan. "Terimakasih," ucap David hampir tak terdengar, kepada Sunny saat gadis muda itu menoleh ke arahnya. David mengacungkan jempol, dan memberi pujian kepada Sunny yang telah berhasil meyakinkan Marry. Beberapa menit setelah mereka masuk, pintu akhirnya tertutup. Kini, mereka berada disebuah tempat aneh. Tampak seperti pusat perbelanjaan, dimana ada begitu banyak pakaian dan makanan yang terpajang. "Hah, psikopat itu benar-benar sinting!" ucap Jun Liu sambil bertolak pinggang menatap rak-rak di depannya. *** "Jadi, kali ini bagaimana kau tahu kode untuk membuka ruangan ke tiga?" Jaden yang begitu penasaran mendekati Mashi. Mashi tidak menatapnya, pemuda itu melihat-lihat rak dan mengamati camilan serta bahan-bahan makanan lain yang di pajang disana. "Hei, Kawan. Tolonglah, kau harus memberitahuku agar aku bisa membantumu," ucap Jaden lagi, tak ingin menyerah. "Ruang sebelumnya adalah sebuah rumah," Mashi berkata sambil melangkah pelan. Jaden sama sekali tak bisa memahami apa yang dikatakan Mashi. "Y-Ya, aku tau itu adalah rumah, tapi ..." "Ada televisi, sofa, bahkan meja makan," "I-Iya ..." "Ibarat rumah yang dihuni sebuah keluarga." "Tentu saja, rumah harus dihuni oleh keluarga, kan?" "Dan kau tau sandi apa yang digunakan kebanyakan keluarga untuk ponsel, sandi bank, dan bahkan password email?" "Aku tak tau yang lain, aku selalu menggunakan tanggal lahirku. Ya ampun, apa tak masalah mengatakan ini. Bagaimana jika setelah keluar dari sini, kau diam-diam masuk ke rumahku karena aku memberitahumu tentang ini?" Jaden berniat bercanda, namun Mashi menatapnya tajam. Laki-laki itu langsung menutup mulutnya dan cengengesan, "Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu. Jadi untuk membuka ruangan tadi kau menggunakan tanggal ulang tahun?" "Hmmm," "Tapi ... tanggal ulang tahun siapa yang kau gunakan?" "Satu-satunya yang sudah berkeluarga diantara kita," "Travis? bagaimana kau bisa berpikir hingga kesana? jadi kau memasukkan tanggal lahir Travis?" "Tanggal enam maret, sembilan belas sembilan puluh, itu ulang tahun Marry. Kau tahu orang yang mencintai pasangannya selalu menggunakan tanggal lahir pasangan untuk hal seperti ini." Haden menatap Mashi tak percaya. Ya, mereka semua pernah membaca data peserta. Saat pertama kali mereka masuk ke ruang aneh ini, nama peserta, pekerjaan, dan juga tanggal lahir tertera disana. Tapi orang macam apa yang mengingatnya dalam sekali lihat? dengan berdecak kagum, Jaden lalu memeluk Mashi erat hingga pemuda itu terganggu dan mendorong Jaden menjauh darinya. "Mashi, Takata Mashi. Aku bersyukur kau ada bersama kami. Kau penyelamatan," "Menjauh dariku," Mashi berjalan melewati Jaden dengan wajah tanpa ekspresinya yang menggemaskan. "Baiklah, aku akan menjauh. Jadi, bagaimana dengan ruangan ini? apa kau punya ide? hei, Mashi. Jangan berkeliling tanpa sepengetahuanku, aku harus memastikanmu tetap aman, Mashi? hallo!" *** "Kau baik-baik saja?" Sunny menyelimuti Marry dengan jaket yang awalnya dia ikat di pinggangnya. Marry terlihat sangat terpukul. Kehilangan orang yang dicintainya membuatnya hampir tak ingin melanjutkan hidup. Namun, setidaknya dia harus keluar dari sini. Atau kematian Travis akan sia-sia. "Marry. Maafkan aku, harusnya aku tak menyarankan untuk berpencar mencari pintu keluar. Maafkan aku," David benar-benar tampak menyesal. Marry menatap David dengan matanya yang bengkak karena menangis, "K-Kau melihatnya? saat-saat terakhir Travis?" David hanya mengangguk lemah, Dia bahkan tak sanggup berkata lagi, "B-Bagaimana dia terbunuh?" sambung Marry kemudian. "Dia membawa sebuah pisau saat sebelum kami berpisah. Dan ... pisau tersebutlah yang menancap di dadanya." Mendengar perkataan David, Marry kembali menjatuhkan air mata. Sunny menggosok bahu Marry. Dia tahu tak ada gunanya melarang Marry menangis, karena kehilangan orang yang dicintai itu memang sakit. Namun, setidaknya Sunny ingin menenangkan Marry dengan perlakuan hangat, walaupun harus tanpa suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD