"Berikan tanganmu."
"Nggak mau!"
Tidak mendebat lagi Alex meraih tangan kananku dengan tangan kanannya sendiri. Aku tidak dapat melepaskan diri karena Alex begitu kuat. Sepasang cincin sehitam malam menemukan jalan mereka. Entah bagaimana caranya cincin itu sudah melingkar di jari manis kami berdua.
Begitu permukaan cincin menyentuh kulit, rasa sejuk menjalar ke seluruh tubuh seiring rasa nyaman dan aman yang menyertai. Aku tahu Alex juga merasakannya. Gelombang perasaan tersebut membuatku kehilangan daya untuk bergerak. Kalau bukan karena lengan kuat yang memelukku, mungkin aku sudah jatuh terkapar di lantai.
"Eliana. Mulai saat ini apa pun yang kamu rasakan juga kurasakan. Demikian sebaliknya. Cincin ini adalah pintu penghubung dua jiwa. Demikian kamu menjadi milikku, seperti aku menjadi milikmu," ucap Alex dengan khidmat.
"Cincin apa ini?" Aku terbuai oleh alunan suaranya yang lembut. Apakah dia sedang memantraiku?
"Cincin obsidian. Batu kristal jenis ini berfungsi menyerap energi negatif, melindungi medium seperti kita."
"Masa? Kok aku baru dengar?" Meskipun mulai klenger, tapi aku tetap berusaha melawan.
Alex tersenyum, "Tidurlah, Gadis Kecil. Pulihkan tenagamu untuk menghadapi hari esok."
"Tapi, aku belum ngantuk."
"Aku tahu cara untuk membuatmu tidur nyenyak."
"Apa?" tantangku.
"Bercinta sepanjang malam."
Aku terkesiap, "Nggak mau! Lepasin!"
Suara tawa maskulin Alex membuatku lemas. Sialan. Kenapa dia begitu menebar pesona sih? Kasihan 'kan aku yang belum pernah pacaran ini? Kasihan pangeran berkuda putih dalam khayalanku.
"Tenang saja, Cantik. Aku tidak akan mengambil paksa sesuatu yang telah kamu jaga seumur hidup. Tidak sekarang. Kecuali kamu menginginkannya terjadi."
"Kamu mengambil ciuman pertamaku! Kalau bukan memaksa apa namanya??" tuduhku.
"Itu berbeda. Aku melakukannya karena menyadari bahwa aku sangat merindukanmu."
"Oh."
Argh! Ternyata selain tampan dan menyeramkan, membanjiriku dengan feromon, pandai mencium, lelaki ini juga pandai merayu! Habislah aku ...
"Terima kasih pujiannya, Cantik. Sekarang istirahatlah sebelum aku berubah pikiran merubah malam ini menjadi malam pertamamu."
"Aaaahhh! Pergi kamu!"
Bermalam di penthouse asing, menyadari bahwa ada seorang lelaki tampan yang menginginkan diriku berada di kamar sebelah membuat suasana sangat mencekam. Otakku lelah, tapi aku tidak bisa tidur. Mataku terus menatap ke arah pintu seolah sewaktu-waktu Alex akan menerobos masuk. Masalahnya, aku tidak tahu apakah mampu menolaknya jika benaran terjadi hal seperti itu.
Denting handphone mengejutkanku. Sambil menggerutu aku memeriksa benda pipih yang kuletakkan di samping bantal. Siapa sih yang mengirim pesan singkat di jam maling berangkat kerja??
'Aku ke sebelah.'
Pesan singkat dari nomor tak dikenal? Siapa ini? Aku memekik tertahan saat pintu kamar terbuka. Sesosok bayangan gelap berdiri di ambang pintu, berhenti sejenak sebelum berjalan ke arahku. Aku hampir bisa melihat sepasang matanya berpendar dalam kegelapan.
Sejuta setan alas! Itu manusia atau hantu??
Dalam kondisi normal aku pasti lari, tapi kenapa tubuhku tidak bisa diajak kompromi? Sosok itu semakin mendekat, woi! Bergerak dong!
Aku hampir semaput ketika sosok tinggi besar itu merangkak naik ke tempat tidur dan meraih pergelangan kakiku. Eh, tunggu ... tangannya terasa hangat! Ini manusia!
"Eliana," bisik sosok itu dengan suara berat nan seksi.
"Kamu! Ngapain ke sini!" pekikku yang kesal karena tertipu oleh sosoknya yang menyeramkan.
Semakin dekat jarak kami wajahnya pun terlihat di tengah keremangan. Jantungku berdebar kencang menghadapi wajah tampan Alex. Rambut ikal sebahunya yang dibiarkan tergerai menambah kesan liar dan berbahaya. Kedua tangannya menarikku ke dalam pelukan. Aku megap-megap karena dihadapkan pada tubuh bagian atasnya yang tidak berpakaian.
"Aku tidak bisa tidur, Cantik. Pikiran dan hatimu terlalu berisik," bisik lelaki itu dengan suara yang bisa mengantarku menuju mimpi indah berjilid-jilid.
Tanpa basa-basi Alex menyurukkan wajah di ceruk leherku. Tubuhku membeku. Dia tidak hanya diam bersandar, tapi menciumi leherku!
"Berhenti! Aku nggak mau!" Aku meronta dalam pelukannya.
Alex menggeram lembut, "Kalau kamu tidak berhenti bergerak, aku juga tidak akan berhenti."
Ancaman itu sukses membuatku diam tak bergerak. Perlahan Alex bergeser ke samping. Dia tahu aku kesulitan bernafas karena menerima bobot tubuhnya.
"Begitu lebih baik. Sekarang, tidur."
Nada perintah dalam suara Alex memancing sisi pemberontakku. Namun, sebelum aku sempat memberontak lelaki itu—seolah tidak memiliki cara lain—menciumku! Larut malam menuju subuh bukanlah waktu yang menarik untuk berciuman. Aku menggigit bibir Alex supaya dia melepasku, tapi tidak terjadi apa-apa. Akhirnya aku yang menyerah.
Ketika bibir Alex meninggalkan bibirku, kupikir baiklah, sekarang saatnya tidur. Aku sudah cukup nyaman dengan kehangatannya. Tapi tidak, saudara-saudara! Dia harus melanjutkan aksinya menciumi leherku! Aku panik ketika Alex menempatkan diri di antara kakiku.
"Kalau kamu memaksa, jangan harap hidupmu akan tenang," desisku.
Alex berhenti bergerak. Aku bisa merasakan bibirnya tersenyum. Sialan. Jika dia menyentuh lebih jauh aku tidak yakin bisa bertahan.
"Aku suka tantangan, terlebih dari wanita milikku."
Usai berkata demikian Alex menyentak lepas kancing kemejaku. Aku menjerit dan meronta sekuat tenaga. Tidak ada yang namanya menyerah tanpa perlawanan! Namaku bukan Eliana kalau menyerah begitu saja!
"Argh!"
Pelukan Alex mengendur. Aku cepat-cepat berguling ke sisi dan nyaris terjatuh dari tempat tidur. Segera kunyalakan lampu tidur di nakas. Keadaan di dalam kamar menjadi sedikit lebih terang.
Mataku membulat. Pemandangan di atas tempat tidur membuatku terpukau. Alex masih pada posisi saat kutinggalkan, berlutut dengan satu tangan bertumpu di tempat tidur, sementara tangan yang lain melindungi bagian pribadinya yang baru saja kuadu dengan lutut. Kuakui tubuh yang setengah tidak berpakaian itu terlihat indah. Ini lelaki yang menyebutku calon istrinya?
"Suka yang kamu lihat?" goda Alex.
"Biasa saja tuh!" Aku memalingkan wajah. Kedua tanganku menarik tepi kemeja yang kancingnya terlepas agar menutupi d**a.
Alex terkekeh, "Semua ini milikmu, Cantik. Hanya saja jangan lagi mencederai benda satu ini. Jaga baik-baik seperti milikmu yang paling berharga."
"A–apa sih? Aku nggak mau apa-apa! Kupikir, sebaiknya aku pulang. Bye."
Jeda sesaat sebelum lelaki itu bersuara, "Kamu sampai hati meninggalkanku sendiri?"
Aku terpana melihat sepasang mata Alex menatap sedih.
"Karena ... aku nggak mau ...." Kata-kata dalam pikiranku menguap di ujung lidah. Aduh, sebenarnya aku mau bicara apa sih?
"Kemari, Gadis Kecil." Alex mengulurkan satu tangan.
Sialan. Dia mentransfer sugesti. Aku menggelengkan kepala, "Caramu nggak mempan, Bung. Aku pergi."
"Eliana."
Hatiku hampir meleleh mendengar betapa lembutnya Alex menyebut namaku. Aku ragu. Namun, terdorong oleh rasa ingin tahu aku meraih ransel dan melangkah pergi. Jantungku berdebar menunggu apa yang akan dia lakukan untuk mencegahku pergi.
Langkah kakiku sudah melewati ambang pintu kamar, tapi Alex tidak mengejarku. Ada sebersit kekecewaan. Yah, sudahlah. Mungkin ini kesempatanku untuk lepas dari godaannya. Mungkin lebih baik menjadi Eliana yang single dan happy, seorang pekerja kantoran yang senang pulang terlambat. Karena ... tidak ada seorang pun menungguku pulang.
Aku terus berjalan ke pintu keluar penthouse. Sial. Apakah aku sebegitu menyedihkan sampai mengharapkan lelaki b******k ini menahanku? Sepertinya aku terlalu banyak berkhayal.
Beberapa langkah lagi menuju kebebasan. Tanganku meraih kenop pintu dan membukanya. Mendadak sebuah tangan terjulur melewatiku. Aku terkejut setengah mati karena pintu tertutup kembali dengan suara keras. Tubuhku terdorong ke dinding, dihimpit oleh tubuh besar di belakangku.
"Hipokrit," bisik Alex di telingaku.
Aku menggigit bibir agar tidak tersenyum, "Kamu menuduh sembarangan."
"Oh ya? Pikiranmu berkata lain, Gadis Kecil. Kamu menginginkanku sebesar aku menginginkanmu."
Tangan besar Alex melingkari leherku. Sikap dominannya membuatku merasa tak berdaya. Namun, bukan sesuatu yang tidak menyenangkan.
"Kalau aku menginginkanmu, aku nggak akan menolak mati-matian! Pikiranmu yang nggak beres! Sepertinya kamu terlalu terobsesi denganku!" Aku terus mengejek.
Hening sesaat.
Aku terheran ketika tekanan di leherku mengendur. Perlahan Alex mundur. Aku segera berbalik untuk melihat apa yang terjadi. Oh, sekarang dia yang meninggalkanku?? Pandanganku terpaku pada tato sepasang sayap di punggung Alex. Ujung sayapnya membentang sampai lengan atas si lelaki. Aku tidak menyangka, lelaki bertato ternyata sangat seksi ...
"Baiklah. Aku ikuti permainanmu." Ucapan Alex membuyarkan fantasiku.
"Siapa yang bermain?" ketusku.
Alex menyeringai, "Kamu boleh pergi sekarang."