Jantungku nyaris copot untuk kesekian kalinya. Tubuhku tidak bisa bergerak dipeluk sepasang lengan besar dan kuat. Siapa sih ini?
"Wow, aku tidak merasakannya datang. Bye, El," kata si hantu sebelum lenyap dari pandangan.
"Sialan ... dia pergi," desisku.
Hembusan nafas hangat mengenai telingaku saat penyergapku bicara. Aku kenal suara ini!
"Eliana."
"Lepasin!" Aku meronta panik.
"Tenangkan dirimu. Ini aku."
Bagaimana bisa tenang? Aku terus meronta, tapi lelaki ini tidak mengendurkan pelukannya, malah membalik tubuhku sehingga kami bertatapan.
Sepasang mata tajam menatap menembus jiwaku. Wajah tampan sekaligus menyeramkan berada begitu dekat denganku. Bibir tipisnya tersenyum lebar. Aku pun berhenti bergerak. Perbedaan tinggi badan kami membuatku harus mendongak untuk menatapnya. Bagaimana tidak? Kuperkirakan ujung kepalaku hanya mencapai hidungnya.
"Alex??" Hanya satu nama itu yang keluar dari mulutku.
"Kamu bertambah cantik. Sangat cantik. Aku tidak salah memilihmu, Eliana," ucap Alex lembut.
Suara berat maskulin disertai nada menggoda tersebut sukses membuat perutku mulas. Why?? Kenapa bukan pangeran berkuda putih, tapi malah malaikat pencabut nyawa yang memelukku??
Sebelum aku dapat berbuat apa-apa Alex mengangkat dan mendudukkanku di atas meja. Kedua lengannya mengungkungku sehingga aku tidak dapat melompat turun. Oh, sialan! Kenapa dia harus berdiri di antara kakiku!
"Apa yang kamu pikirkan? Sesuatu yang menarik? Aktivitas yang bisa kita lakukan di atas meja?" Senyum Alex melebar.
Aku terkesiap karena satu tangan lelaki itu memeluk pinggangku. Kedua tanganku menahan dadanya, "Mau apa? Lepasin!"
"Aku baru menyelamatkanmu dari perangkap. Tidak ada salahnya meminta satu ciuman, bukan?"
Mataku membulat. Apa dia bilang? Perangkap? Minta ciuman? Mana boleh seperti itu?
"Salah! Itu salah! Kamu—"
Kata-kataku lenyap ditelan bumi. Maksudku, lenyap ditelan bibir tipis Alex. Ya, lelaki sialan ini memaksa menciumku! Argh! Aku tidak bisa menghindar! Dia menahanku! Tidak ada cara lain ... Kugigit dia sekuat tenaga.
"Ouch!" Alex mundur dan berkata, "Eliana-ku suka menggigit rupanya."
"Lepasin! Kamu melecehkanku! Pergi sana, b******k!" Aku meronta sekuat tenaga.
"Oh, ini ciuman pertamamu? Pantas terasa kaku."
Ingin menangis rasanya karena apa yang dikatakan Alex benar. Bibirku belum pernah disentuh lelaki. Dasar b******k. Sudah mengambil ciuman pertamaku, masih mengejek pula! Ya iya lah kaku, namanya juga belum pernah berciuman!
"Harus banyak berlatih agar tidak kaku. Tenang saja, kita punya banyak waktu untuk itu," kata Alex.
Aku bergidik saat tangan besarnya membelai wajahku. Rasanya lembut sekali sampai aku nyaris memejamkan mata. Sekarang aku mulai bisa memahami perasaan kucing-kucing yang menikmati belaian manusia.
Entah mantra apa yang ada pada diri Alex. Aku begitu terbuai dengan belaiannya sampai tidak mampu menolak ketika lelaki tampan sekaligus menyeramkan itu menciumku lagi. Lidahnya menyusup dengan kurang ajar lewat celah bibirku, menautkan diri, menggodaku untuk berpartisipasi dalam sebuah pergulatan kecil.
Beberapa saat kemudian baru kusadari aroma tubuhnya begitu memabukkan. Inikah yang disebut feromon?
"Kurasa cukup sebelum aku tergoda untuk bercinta denganmu," bisik Alex sebelum memisahkan diri dariku.
"Uh ... apa ...?"
"Kecuali kamu menginginkannya."
Satu kalimat itu cukup untuk membuatku tersadar. Aku mendorong Alex mundur dan melompat turun dari meja. Tidak semudah itu aku menyerahkan mahkota yang sudah kujaga selama dua puluh tiga tahun!
Alex terkekeh, "Sebaiknya kita pergi sebelum ada yang naik kemari."
"Nggak usah kamu kasih tahu." Aku bergegas mendahului keluar dari ruangan bos.
Tubuhku tersentak saat Alex meletakkan tangannya di pinggangku. Spontan aku menolak. Untung lelaki itu tidak memaksa. Pintu lift segera terbuka dan kami berdua masuk. Aku menghela nafas. Ruangan persegi kecil ini terasa semakin sempit dengan keberadaan Alex.
"Tidak perlu menolong semua makhluk tak kasat mata yang meminta pertolongan. Kamu tidak tahu apa akibat yang mungkin terjadi jika mencampuri urusan dunia lain," ucap Alex—dengan suara beratnya yang seksi.
"Aku suka menolong orang. Nggak boleh?" ketusku.
Lelaki itu menoleh, "Tidak semuanya layak mendapat pertolongan, Sayang."
Sontak wajahku terasa panas, "Apaan sih? Nggak usah sok akrab deh."
"Hmm ... memang tidak cocok hanya memanggil 'sayang'. Kira-kira apa panggilan yang cocok untuk calon istriku?"
Aku melotot. Telingaku tidak salah dengar, 'kan?? Calon istri??
"Kenapa? Kamu tidak suka padaku?" tanya Alex dengan tatapannya yang ... menghanyutkan.
Argh! Pegangan El! Jangan begitu mudah terhanyut meskipun lelaki ini baru saja menciummu!
"Aku bukan calon istrimu! Kita nggak saling kenal! Jangan sembarangan ngomong deh!" Sumpah demi apa pun juga, kalau bukan di dalam lift aku pasti sudah lari sekuat tenaga, menghindar sejauh mungkin dari lelaki tidak waras ini!
Alex terkekeh, "Astaga. Imajinasimu seru sekali."
Tuh 'kan, dia benaran tidak waras.
"Pertama, aku masih waras. Kedua, cobalah lari. Aku yakin dapat menangkapmu kembali." Seringai jahat menghiasi wajah Alex, membuatnya terlihat menakutkan.
Seolah tersadar dari mimpi aku mundur sampai bersandar di dinding lift, "Kamu membaca pikiranku! Tapi bagaimana? Kamu bukan manusia??"
Alex menghela nafas, "Aku manusia, Sayang."
"Stop memanggilku 'sayang'! Kita bukan siapa-siapa!"
"Oke, oke. Nanti kita pikirkan bersama. Sekarang kita pulang dulu."
Aku menghindari tangan Alex yang berusaha menggandengku. Lelaki itu menatap sesaat, kemudian meraih tubuhku dan memanggulnya di bahu. Bisa dibayangkan betapa memalukan hal tersebut? Tentu saja kami menjadi tontonan orang-orang yang masih ada di lobby gedung!
"Alex! Turunin! Turunin, b******k!" Aku meronta, tapi lelaki ini tidak bergeming.
Dua orang security menghentikan kami. Aku merasa lega karena akan mendapat pertolongan.
"Tolong turunkan Mbak itu. Dia karyawan di gedung ini," tegas salah satu security yang—untungnya—mengenaliku.
"Kalau aku menolak?"
Luar biasa. Aku tidak menyangka Alex akan menantang dua orang security.
"Kami harus membawa Anda ke kantor."
Aku mendengar suara tawa Alex. Nah, benar 'kan, lelaki ini tidak waras? Mana ada orang yang tertawa di tengah situasi menegangkan?
"Oh, maaf, Pak. Kami tidak mengenali Anda. Silakan."
Karena berada pada posisi membelakangi, aku tidak dapat melihat apa yang terjadi. Kenapa dua security ini mengijinkan Alex lewat? Bukankah mereka harus menolong karyawan yang diculik? Dua security tadi cepat-cepat menghilang. Aku? Tetap menjadi korban penculikan Alex!
"Turunin kenapa sih?? Aku nggak mau ikut!"
"Ssshh ... kalau masih ribut aku akan menciummu sampai tidak bisa bicara."
"Apa?? Coba saja kalau berani! Kugigit putus lidahmu!" Meskipun hatiku gentar aku tetap membalas dengan gagah berani.
"Oke. Tantangan kuterima."
Aku terus meronta dan berteriak sampai kami tiba di tempat parkir. Kulihat Alex membuka pintu belakang sebuah SUV. Ada kesempatan kabur saat lelaki itu menurunkanku. Aku pun bersiap. Tidak disangka Alex membawaku masuk ke mobil tanpa melepas pelukannya.
Bisa-bisanya aku berpikir betapa empuk jok belakang mobil ini di tengah situasi genting! Ada apa dengan otakku??
"Sekarang hanya kita berdua."
Nyaliku menciut melihat senyuman di wajah tampan itu. Posisiku tidak menguntungkan, karena meskipun berada di pangkuan Alex, satu lengannya melingkari pinggangku seerat ular sanca sehingga aku tidak dapat bergerak.
"Jangan takut, Gadis Kecil. Aku tidak akan menyakitimu," bisiknya.
Tangan besar yang menyusup ke belakang leher membuatku bergidik. Akan sangat sulit menolak lelaki yang ahli mencium ini. Aku harus mengalihkan perhatiannya terlebih dahulu.
"Kenapa mereka membiarkanmu lewat?" Suaraku lebih lirih dari yang kuharapkan! Kenapa terdengar seperti aku sedang menggodanya??
Alex tersenyum.
Oh, betapa aku benci melihat senyum menawan itu! Ingatanku berkelebat ke masa remaja, malam di mana pertama kali aku melihat wajah tampannya. Kemudian, malam saat pemakaman nenek.
"Aku senang kamu mengingatku dengan jelas. Mulai hari ini kita tidak akan lagi terpisah oleh apa pun."
"Tapi, aku nggak mau ...."
"Kita bertemu bukan karena keinginanmu, Eliana, tapi karena kamu membutuhkanku."
Belum sempat bertanya apa maksud pernyataan tersebut, bibir tipis Alex sudah membungkamku. Seberapa pun kerasnya usahaku mendorong d**a lelaki itu, tenagaku tidak sebanding dengannya. Sialan. Apakah pada dasarnya lelaki memang sekuat ini?
Menit demi menit berlalu ...
Akhirnya Alex melepasku. Nafasku terengah. Aku benci pada diri sendiri karena menikmati ciuman lelaki ini. Bukan salahku! Dianya saja yang terlalu ahli!
Alex terkekeh, "Sepertinya kamu yang tidak mau lepas dariku?"
Aku terkesiap. Ternyata sedari tadi Alex sudah tidak memelukku seerat pegulat. Akulah yang menarik kerah bajunya! Cepat-cepat kulepas kerah kemeja sialan itu dan turun dari pangkuan Alex. Entah seperti apa bentuk wajahku sekarang.
"So, your place or mine?"