Jejak ketiga

1062 Words
"Hahahha... Tunggu sebentar, anakku telepon!" ucap Carlos yang sedang asik berpesta pora bersama kawan-kawannya. Pesta yang diadakan karena para anak buahnya telah berhasil menghabisi keluarga Kwang Zu hingga jejak terakhir. Enggak... lo bakal mampus sama Daddy gue. Hehhe...! Suara piring jatuh dan teriakan ketakutan mendera seluruh ruangan Carlos menyeritkan alisnya bingung. Kenapa justru terdengar suara Frallo yang teriak? sedang bicara sama siapa anak lelakinya itu. Kenapa ia terdengar sangat ketakutan? Carlos langsung menyadari ada sesuatu yang janggal. Ia langsung berlari keluar bar menuju hotel. Lima menit kemudian ia sampai di parkiran yang masih terdapat tubuh Frallo yang hancur. Sebagian isi kepalanya berceceran disertai darah segar yang terus mengalir. Bola matanya mendelik kaget, tangannya lunglai seakan tak bertulang. Sudut bibirnya mengeluarkan sisa-sisa isi perutnya sebelum ia terjatuh dari gedung tinggi itu. Tak ada yang berani mengutik mayat pemuda itu. Karena seandainya saja Carlos menyangka merekalah yang menyebabkan kematian Frallo-anak yang paling ia sayangi. Maka saat itu juga tamatlah riwayat mereka. Carlos masih mencoba mengucek matanya. Ia merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat. Meski netranya sendiri yang menatap tubuh Frallo. "Allo...!" panggilnya lemah dan shock. Spontan kepalanya menengok ke atas. Cahaya rembulan memantulkan wajah Zin yang masih terus berdiri di sana. Sepertinya lelaki itu juga masih bimbang. Apa betul ini yang ia inginkan? mendorong pembunuh Eiji hingga tewas? Tiba-tiba lelaki itu merasa begitu keji. Tapi perlakuan Frallo pada Eijipun tak bisa dimaklumi. Masih jelas di ingatannya, luka-luka yang menganga kotor terkena pasir jalanan membuat darah Eiji tersumbat paksa. Lebam pada wajahnya yang chubby, serta teriakan terakhir Eiji sebelum bibirnya bungkam untuk selamanya. Jika istilah nyawa dibalas dengan nyawa dibenarkan, Maka apa yang dilakukan Zin saat ini adalah sebuah kebenaran. Carlos berdiri kembali, menunjuk Zin dengan tatapan murka bagaikan beruang kutub yang siap memangsa ikan hiu sekalipun. Tak butuh waktu lama, ia mengarahkan seluruh anak buahnya untuk menangkap Zin. Tak akan ia biarkan Zin pergi begitu saja. Zin membuka pintu apartemen pelan. Hembusan nafas lelah keluar dari sudut bibirnya. Lelaki itu belum sadar peristiwa apa yang sebentar lagi menimpanya. Zin sama sekali tak bisa berfikir dengan baik, ia masih terus melamunkan ayahnya, Daichi. Sehingga Zin hanya memencet tombol lift berniat pergi begitu saja. Sesaat papan lift menunjukkan sebentar lagi lift sampai pada lantai 23. Tapi Zin yang merasa bosan menunggu akhirnya memutuskan turun lewat tangga. Pintu lift terbuka mengeluarkan segerombolan pertarung jalanan dengan lengan penuh otot. Mereka tak lain adalah anak buah dari Carlos. Brraakk! Karena begitu tak sabar membuat Jemmie menendang paksa unit Frallo. Ia pun sama marahnya dengan Carlos. Jemmie mencari Zin di setiap sudut ruangan. Ia sudah seperti banteng yang mengamuk. “Maaf, Bos.., gak ada siapa-siapa disini!” adu salah satu anak buahnya. Jemmie tahu, Zin pasti sudah lebih dulu kabur. Jemmie menelpon teman lainnya untuk berjaga-jaga disetiap lantai. Mereka siap menguliti Zin hidup-hidup asal itu keinginan Carlos. Tapi nyatanya Carlos ingin hal lain. Ia ingin ikut merasakan setiap detik penderitaan Zin, hembusan nafas yang terasa bagaikan penyiksaan untuk Zin. Yah... Carlos ingin membalas Zin dengan amat perlahan. Tak akan semudah itu ia membiarkan Zin mati dalam ketenangan. Pria berhati iblis serta rasa sakit hati dan dendam yang ia pupuk mulai detik ini adalah musibah bagi Zin. --- Zin telah sampai dilantai 18. Ia memang berjalan gontai, rasanya semua energinya sudah tersedot habis. Tiba-tiba saja tiga orang menghadang jalannya. Dari jaket yang mereka gunakan Zin tahu.., mereka berniat membalaskan dendam, tapi Zin yang santai hanya bisa tertawa meremehkan “Ini dia orangnya, tunggu apa lagi kita habisin!” seru ketiga orang itu. Zin langsung membalas pukulan mereka bertubi-tubi. Bagi Zin yang juara WBC (World Boxing Champion) menghadapi ketiga orang tersebut sangat mudah. Zin menyiku wajah salah satunya dengan keras. Membuat giginya rontok begitu saja. Kepalanya yang keras ia benturkan ke lawan. Membuat suara teriakan keras yang mampu memanggil musuh lainnya. "Aahkk. Sialan lo!" pekiknya dengan wajah berdarah. "Kayaknya mereka udah ketemu, ayok kita kesana!" ajak anak buah Carlos lainnya. Dalam hitungan detik sudah ada dua puluh orang yang mengepung Zin. Sepandai-pandainya ia. Zin tak akan mungkin lolos dengan mudah. Kali ini Zin memilih pura-pura pingsan, agar dirinya tak di kepung massa. "Gimana, kita bunuh saja dia sekalian!" terdengar suara seseorang yang berharap bisa membunuh Zin saat itu juga. "Jangan, Carlos tak suka jika kita yang membunuhnya. Ia ingin tangannya sendirilah yang menyiksa pemuda itu dengan perlahan!" seringai Jemmie ikut masuk. "Sebaiknya, pindahkan dia ke bawah. Biar Carlos melihat siapa pembunuh anaknya" tambah Jemmie Tubuh Zin di gotong ke bawah, untuk diperlihatkan pada Carlos. Sesampainya disana Perutnya ditendang agar ia bangun dari pingsannya. Zin dipukuli... "bangun lo!" cerca bodyguard Carlos. Carlos yang masih berduka semakin gila, wajahnya memerah dengan sisa-sisa air mata menghiasi pipinya. Bibirnya tersenyum devil, siap untuk menyiksa Zin. Suara tepukkan tangan memenuhi ruangan. "Kau yang sudah membunuh Fralloku?!" tanyanya dingin. "Itu sepadan dengan apa yang ia lakukan pada adikku!" balas Zin tak kalah sengit. "Hhaha... pantas?!" ulang Carlos. Berjongkok menyamai tinggi Zin yang sudah tersungkur karena tendangan-tendangan yang ia terima. "Mari ku ajarkan kata pantas untukmu!" ancamnya serius. --- Zin dibawa pergi dengan mobil. Ia sendiri tidak tahu kemana tujuan mereka. Tapi Zin tahu, keadaannya saat ini sangat tidak baik. Ia telah terperangkap oleh emosinya sendiri. Zin mencoba berfikir dengan baik. Karena panikpun hanya akan percuma. Ia berusaha mengenali keadaan meski kedua matanya ditutupi sebuah kain. Zin memasang telinganya dengan baik, mencoba menguping pembicaraan mereka. "Kita akan bawa dia ke Villa Carlos yang di tengah hutan. Tak akan ada yang bisa menyelamatkan lelaki itu!" cerca suara lelaki meremehkan. "Yah... jika ia memilih kabur, itu sama saja ia ingin masuk dalam terkaman buaya. Kamu ingatkan, disamping villa itu ada sebuah rawa yang dipenuhi buaya-buaya kelaparan" tanggapan yang lainnya. Zin menelan ludahnya kasar. Tak mampu membayangkan jika tubuhnya dilahap kawanan buaya kelaparan. Spontan ia menghentakkan lengan sampingnya ke besi penjagaan. Sehingga menimbulkan bunyi bising. "Berisik...!" cela si pengemudi. Zin berusaha membuat kegaduhan. ia juga ingin berteriak meski mulutnya di bekap kuat. "Mau apa sih tuh orang?!" geram bodyguard yang lainnya. "Kayaknya kita harus periksa deh?!" "Jangan.., bisa-bisa dia kabur saat kita berhenti?!" Lagi, ia memakai tubuhnya untuk menggebrak bagasi "Tuh... tapi kalau kita diem terus bakalan tambah berisik dan memancing perhatian para warga!" lanjut bodyguard itu mencari alasan. Si pengemudi terlihat berfikir, sepertinya ide temannya itu ada benarnya. Ia juga geram dengan Zin yang tak bisa diatur. Tangannya ingin meminju kembali perut Zin. Apapun asal Zin bisa bungkam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD