Sebenarnya tidak hanya Madilyn yang tersiksa. Saveri juga sama tersiksanya. Sejak kejadian sore itu sebenarnya Saveri sudah berusaha menemui Madilyn. Dia ingin memperbaiki keadaan dan hubungan mereka. Namun sayang Madilyn sudah terlanjur sakit hati dan benci pada Saveri. Setiap kali Saveri berhasil menemui Madilyn, maka detik itu juga Madilyn akan menghilang dari jangkauannya. Madilyn membuat jarak sejauh-jauhnya dengan Saveri. Sampai akhirnya Madilyn benar-benar meninggalkan Amerika untuk kembali ke Indonesia tanpa sepengetahuan siapapun. Sementara itu baik Saveri maupun Madilyn sama-sama tidak memiliki informasi apa pun soal tempat tinggal maupun kerabat masing-masing di Indonesia. Dan sejak Saveri tahu kalau Madilyn telah meninggalkan Amerika, detik itu juga dia berhenti berusaha menemui Madilyn lagi.
Situasi sulit kembali harus dihadapi oleh Madilyn seorang diri setibanya di Indonesia. Kedua orang tua Madilyn kecewa berat ketika anak perempuan satu-satunya yang sudah dikuliahkan jauh-jauh ke Amerika untuk menimba ilmu setinggi-tingginya, tiba-tiba pulang untuk selamanya ke Indonesia tanpa membawa ijazah, titel sarjana keuangan tingkat internasional dan dalam keadaan hamil 7 minggu. Masalah semakin pelik saat Madilyn menghadap kedua orang tuanya seorang diri, tanpa laki-laki yang telah menghamilinya. Madilyn sudah terlanjur sakit hati dan benci pada Saveri sehingga dia tidak sudi mengakui laki-laki pecundang itu sebagai ayah biologis dari bayi dalam kandungannya apalagi memperkenalkan laki-laki itu sebagai calon suaminya.
“Katakan pada Ayah, siapa bajingannya?” tanya Ayah Madilyn dengan suara rendah yang terdengar begitu dingin.
Madilyn menggeleng. “Medy nggak tahu dia siapa. Waktu itu Medy diajak temen main di bar. Trus Medy dikenalin ke bule sama temen yang ngajak Medy. Kita kenalan trus minum-minum sampai mabuk. Setelah itu Medy nggak pernah ketemu dia lagi,” jelas Madilyn meski ketakutan tapi dia berhasil menyelesaikan ceritanya.
“Madilyn! Astaga, anakku… Kenapa kamu jadi gampangan banget? Yesus! Ampuni putriku,” ujar ibu Madilyn sambil menangis sesenggukan. Wanita itu tidak percaya anak perempuannya yang lugu, pemalu dan rajin mengikuti ibadah minggu maupun berbagai kegiatan kebaktian di gereja telah melakukan perbuatan tidak terpuji dan merugikan dirinya sendiri.
“Kamu beneran nggak tahu siapa dia? Minimal namanya. Biasanya orang-orang luar itu menggunakan nama keluarga untuk nama belakangnya. Ayah akan melacak tentang bule itu lewat namanya.”
“Udah dibilang nggak tahu, ya, nggak tahu! jawab Madilyn mulai putus asa. Dia berpikir hendak mengaku saja kalau ayahnya terus mendesak untuk tahu nama laki-laki yang telah menghamilinya. Namun Madilyn menguatkan dirinya untuk tidak menyebut nama laki-laki yang sudah tak ingin diingatnya lagi.
“Tadi katanya kenalan trus minum-minum sampai mabuk. Masa kenalan nggak nyebutin nama, sih? Jangan mengada-ngada kamu, Medy!” ucap ayah Madilyn mulai menunjukkan tanduknya.
“Lupa, karena Medy benar-benar nggak sadar malam itu. Bangun-bangun udah pagi aja. Setelah malam itu kami nggak pernah ketemu ataupun komunikasi dalam bentuk apa pun.”
“Jadi dia nggak tahu kalau kamu hamil?” seloroh ibu Madilyn.
Madilyn mengangguk pasrah. “Medy aja baru tahu setelah sebulan lebih dari hari kejadian,” ujar Medy sambil berdoa memohon ampun pada Tuhan karena telah tega membohongi serta menghancurkan harapan serta kepercayaan kedua orang tuanya.
“Madilyn, kenapa kamu nggak mikir dulu sebelum bertindak? Kamu itu pintar, cerdas tapi kenapa masalah menolak ajakan cowok nggak jelas malah jadi bego, sih? Mau ditaruh mana muka Ayah dan Ibu, kalau sampai saudara dan tetangga tahu soal kehamilan kamu yang tanpa menikah dan nggak jelas sosok pria yang menghamili kamu? Ibu nggak sanggup, Nak,” ujar Ibu Madilyn dengan nelangsa sembari mengelus dadanya. Kedua mata wanita itu sudah berkaca-kaca dan sekali berkedip saja maka air mata yang coba ditampung di kelopak matanya pasti akan tumpah.
Sementara itu ayahnya menatap Madilyn dengan tatapan dingin. Pria itu menunjukkan raut penuh amarah, sisi emosional dan tidak sanggup lebih bersabar lagi menghadapi anak perempuannya yang sudah berkelakuan seperti perempuan jalang. “Apa kamu sedang mencoba untuk menghabisi nyawa kedua orang tuamu, Madilyn? Kurang apa kami padamu? Semua yang kamu minta selalu kami turuti. Tapi sampai hati kamu membalasnya dengan cara begini, Madilyn?” ucap ayah Madilyn sambil memberikan tatapan penuh intimidasi kepada Madilyn.
“Medy juga nggak nyangka bakal kayak gini kejadiannya, Ayah. Medy nyesel. Kalaupun ada cara untuk memutar waktu, akan Medy temukan caranya agar bisa memperbaiki kondisi yang sudah terlanjur terjadi sekarang ini.”
“Hanya ada satu cara untuk memperbaiki kondisi rumit ini, Medy,” ujar Ayah.
“Bagaimana caranya?” tanya Madilyn ingin tahu.
“Gugurkan kandunganmu. Ayah akan cari dokter yang bisa melakukan itu tanpa sepengetahuan siapapun. Setelah itu kamu lanjutkan kuliahmu di sini. Biar Ayah yang urus semuanya.”
“Nggak mau! Medy nggak mau bunuh bayi ini. Kalau bayi ini mati artinya Medy juga akan ikut mati bersama bayi ini?!” terika Madilyn histeris disertai tangis yang tak terbendungkan lagi. Sedari tadi dia berusaha keras mengendalikan dirinya agar tidak lepas kendali dan berhasil meraih hati kedua orang tuanya. Namun usahanya gagal total. Madilyn gagal mengendalikan emosinya.
“Jangan gila kamu, Madilyn! Kamu mau mempermalukan keluarga? Mau melempar wajah kedua orang tuamu dengan kotoran? Atau belum puas kamu mau lihat kedua orang tuamu mati secara perlahan karena tidak sanggup mendengar opini masyarakat tentang anak perempuan dari keluarga terpandang telah hamil di luar nikah. Lebih parahnya lagi, anak perempuannya yang telah hamil itu tidak tahu siapa sosok laki-laki pecundang yang telah menghamilinya!” Ayah mulai naik pitam karena perlawanan yang diberikan Madilyn. Wajah putihnya tiba-tiba berubah merah seolah darah telah naik dan berkumpul di area wajahnya. Napasnya naik turun mengatur emosinya. Tangannya mengepal penuh amarah, tapi sebisa mungkin tinjunya tidak sampai melukai wajah anak perempuan yang sangat dikasihi.
“Maaf, Ayah... Tekad Medy sudah bulat,” ujar Madilyn sambil terisak. “Medy akan mempertahankan kandungan ini. Terserah, Ayah maupun Ibu mau menerima kehadiran kami atau tidak. Medy hanya tidak mau menanggung dosa dua kali lipat kalau harus melakukan aborsi,” jelas Madilyn di sela tangisnya.
Tidak ada yang berbicara. Hanya ada isak tangis yang keluar dari mulut Madilyn dan ibunya mengisi keheningan di ruangan ini. Ayah berusaha menenangkan Ibu yang terus menyesali perbuatan Madilyn. Sementara Madilyn berjuang sendirian mencari kekuatan untuk dirinya sendiri agar kuat menghadapi kenyataan.
“Memangnya kamu sudah punya rencana apa untuk masa depanmu? Bagaimana biaya lahirannya nanti? Pakai uang siapa saat persalinan? Mau kamu kasih makan apa bayimu nanti kalau sudah lahir? Pakai uang siapa untuk beli popok dan pakaian-pakaian bayimu. Kamu mikir ke situ nggak, waktu bikin keputusan untuk mempertahankan bayi itu?”
“Medy bisa cari kerja mulai sekarang, yah.”
“Kerja? Mau kerja apa kamu, Medy? Seumur hidupmu apa pun yang kamu butuhkan selalu tersedia di depan mata tanpa kamu perlu repot-repot bekerja atau membuatnya.”
“Kalau Medy berusaha pasti perlahan-lahan juga terbiasa.”
“Lalu kamu mau tinggal di mana setelah ini?” tantang Ayah mulai murka karena Madilyn selalu punya jawaban atas setiap pertanyaan yang dilontarkan ayahnya.
Kini Madilyn menatap bingung pada ayahnya. Dia tak percaya pertanyaan itu akhirnya muncul juga dari mulut Ayah. “Medy sadar diri, kok. Hari ini juga Medy akan angkat kaki dari rumah ini. Medy minta maaf karena telah mengecewakan Ayah dan Ibu. Medy minta maaf karena tidak bisa memenuhi harapan Ayah dan Ibu. Tapi keputusan Medy sudah bulat untuk mempertahankan kandungan ini sampai tetes darah terakhir. Hanya Tuhan yang berhak menentukan takdir untuk kandungan Medy. Ayah maupun Ibu tidak memiliki hak apa pun atas nyawa yang dititipkan oleh Tuhan dalam rahim Medy. Termasuk hak untuk mengenal apalagi menemui anak ini kelak di kemudian hari.”
Madilyn bangkit berdiri kursi pesakitannya dengan wajah berderai air mata. Dia lalu melangkah pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang kini sedang menatap tak percaya, anak mereka akan mengambil keputusan sebesar ini dalam hidupnya tanpa pernah memikirkan dampak jangka panjangnya. Madilyn sendiri juga tidak sanggup kalau harus tetap menggantungkan hidupnya pada orang tua sementara dirinya telah menorehkan luka dan kekecewaan mendalam di hati kedua orang tuanya. Madilyn tidak bisa kalau nantinya harus berhadapan dengan tatapan penuh kebencian yang akan ditunjukkan oleh kedua orang tuanya karena dia tetap bersikukuh untuk mempertahankan bayi dalam kandungannya. Madilyn tidak mau kelak kedua orang tuanya membenci dan menyakiti hati cucu mereka untuk melampiaskan kekecewaan pada Madilyn di masa lalu. Meski Madilyn sendiri sama sekali tidak punya bayangan akan tinggal di mana dan melakukan apa untuk melanjutkan hidup setelah ini. Tapi minimal dia sudah bersikap tegas dan berusaha keras untuk mencegah dirinya melakukan dosa besar lagi dalam kehidupannya.
~~~
^vee^