3. Rahasia Besar

1443 Words
Sentuhan di pundaknya membuat Saveri terlonjak kaget. Laju ingatannya yang tadi sudah melayang ke masa sepuluh tahun silam, dipaksa kembali ke masa kini. Hal itu yang membuat Saveri jadi terkejut. Laki-laki itu menoleh dan mendapati sosok wanita berparas ayu dan keibuan tengah tersenyum padanya. “Apa aku mengejutkanmu?” tanya Dafhina istrinya, tanpa bisa menyembunyikan wajah merasa bersalah. “Lumayan,” jawab Saveri singkat. “Maaf, ya. Aku lihat tadi pintunya terbuka. Sudah aku ketuk dua kali tapi nggak ada jawaban. Jadi aku memutuskan masuk aja.” “Bukan salah kamu. Aku aja yang terlalu fokus.” “You look tired. Are you okay?” tanya Dafhina perhatian. Saveri menggeleng. “Not really,” jawabnya singkat. “What’s wrong?” “Nothing. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di sini sebelum kembali ke Indonesia. Jadi mungkin selama seminggu ke depan aku akan sangat sibuk.” “It’s okay. Yang penting kamu jangan lupa makan dan istirahat kalau capek, ya.” Saveri hanya menjawab dalam sebuah gumaman lalu pandangannya kembali fokus pada laptop di hadapannya. Dia sudah larut kembali pada pekerjaannya dan tak mengacuhkan keberadaan Dafhina lagi. “Are you not hungry?” tanya Dafhina yang masih bertahan di sana padahal Saveri saja bahkan sudah lupa kalau istrinya itu masih ada di sekitarnya. “Belum terlalu,” jawab Saveri tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. “Oh, okay. Aku sudah masak. Kalau kamu mau makan panggil aja. Biar aku siapkan meja makannya.” Lagi-lagi Saveri hanya menjawab dalam bentuk gumaman tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari laptop. Sadat kehadirannya sudah sangat tidak dibutuhkan oleh Saveri, Dafhina memutuskan untuk keluar dari ruang kerja Saveri. “Aku ke bawah dulu ya. Kalau lapar jangan ditahan-tahan. Nanti maag kamu kambuh,” ujar Dafhina sembari menepuk pundak Saveri sebelum meninggalkan ruang kerja pribadi Saveri. Dua jam kemudian Saveri turun dalam keadaan lebih segar karena sudah mandi dan berganti pakaian. Dia menemukan istrinya itu sedang berada di taman belakang rumah mereka. “Aku mau makan,” ujar Saveri dari arah pintu samping. Dafhina refleks menoleh mendengar suara berat yang khas milik Saveri. Ketika dia menoleh Saveri sedang berjalan ke arahnya. Harus Dafhina akui suaminya ini memang tampan dengan rahang kokoh, tatapan mata tajam sekaligus teduh dan warna kulit sawo matang yang sangat macho. Dia mengakui ini bukan karena Saveri suaminya. Selama ini dia sudah mendengar sendiri pengakuan dari perempuan-perempuan lain yang bercerita betapa tampan suaminya ini. Ditambah lagi kepribadiannya yang ramah, cerdas dan enak diajak ngobrol. Menambah nilai ketampanan yang ada dalam diri Saveri. Namun itu dulu. Sebelum dia bertemu kembali dengan Saveri dalam acara perjodohan keluarga. Dafhina sendiri adalah teman masa kecil Saveri. Tidak terlalu akrab sebenarnya. Mereka saling kenal karena ayah mereka adalah teman bisnis. Pertemuan mereka pun terjadi hanya sesekali waktu saja. Seingat Dafhina ketika bertemu Saveri saat laki-laki itu masih kuliah di Amerika, Saveri masih menunjukkan keramahan dan sikap mudah bergaulnya yang sama ketika mengenal Saveri saat SMA. Saveri bahkan dengan senang hati dan bersedia menemani Dafhina kemanapun ketika perempuan itu sedang ada kepentingan kuliah di Amerika. Sifat-sifat menyenangkan yang ada dalam diri Saveri membuat Dafhina penasaran perempuan mana yang beruntung mendapatkan cinta dan kasih sayang sayang dari Saveri. Namun Saveri tidak pernah bercerita apa pun soal itu sekalipun Dafhina sudah beberapa kali memancingnya. Saveri yang Dafhina kenal mulai menunjukkan perubahan sifat dan sikap beberapa bulan menjelang wisuda. Dan menjadi berubah drastis setelah Saveri wisuda dan ketika ayahnya mengumumkan bahwa Saveri adalah anak tunggal dari pemilik Burgeon Group sekaligus memperkenal Saveri sebagai pewaris utama seluruh aset dan harta kekayaan milik grup perusahaan raksasa tersebut. Sejak saat itu semua orang-orang terdekatnya mengakui bahwa Saveri berubah. Dia berubah menjadi lebih pendiam, dingin dan tidak mudah percaya pada orang lain. Hal itu yang membuat Dafhina merasa heran ketika Saveri menerima perjodohan yang diatur oleh orang tua mereka. Kalau Dafhina tentu saja tidak bisa menolak. Selain karena orang tuanya dia sendiri juga memiliki rasa ketertarikan sekaligus perasaan pada Saveri. Namun usahanya untuk membuat Saveri membalas perasaannya menjadi sia-sia, karena terbukti hingga usia pernikahan mereka memasuki tahun ketiga, Saveri masih tetap dingin padanya dan juga rumah tangga mereka. “Kamu excited nggak kembali ke Indonesia?” tanya Dafhina sembari menyiapkan menu makanan untuk Saveri di atas meja makan. “Ya, begitulah. Kalau mau egois sebenarnya aku ingin selamanya di sini. Tapi tentu saja itu nggak mungkin,” jawab Saveri. “Kalau aku malah senang banget bisa kembali tinggal di Indonesia,” jawab Dafhina tanpa Saveri menanyakan pendapatnya. “Tinggal di Amerika ternyata nggak semenyenangkan itu.” “Aku nggak pernah memaksa kamu untuk ikut tinggal denganku di sini setelah kita menikah, Daf.” Dafhina melirik suaminya yang sama sekali tidak menatapnya. Semenjak mereka menikah Saveri selalu menunjukkan wajah serius di depannya. Saveri jarang sekali menunjukkan wajah ramah yang dulu menjadi daya tarik laki-laki itu selain karena memang gen ketampanan yang sudah mendarah daging dalam dirinya. Jadwal harian Saveri penuh dengan pekerjaan. Tiada hari tanpa bekerja, bekerja, dan bekerja. Bahkan pada akhir pekan seperti sekarang ini, Dafhina sering mendapati Saveri duduk di taman belakang dan tatapannya fokus pada laptop di pangkuannya. “By the way, selama kita menikah, kok, aku nggak pernah dikenalkan sama teman-teman kuliah kamu?” pancing Dafhina sambil melirik Saveri untuk melihat reaksi laki-laki itu. “Apa aku kurang menarik sampai-sampai kamu malu memperkenalkan aku ke teman-teman kamu?” Saveri mendesah pelan. “Aku memperkenalkan kamu sebagai istriku di depan para kolegaku saja belum cukup buat kamu?” balas Saveri serius. “Berarti aku cantik dan menarik, dong?” “Kamu perempuan, tentu saja kamu cantik,” jawab Saveri dengan wajah datar. Sementara Dafhina tiba-tiba salah tingkah dibilang seperti itu meski ia tahu Saveri sama sekali tidak bermaksud memujinya, tapi dibilang cantik seperti itu saja sudah mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat saat ini. “Trus kenapa aku nggak kamu kenalkan ke teman-teman kuliah kamu juga?” “Buat apa? Lagian aku juga sudah lost contact sama mereka.” “Satu pun nggak ada yang masih komunikasi? Aku aja masih sering telpon dan video call-an sama teman-teman kuliah aku meski setelah menikah aku nggak tinggal di Indonesia lagi.” “Ya, itu kamu. Aku beda. Jangan disamain.” “Aku perhatiin sebelum ada rencana kembali ke Indonesia, kegiatan kamu juga cuma kerja melulu. Nggak bosan memangnya?” “Itu karena aku pemilik sebuah perusahaan yang sedang berkembang. Kalau sudah maju mungkin bisa lebih santai. Seperti ayahku dan juga ayahmu. Dan untuk bisa seperti mereka dibutuhkan waktu yang nggak sebentar.” “Tapi apa sampai harus membuat kamu seperti sedang terobsesi pada sesuatu? Ayahku nggak seserius kamu, kok. Beliau pasti punya waktu luang untuk keluarganya. Setidaknya saat weekend ayahku sama sekali nggak pernah menyentuh pekerjaan. Dan itu berlangsung dari sejak aku masih kecil,” komentar Dafhina. “Beda orang beda cara dalam menjalani kehidupannya. Jangan disamaratakan.” “Iya, aku paham. Tapi cara kamu menjalani kehidupan pekerjaan seperti orang yang sedang mencoba melarikan diri dari sesuatu.” Saveri menghentikan aktivitas makannya sejenak. Dia tampak memikirkan kata-kata yang disampaikan oleh Dafhina. “Menurutmu begitu?” tanya Saveri sebelum kemudian melanjutkan makannya. “Yes,” jawab Dafhina yakin. “Kamu salah penilaian. Aku sama sekali nggak sedang melarikan diri dari sesuatu atau apa pun.” “I think you are. Sekuat apa pun kamu menyembunyikannya dariku, aku bisa membaca sedikit sifat kamu. Tiga tahun kita bersama, aku rasa sudah cukup untuk memberiku keberanian memberikan penilaian tentang diri kamu.” “Memangnya apa yang sedang aku sembunyikan? Nggak usah mengada-ngada.” “I don’t know. Tapi yang jelas aku ngerasain banget kalau kamu sedang menyembunyikan sesuatu dan hal itu adalah sebuah rahasia besar.” Dafhina menatap Saveri lurus-lurus yang kelihatan sedang berkonsentrasi. Dafhina pikir Saveri akan marah besar, menghardiknya atau bahkan tak mengatakan apa pun. Namun yang keluar justru, “Just your feelings.” Dafhina mulai frustrasi menghadapi sifat tertutup Saveri. Dia selalu ingin suaminya ini sedikit saja lebih terbuka padanya. Dia ingin tahu isi kepala dan hati Saveri setiap detiknya. Pada saat Dafhina masih ingin mendesak Saveri agar terbuka padanya, laki-laki itu sudah bangkit berdiri dari kursi makan. Detik itu juga Dafhina sadar Saveri sedang menyeka keringat di keningnya. Selama mereka tinggal bersama, Dafhina tahu Saveri bukan tipe orang yang mudah berkeringat kecuali cuaca sedang panas-panasnya saat musim panas. Sementara saat ini sedang musim dingin dan Saveri berkeringat. Membuat Dafhina memiliki keyakinan bahwa salah satu dari semua ucapannya selama beberapa menit terakhir telah mengusik emosi Saveri. “Are you mad at me?” tanya Dafhina melihat wajah Saveri yang seperti sedang menyembunyikan emosi menurutnya. Ditambah lagi tak ada jawaban dari Saveri. Laki-laki itu hanya berlalu dari ruang makan tanpa ucapan apa pun, seperti “Aku sudah selesai,” seperti biasanya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD