Sial, sial, sial..!!
Bukan aku mendadak terngiang-ngiang lagu populer yang dibawakan penyanyi cantik Mahalini. Bukan. Namun, ini karena aku baru menyadari perasaanku pada Bang Fino tak pernah usai bahkan hingga bertahun lamanya kami terpisah.
Terbelenggu pada perasaan yang sama selama bertahun-tahun ternyata sangat menyiksa dan semenyesakkan ini ya? Sekuat apapun aku mencoba menyangkal, kenapa semua rasa tetap tertuju pada satu nama itu. Ckk, lagi-lagi sial kan?! Padahal beberapa kali aku pernah menjalin kedekatan dengan pria berbeda sejak kenyataan pahit yang aku dapatkan dari kisah kami berdua. Aku dan Bang Pino maksudnya. Kalau dia, entah bagaimana kelanjutan hidupnya, yang aku tahu hanya ... Bang Pino mengingkari janjinya padaku sejak ia menikahi perempuan lain. Selebihnya, aku memilih tak tahu dari pada harus mengulang perihnya luka karena terbakar cemburu.
Dan ini semua karena obrolan dengan Kak Vin dan Mas Rega beberapa hari lalu. Pasangan itu sengaja menyebut nama Bang Fino di pertemuan kami. Salah satu hal yang menjadi pemicu aku akhirnya membuka folder tersembunyi di laptop yang berisi foto-foto lawas kami berdua. Semua masih tersimpan rapi di sana, mulai dari foto kami berdua pertama kali ketika singgah di Pantai Panjang hingga gambar-gambar lain yang menunjukkan betapa dekatnya kami saat itu.
Bukan hanya satu atau dua gambar, tapi ratusan pose yang ambil ambil di beberapa tempat yang berbeda. Saat itu memang kami sangat senang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, terutama jika tempat tersebut masih berkaitan dengan pantai. Kami, aku, Bang Fino juga beberapa kawan yang lain selalu meluangkan waktu setidaknya sekali dalam dua minggu untuk berkumpul dan merencanakan perjalanan itu.
"Heh, ngelamun aja!" Tahu-tahu mama menepuk pundakku. Ternyata aku melamun terlalu lama. “Taksinya udah deket itu, ayo siap-siap. Mana aja tasmu?”
Mama memaksa ikut mengantarku ke Jakarta hari ini. Padahal ya, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku perempuan dewasa yang bahkan pernah menikah (meskipun itu gagal), ya kali kemana-mana masih dikawal orang tuanya. Tapi ya, begitulah seorang ibu, sedewasa apapun anaknya akan tetap dianggap anak kecil yang harus mereka lindungi kapanpun.
“Iya, Ma, iya. Astaga … semangat banget sih, Mama. Ngalah-ngalahin aku yang mau pindah ke sana,” cibirku mengundang gelak kecil di sudut bibirnya.
“Ya harus semangat dong,” ujar Mama sambil mengangkat travel bag berukuran sedang berisi beberapa helai pakaiannya. “Mau nganter anaknya buka lembaran baru masa nggak semangat sih?”
Aku berdecak memiringkan senyum. Membuka lembaran baru ceunah!
“Mama ada-ada aja. Aku cuma mutasi kerja, Ma. Bukan menempuh hidup.”
“Ya kali aja nanti di Jakarta kamu ketemu sama jodohmu yang beneran. Nggak kaleng-kaleng kayak sebelumnya.” Mama enteng sekali membahas masalah jodoh seolah aku ini harus banget cepet-cepet ketemu pasangan baru dan menikah. Lagi. Padahal, belum ada satu tahun aku menyandang status janda setelah terlepas dari mantan biadab itu.
“Hadeeh, Mama, ih. Ujung-ujungnya nggak nyambung deh,” decakku manyun.
“Lho, Mama ini cuma doain yang baik-baik. Kok dibilang nggak nyambung.”
“Ya wes terserah Mama deh, itu taksinya udah dateng, Ma.” Aku mengendikkan dagu ke arah pagar, dimana mobil berwarna putih berhenti di halaman rumah kami yang tak seberapa luas.
Kami masuk ke dalam mobil dan mulai membicarakan hal lain, aku yang sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Salah satu ciri perempuan lah yaa, gampang banget belok dari satu topik ke topik lainnya. Pokoknya nggak lagi bahas mantan atau desakan untuk membuka hati pada orang baru, aku sih nyaman-nyaman saja.
Bukannya apa, mamaku ini tanpa sadar kadang gemar sekali membujukku agar segera memiliki pasangan baru. Bukan karena dikejar usia, usia dua puluh tujuh masih aman kok menurutku. Melainkan karena banyak sepupuku yang sepantaran denganku, atau bahkan usianya di bawaku, akan segera melepas masa lajang. Jadi di setiap acara keluarga, pastilah mama menjadi sasaran empuk yang selalu ditanya perihal menantu dariku.
"Kamu udah hubungi Anya?" tanya Mama ketika kami sudah masuk ke gerbong kereta api. Iya, kami berdua naik kereta api menuju Jakarta. Meskipun ada mobil peninggalan papa, kereta api masih menjadi alat transportasi favoritku dan mama sejak aku kecil.
“Udah dong, Ma. Semalam aku udah hubungi ulang kok. Nanti begitu nyampe Jakarta, dia maksa akan ngirim supir buat jemput."
"Heh, kok sampe repot-repot gitu?" Mama tampak terkejut karena spontan saja menepuk punggung tanganku.
"Aku nggak pernah minta, Ma. Udah aku tolak berkali-kali juga. Tapi Mama tau sendirilah gimana loyalnya Anya kalau udah sama temen sendiri." Aku mengeluarkan muffin yang tadi aku beli di food court. Kue kesukaanku ini selalu menjadi teman perjalanan terbaik selama aku bepergian.
"Ya pokoknya jangan banyak ngerepotin orang aja nanti di sana. Kemaren soal apartmen udah dibantuin Anya, sekarang masalah jemputan juga dibantu dia juga. Pokoknya jangan sampai kamu dianggap dompleng sama dia ya, tau dirilah pokoknya."
Ngomong-ngomong soal Anya, dia ini teman dekatku sejak masa SMA dan kuliah. Meski hubungan kami sempat renggang sejak semester enam, karena dia terlalu asyik bekerja di salah satu WO dan punya pekerjaan sambilan lainnya. Akan tetapi meskipun jarang bertemu secara langsung, kami tetap rutin bertukar kabar lewat pesan singkat atau telepon. Aku bahkan datang saat pesta resepsinya dengan Senopati Rajata tiga tahun silam. Gelaran pesta yang sukses bikin melongo juga sih, karena Anya yang terkenal dingin, ketus, tomboy dan ratunya cuek sejak lama, ternyata sekarang jadi menantu dari keluarga Dwisastro, konglomerat yang namanya udah bikin keder aja kalau mendengarnya.
"Mama ih, dompleng-dompleng apaan. Aku juga ngerti situasi kali, lagian aku sama Anya deket nggak setahun dua tahun aja, Ma. Kami udah kayak luar dalem kok," sanggahku setelah gelak tawaku reda. Mamaku ini memang overthinking-nya nggak ada lawan deh.
"Jadi, besok begitu kita nyampe stasiun pasar senen udah ada yang jemput gitu?"
"Ya begitulah, Nyonya, supir Anya bakalan standby nungguin kita. Setelah itu langsung ke apartmennya sekalian."
Sejak pertama tahu perihal kepindahanku ke Jakarta, Anya langsung antusias hingga tiba-tiba menawarkan apartmen miliknya yang sudah lama kosong karena penyewanya pindah ke luar negeri. Daripada terlalu lama tak berpenghuni, ibu muda itu menawarkan padaku agar bersedia tinggal di sana. Aku langsung menyetujui dengan syarat ia mau menerima uang sewa dariku, karena awalnya dia menolak tegas ide tersebut. Bisnis tetap bisnis kan, jadi ya ... aku memaksa tetap membayar sewa apartemen tersebut.
Keesokan harinya pukul setengah sembilan pagi, aku dan mama sudah sampai di Stasiun Pasar Senen Jakarta, dan benar saja, ketika kami keluar ternyata sudah ada seorang pria paruh baya yang memegang selembar kertas bertuliskan namaku. Beliau adalah supir yang dikirim Anya untuk menjemput kami berdua, yang belakangan aku ketahui bernama Pak Heri. Selain ramah, Pak Heri juga sangat tanggap membantuku dan mama memindahkan dua koper besar milikku dan travel bag milik mama.
Tak sampai satu jam kemudian aku dan mama sudah sampai di gedung apartment milik Anya. Apartment yang akan aku jadikan tempat tinggal selama menetap di Jakarta, namun aku langsung menyesali keputusan unutk menerima tawaran Anya saat aku tahu apartmen versiku dan apartmen versi Anya sangat jauh berbeda.
“Anya, lo gila, sumpah gila!!” pekikku saat Anya mengangkat panggilan telepon video dariku di seberang sana.
“Heh, kambing kampret!! pake ucap salam dulu kek, ini baru ngomong malah ngatain gue gila,” jawab Anya di ujung sana. Meskipun sudah berubah status menjadi seorang ibu dari seorang putri ternyata tak bisa begitu saja menghilangkan umpatan dan sumpah serapah yang sangat fasih keluar dari mulut seorang Revanya.
“Kemaren elo bilang apartmennya tipe biasa, tapi in—” aku kehilangan kata-kata saat kembali mengamati unit apartmen mewah—ralat, super duper mewah yang ia sewakan padaku. “Ini apartmen yang gila banget mewahnya, Anya. Harga yang gue bayar kemaren tuh nggak ada sepertiga sewanya kali,” lanjutku menggerutu saat berjalan ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan padatnya ibukota dari ketinggian lantai delapan belas.
Tak jauh berbeda dariku, sejak masuk unit, Mama langsung melongo. Dan sekarang beliau sedang mengitari seluruh ruangan mewah di unit ini. Dua kamar tidur berukuran besar, dua kamar mandi, dapur bersih, ruang makan, ruang tengah yang sangat elegan, bahkan ada kamar untuk asisten rumah tangga. Benar-benar unit apartmen yang diluar bayanganku semula.
“Oh, elo udah nyampe apartment? udah ketemu Hanif kan? yang nganterin elo ke unit.” Anya ternyata tak menanggapi kalimatku, malah menanyakan hal lain.
“Iya, iya … gue udah ketemu sama asisten pribadi laki lo tadi di lobby, udah diantar naik juga sampe unit yang kata lo, biasa banget ini. Astaga Anya … gue cancel aja deh ya nyewa di sini, harganya bikin rekening gue keder.”
Terdengar gelak tawa khas dari sahabatku itu. “Bisa aja lo kampret! nggak bisa pokoknya nggak bisa! Elo kan udah bayar, nggak bisa gitu aja r****d dong!”
“Tapi, An, gue beneran nggak bisa tinggal di apartmen mewah kayak gini.”
“Heleeh, Meli, nggak usah lebay deh, pokoknya udah deal, elo tinggal di sana selama stay di Jakarta, atau … elo mau gue ngambek seumur hidup?” dari layar ponsel aku bisa membaca raut wajahnya yang berubah manyun saat mengibaskan telapak tangannya.
“Ckk, ratu drama,” keluhku karena rasanya akan sangat sulit memenangkan perdebatan dengan Anya.
“Hadeeh, berisik!! pokoknya gue nggak mau tau gimana caranya elo tetep tinggal di apartmen itu. Udah dulu ya, gue lagi riweh ini, lagi ikut Mas Seno ke pembukaan restoran punya temennya.”
Dari apa yang terlihat di layar video menampilkan suasana ramai di suatu tempat makan yang cukup luas. Pantas saja suara Anya terdengar tak begitu jelas karena banyak orang juga di sekitarnya.
“An, dicari Seno tuh di sebelah, Mika nangis katanya habis nyungsep. Dasar si Seno bapak kurang akhlak, anak cantik dibiarin nyungsep gitu aja!” suara pria yang tak begitu asing di telingaku terdengar. Sepertinya dari salah satu teman Anya, karena sosoknya hanya terlihat sebagian lantaran ada di samping Anya. Tapi suara itu benar-benar menggangguku, karena…
“Eh, Mika ya? thank you ya, Bang Hes.” Anya terdengar menimpali dan mengangguk cepat.
“Siapa An?”
“Eh, Mel, gue tutup dulu ya? di cari Mika nih,”
“Yang barusan siapa?” kejarku tak mau dihantui rasa penasaran.
“Oh itu tadi Bang Hesta, temennya Mas Seno, dia yang punya restoran ini. Udah dulu ya, nanti gue telpon balik, Bye, muah-muah, salam buat Tante Nisa,” pungkas Anya tergesa-gesa hingga tak memberiku kesempatan balik bertanya karena mendadak saja layar ponselku sudah berubah lantaran panggilan sudah terputus.
Hesta… Hesta…
Suara itu … jangan sampai Hesta yang dimaksud Anya barusan adalah Hesta yang aku kenal bertahun-tahun silam.
Arfino Hesta.
***