Rasanya berat hati harus meninggalkan Puncak yang telah menanamkan kesan terindah dalam hidupku, terlebih aku harus memasuki dunia asing, dunia keluarganya mas Daffa.
Seperti apa kehidupan yang aku jalani nanti, tidak terlalu membuatku takut karena aku yakin, mas Daffa akan selalu melindungiku, hanya saja aku belum mengenal siapa pun di dalam rumah itu, karena baru melihat mereka waktu nikahan kemarin, itu pun kesannya begitu buruk karena papa sebagai tuan rumah, meninggalkan tamunya begitu saja.
Sepanjang perjalanan pulang menuju tempat tinggalku selama ini, aku banyak terdiam dan melamun.
Mas Daffa seolah mengerti gejolak apa yang kurasakan di dalam hatiku, ia bertanya tapi tidak menuntut jawaban, sebagai gantinya, ia sering kali mengelus pundakku atau pahaku dengan penekanan seakan berkata, 'Semua akan baik-baik saja'. Sikapnya itu sungguh membuatku merasakan kenyamanan yang luar biasa.
Kami pun tiba di depan rumah dan mama yang sedang menyapu halaman kecil, menghentikan kegiatannya untuk menyambut kami.
"Nazwa? Daffa? Kok cepat sekali udah pulang lagi?" tanya mama saat kami berdua turun dari mobil.
Aku mengulurkan tangan dan memeluk mama, pelukan yang mengandung kesedihan karena hari ini, aku akan pergi meninggalkan rumah mama dan papa.
"Ada apa, Wa?" tanya mama curiga karena beliau pasti merasakan apa yang ada di dalam hatiku.
Aku terdiam dengan mata berkaca-kaca. Kubawa mama masuk ke dalam rumah menuju kamarnya. Aku butuh ruang privasi untuk bicara pada mama.
"Ada apa, Wa? Kamu berantem sama suami kamu?" tanya mamaku terdengar panik dan gusar.
"Enggak, Ma. Aku cuma mau bilang kalau aku akan ikut mas Daffa ke rumah keluarganya dan aku sedih karena harus ninggalin mama dan papa, apalagi papa masih marah sama aku, apakah kepergianku akan bikin papa tambah marah, Ma?"
"Oh, anakku … mama juga sedih, tapi ikut suami itu wajib, Nak. Tidak apa-apa, yang penting kamu gak merasa terpaksa kan?" Mama mengelus kepalaku yang menunduk sambil menangis.
"A-aku cuma agak takut aja, Ma. Takut bagaimana kalau keluarga mas Daffa tidak bisa menerimaku?" keluhku berandai-andai, entahlah, perasaanku tidak enak.
"Hei, tak kenal maka tak sayang … maka itu, kenali mereka dulu, mereka pasti suka sama kamu, pinter-pinter bawa diri di sana ya," jawab mama sambil menangis juga. "Kamu harus sering mengunjungi mama, kan gak jauh-jauh amat rumah mertuamu," lanjut mama.
Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan lagi.
"Papa gimana, Ma? Kami gak mungkin menunggu papa pulang baru berangkat, soalnya mas Daffa harus mempersiapkan pekerjaan untuk besok, Ma," ucapku sambil melepaskan diri dari pelukan mama dan menatap mama lekat-lekat.
"Papa biar mama yang bilang nanti, kalau kamu tunggu papa pulang, takutnya malah papa makin marah loh, Wa," sahut mama dengan tatapan serius. Aku pun hanya bisa mengangguk setuju.
"Ayo, mama bantu beres-beres?" Mama berdiri dari duduknya.
Aku ikut berdiri sambil menghapus air mataku. "Gak usah, Ma. Aku gak bawa barang banyak biar aku bisa bolak balik pulang," sahutku sambil melangkah ke arah pintu kamar mama dan segera ke luar dari sana.
Ternyata, mas Daffa sedang duduk di ruang tengah, tempat biasa papa nonton televisi kalau sedang bersantai di rumah.
Di atas meja telah menumpuk oleh-oleh yang dibeli di Puncak. "Mas, semua turun di sini? Yang buat ke rumah mamamu mana?" tanyaku.
Mas Daffa berdiri menyambutku lalu menuntunku ke dalam kamarku. "Buat di rumah, nanti kita akan mampir ke toko kue Harvest ya," jawab Daffa, tepat ketika kami telah masuk ke dalam kamar.
"Aku mau bantuin kamu beres-beres," kata Daffa kemudian.
"Oh, gak usah, Mas. Aku bisa sendiri, lagian gak banyak bawaanku kok, kita kosongin dulu aja travel bag yang ini," kataku seraya meraih travel bag yang selama dua hari bersama kami di Puncak.
Daffa mengangguk sambil tersenyum. "Kalau gitu, aku mau rebahan dulu deh," celetuknya sambil membanting tubuhnya pada kasurku yang jadi tampak mungil setelah lelaki itu mendarat sempurna di atas ranjang mungilku.
Aku segera mengeluarkan baju kotor dari dalam travel bag, ternyata itu salah satu baju-bajuku yang hendak kubawa, aku pun membungkusnya dengan kantung plastik dan mengembalikannya ke dalam travel bag, lalu memasukkan barang lain yang akan kubutuhkan.
Tiga puluh menit kemudian, aku telah selesai mengepak barangku yang menjadi dua travel bag. Lalu, menoleh kepada mas Daffa. "Mas, aku udah selesai."
"Kamu siap berangkat sekarang?" tanya mas Daffa seraya bangkit dari atas kasur.
Aku mengangguk cepat. "Makin lama berada di sana sama Mas, makin baik buatku," sahutku.
Ya, aku butuh waktu mengenal keluarganya didampingi mas Daffa, sebelum mas Daffa sibuk dengan pekerjaannya.
"Ayo, pamitan sama mama," ajak mas Daffa seraya meraih travel bag dan menentengnya ke luar kamar.
Aku memanggil mama yang masih berada di dalam kamarnya. "Ma, kami mau pamitan," kataku di depan pintu kamar mama.
Terdengar langkah kaki mama sebelum membukakan pintu. "Mau jalan sekarang? Ya, udah … kamu ingat pesan mama ya, pandai-pandailah bawa diri, Nak," kata Mama seraya memelukku erat-erat.
Kami terisak bersama, bagaimana pun, ini adalah langkah pertamaku harus terpisah dari mama dan papa tanpa pernah berlatih dulu, misalnya pernah kos sebelumnya, tapi ini tidak. Aku benar-benar merasa berat harus meninggalkan rumah.
"Sudah, sudah, kasihan suami kamu, Wa, udah nungguin mau pamitan sama mama," bisik mama sambil menepuk-nepuk halus punggungku.
Aku melepaskan diri dari pelukan itu dan menyelinap langsung ke luar rumah, menunggu mas Daffa selesai pamitan pada mama di dalam mobil.
Mama melepas kami sampai pintu pagar dan melambaikan tangannya sambil menyunggingkan senyum tipis. Aku pun terpaksa tersenyum, meringankan beban hati masing-masing, jujur, aku merasa sangat sedih karena tidak berpamitan pada papa yang masih marah padaku.
Namun, sejurus kemudian, aku berpikir bahwa seharusnya aku tidak larut dalam kesedihan yang sebenarnya tidak terlalu dipahami oleh mas Daffa, hanya saja lelaki itu memilih memberikan waktu padaku untuk tenggelam dalam kesedihanku.
Aku segera meraih bedak padat dari dalam tas dan mulai mengoreksi wajahku, terakhir aku membubuhkan liptint berwarna pink cerah. Dalam sekejap, melalui cermin kecil aku telah tampak segar meski kelopak mataku masih terlihat bengkak.
Usaha kedua adalah memasang senyum agar wajahku terlihat ramah lalu menoleh pada mas Daffa. "Mas, berapa lama lagi sampai? Jauh gak rumahnya," tanyaku dengan suara ringan.
"Hm … hampir satu jam kalau padat jalannya," sahut mas Daffa sambil membalas tolehanku dengan tangan kirinya terulur dan mengelus rambutku.
"Lumayan lama ya, terus mau mampir Harvest-nya di mana? Kayanya aku juga butuh asupan coklat yang banyak, buat naikin mood aku," kataku tanpa melepaskan senyum tipis dari wajahku.
"Nanti sebelum masuk ke gerbang rumah, apa mau yang terdekat dari sini aja? Takutnya ntar kamu gak keburu ngunyah coklatnya." Mas Daffa memang luar biasa.
"Boleh, boleh!" seruku hampir terlonjak karena merasa senang.
"Ok, lima menit lagi sampai," jawab mas Daffa sambil membelokkan mobil ke kiri, melalui jalan untuk memotong karena akan mampir Harvest yang terdekat.
Aku sangat menyukai coklat dalam bentuk apapun, membayangkan coklat yang lezat saja telah mampu membangkitkan semangatku.
Sampai di Harvest, mas Daffa membiarkan aku memilih apapun yang aku suka dan ia sendiri memesan cake serta kue lainnya yang disukai oleh ibu serta adiknya.
Alhasil, sepanjang jalan aku habiskan waktuku memakan kue dan camilan coklat lainnya dengan hati yang bahagia, sesekali, aku menyuapi mas Daffa dan kami pun mulai bercanda dengan melakukan permainan tebak-tebakkan.
Tanpa terasa lama dalam perjalanan, tahu-tahu, mobil yang kami tumpangi memasuki sebuah jalan yang kiri dan kanannya dinding sangat tinggi. Aku terpana sebentar. "Mas, kita sudah sampai? Nanti ada pemeriksaan lagi gak?" tanyaku padanya.
"Yap, kita sudah sampai," jawab mas daffa dan aku terkejut saat mobil telah berhadapan dengan pintu gerbang besi yang tinggi.
"Wow, jarak dari jalan raya sampai gerbang ini berapa meter, Mas?" tanyaku sambil menengok ke belakang, bahkan jalan raya pun tidak tampak, mungkin karena jalannya sedikit berbelok tadi, pikirku.
"Gak jauh kok, cuma dua ratus meter," sahut mas Daffa sambil menekan pedal gas, karena dua pintu gerbang telah bergeser ke kiri dan ke kanan, memberi ruang untuk dilewati.
Aku cukup terpana dengan pemandangan di depan yang melenakan mataku. Sebuah gedung besar yang mungkin saja terdiri dari empat lantai, berdiri megah di ujung jalan, ke sanalah mas Daffa membawaku melalui jalan yang sedikit memutar lalu berhenti tepat di depan tiga undakan tangga yang di depannya ada pintu lebar yang tertutup rapat.
"Tunggu ya," kata mas Daffa seraya turun dari mobil, lalu ia memutari kap mesin dan membukakan pintu untukku.
"Selamat datang di rumah orang tuaku, istriku," kata Daffa seraya mengulurkan tangannya padaku.
Aku menyambut tangannya dengan perasaan yang masih syok, lalu turun dari dalam mobil sambil melihat ke sekeliling area. "Apa maksudnya ini rumah kakek dan neneknya Azriel?" tanyaku dengan muram. Sungguh aku tidak tahu kalau Azriel memiliki kakek dan nenek yang kaya raya.
"Ya, benar, tapi dia jarang berkunjung," sahut mas Daffa.
Tetap saja perasaanku tidak enak hati kalau pun jarang, tapi kan tetap datang berkunjung, bagaimana kalau dia membongkar pada kakek, nenek dan tantenya bahwa aku, istri dari om-nya ini adalah mantan pacarnya?
Belum-belum aku sudah dibuat pusing oleh pikiran-pikiranku. Belum masuk ke dalam rumah, bayangan satu masalah telah muncul di depan mataku.
Mas Daffa menggamit pinggangku, membawaku menaiki tiga undakan tangga dan tiba-tiba saja, pintu lebar itu dibuka lalu seorang gadis muncul di hadapanku.
"Mas Daffa? Ini istrinya, Mas? Kok sebayaan sama aku?" tanya gadis itu dengan raut wajah terkejut dan sorot mata tidak suka padaku.
"Dia, Novi, si bungsu yang telat lahir," bisik mas Daffa di telingaku.
Aku membayangkan bagaimana bisa seorang anak lahir setelah kelahiran cucunya yaitu Azriel?
Novi tidak aku lihat pada saat kami ijab kabul, rupanya dia sedang kuliah dan tidak bisa hadir ke acara lamaran kakaknya yang berujung dengan pernikahan.
Aku mengulurkan tanganku mengajak gadis itu bersalaman. "Halo, Novi … apa kabar?" tanyaku.
Novi hanya melirik tanganku dengan sorot mata jijik, lalu kembali melumat seluruh tubuhku dengan tatapannya yang perlahan berubah menjadi terkejut.
"Di-dia yang ngamuk di nikahan Azriel kan? Yang bikin heboh terus diselamatkan dan dibawa kabur sama Mas Daffa? Dia mantan Azriel yang ditinggal kawin? Astaga! Kenapa dijadiin istri sama Mas? Apa-apaan ini?!" seru Novi seperti merasa tertipu dan sangat tidak mempercayai apa yang dilihatnya.